KEBERADAAN, Kemahakuasaan, Kemahasegalaan Tuhan diyakini, disetiai, diimani oleh umat beragama. Umat Hindu menyebutnya sebagai srada. Yang disebut mahluk hidup, adalah mahluk yang berjiwa raga, yang terikat oleh napas (udara/bayu).
Kuaalitas mahkuk hidup sangat ditentukan oleh kualitas napas yang menjiwaragainya.
Selain unsur napas/bayu/udara, ada unsur ruang/akasa, yang membingkai mahkluk, dan unsur pertiwi/tanah/ material padat, unsur apah/air/zat cair, dan unsur teja/api/temperatur yang menjadikan bentuk, sifat, dan fungsi sesuatu mahluk.
Bentuk keyakinan manusia, di Indonesia khususnya, disebut agama. Agama yang konon diyakini, dijiwaragai manusia di Bali disebut agama Hindu.
Walaupun mengaku beragama Hindu, yang disebutkan berasal dari India, tetapi sebagian besar warga Bali (juga Indonesia bahkan dunia) meyakini dan mengimani, berbagai manisfestasi Tuhan dalam bentuk, sifat dan fungsinya, sebagai Sanghyang (Sang Keilahian/spirit/esensi tanpa tubuh), Dewa (sinar/terang,cahaya) Bhatara (pelindung/aktivitas/perbuatan) dalam sifat dan fungsinya sebagai: leluhur/asal muasal/kawitan, guru/pembimbing/pendamping/pembantu, manusia untuk mencapai kesentausaan (kepuasan, kebahagian, rasa syukur lahir dan batin).
Hyang (aksara Bali: ᬳ᭄ᬬᬂ; aksara Jawa: ꦲꦾꦁ; aksara Sunda: ᮠᮡᮀ; Osing: Iyang) adalah sebutan keilahiah dalam agama pribumi di Jawa dan Bali khususnya, yang juga dimaknai spirit/esensi.
Dewa (Dewanagari: देव; IAST: Deva) berasal dari akar kata dev dalam bahasa Sanskerta yang berarti ‘sinar atau “terang”,
Bhatara berasal dari kata “bhatr” yang berarti pelindung. Bhatara berarti “pelindung” atau aktivitas yang ilahi, sinar atau terang. Tuhan maupun manifestasinya.
“Kawitan” berasal dari bahasa Sansekerta “wit” yang berarti asal mula/awal mula atau garis keturunan/leluhur, lebih jauh dan luas bisa berati Tuhan
Leluhur Bali masa lalu, meyakini, mengimani secara lahir batin bahwa tumbuh-tumbuhan adalah saudara tertua, binatang adalah kakak dan manusia adalah yang terkecil.
Alam Bali ternyata telah terlalu sama memanjakan si anak bungsu, sehingga lupa menghargai dan menghormati yang lