JEMBATAN Tukad Bangkung megah di Plaga, Badung, Bali. Itu jembatan yang indah saat dilihat dari kejauhan, dan kerap didekati, dijadikan tempat singgah, seperti halnya obyek wisata.
Tapi belakangan jembatan ini lebih dikenal sebagai “jembatan kematian”, karena jembatan itu menjadi obyek dari tragedi-tragedi memilukan yang dialami manusia, Di situ terjadi sejumlah insiden tragis bunuh diri atau yang lebih dikenal dengan istilah ulah pati.
Insiden itu telah mencoreng keindahan tempat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat seringkali dikejutkan dengan laporan mengenai korban yang melompat dari jembatan.
Tragedi-tragedi ini tentu saja menyisakan pertanyaan besar bagi kita. Apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?
Jembatan yang seharusnya menjadi saksi bisu perjalanan, justru menjadi tempat bagi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya. Dan seperti biasa, begitu tragedi terjadi muncullah wacana untuk mencari solusi. Salah satu usulan yang muncul adalah rencana pemasangan CCTV oleh Pemerintah Kabupaten Badung, dengan anggaran mencapai Rp34 miliar.
Namun, apakah benar solusi teknologi ini cukup untuk mencegah terjadinya tragedi lebih lanjut? Atau mungkin, ada solusi lain yang lebih manusiawi dan lebih efektif?
Ketika mendengar kabar bahwa Pemerintah Kabupaten Badung akan menganggarkan sekitar Rp34 miliar untuk pemasangan CCTV di berbagai lokasi wisata badung yang strategis, termasuk Jembatan Tukad Bangkung, reaksi publik beragam.
Ada yang berdecak kagum karena teknologi canggih itu akan membantu memantau keamanan. Namun, tak sedikit pula yang bertanya-tanya, apakah CCTV benar-benar solusi paling tepat untuk mengatasi tragedi ulah pati yang sering terjadi di jembatan ini?
Bagi mereka yang akrab dengan komentar warganet di media sosial atau YouTube, wacana ini sudah menjadi ladang perdebatan. Banyak yang merasa anggaran sebesar itu lebih baik digunakan untuk membangun pos polisi, memasang pagar besi dengan kawat berduri, atau bahkan membiayai penjaga manusia yang siaga di ujung-ujung jembatan.
“Kenapa harus CCTV? Emangnya CCTV bisa mencegah orang melompat?” begitu kira-kira sindiran yang sering muncul di kolom komentar.
Mari kita bedah satu per satu. CCTV memang punya keunggulan, memantau secara real-time, merekam aktivitas mencurigakan, dan memberikan data visual untuk diolah lebih lanjut. Tapi, pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan oleh kamera saat seseorang sudah berdiri di tepi jembatan dengan niat untuk mengakhiri hidup? Apakah kamera itu bisa berbicara dan membujuk mereka untuk turun?
Atau mungkin kamera canggih ini dilengkapi fitur hologram polisi yang bisa mendadak muncul dan berkata, “Tunggu, pikirkan lagi keputusanmu!”
Atau yang lebih miris lagi, apakah kamera itu bisa menjadi bukti dokumenter kematian yang cantik, agar bisa dijadikan konten oleh para creator pengais rejeki di kala musibah terjadi?
Kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Kamera hanya bisa menangkap gambar, sementara aksi nyata membutuhkan kehadiran manusia. Di sinilah gagasan untuk membangun pos polisi di dekat jembatan menjadi relevan. Pos polisi tidak hanya berfungsi sebagai tempat petugas bertugas, tetapi juga memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Kehadiran polisi di lapangan bisa menjadi deterrent yang efektif bagi mereka yang berniat melompat. Bayangkan saja, seorang petugas dengan seragam lengkap, berdiri di ujung jembatan, tentu akan membuat siapa pun berpikir dua kali.
Namun, mari kita tidak terlalu terburu-buru menyimpulkan bahwa pos polisi adalah solusi tunggal. Alternatif lain seperti pemasangan pagar besi dengan kawat berduri juga patut dipertimbangkan. Memang, pagar ini tidak sepenuhnya mencegah aksi bunuh diri, tetapi setidaknya memberikan waktu lebih bagi pihak keamanan untuk bertindak. Bahkan, solusi ini sudah diimplementasikan di banyak lokasi lain dengan tingkat keberhasilan yang cukup baik.
Atau kenapa pemerintah tidak memiliki program konsultasi psikiater gratis? Dana 34 miliar untuk CCTV? Rasanya kurang tepat. Kenapa psikiater gratis?
Saya mengutip beberapa sumber bahwa di Bali “Secara biologis, penyebabnya kebanyakan memang karena ada kelainan mental pada seseorang seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar. Kondisi psikososial seperti terbelit utang, terutama saat ini adalah pinjol (pinjaman online),” kata Prof Ngoerah, Dr. dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, dokter spesialis kejiwaan atau psikiater RSUP. Saya dapat pernyataan itu di detikBali.
Coba kalian yang membaca ini, compare pernyataan itu dengan alasan-alasan mereka yang melakukan ulah pati di Jembatan Bangkung, apakah lebih masuk akal? Harusnya.
Kembali ke pertanyaan awal, CCTV atau pos polisi? Mengapa tidak keduanya? Bayangkan ini, CCTV dipasang untuk memantau seluruh area, sementara pos polisi dilengkapi dengan petugas yang bisa merespons dengan cepat jika ada sesuatu yang mencurigakan. Kombinasi teknologi dan kehadiran manusia ini bisa menjadi solusi yang lebih holistik.
Namun, jika kita bicara soal efektivitas biaya, ide saya ini mungkin terdengar sedikit lebih “kaki di tanah.” Alih-alih menghabiskan Rp 34 miliar untuk CCTV, bagaimana kalau sedikit dana itu dialihkan untuk bayar dua penjaga jembatan yang stand by? Gaji mereka? Ah, nggak usah besar-besar. Umpama saja beri mereka Rp 1 juta per bulan. Jadi, Rp 2 juta per bulan untuk dua orang, dalam setahun cuma butuh sekitar Rp 24 juta. Nah, sisa Rp 33,976 miliar-nya bisa dipakai buat hal-hal penting lainnya.
Bisa jadi, bangun pagar pengaman yang lebih kokoh, atau, siapa tahu, memperbaiki jalanan yang bikin kita mikir dua kali saat lewat. Yang penting, ada manusia nyata di sana, bukan cuma gambar di layar. Gaji tersebut, selain jauh lebih hemat dibandingkan investasi awal CCTV, juga memberikan dampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Bayangkan ada dua orang yang mendapatkan pekerjaan tetap, dengan tanggung jawab mulia untuk menjaga nyawa sesama. Apakah itu tidak lebih manusiawi? Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan empati manusia, terutama dalam situasi kritis seperti ini, hahahaha, balik lagi, ini hanya opini, selebihnya kita tunggu realisasi.
Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak mana pun. Saya hanya mengajak kita semua untuk berpikir sebelum melangkah. Teknologi memang penting, tetapi kehadiran manusia jauh lebih bermakna.
Dan jika masih ada yang berkata, “Ya, tapi CCTV kan lebih canggih,” saya akan menjawab: “Iya, tapi CCTV tidak bisa menepuk bahu seseorang yang sedang menangis.”
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah ingin mengandalkan teknologi semata, atau memadukannya dengan pendekatan yang lebih humanis? Yang jelas, tujuan kita semua sama, mencegah tragedi dan menjaga Jembatan Tukad Bangkung tetap menjadi simbol kemegahan, bukan panggung kematian.[T]
- Kutipan: https://www.detik.com/bali/berita/d-7415945/tingkat-bunuh-diri-di-bali-tertinggi-se-indonesia-ini-penyebabnya
- Pendukung Opini: https://youtu.be/QMR5a9Efbpc?si=wPccy46Tq81Z4MK1
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor; Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.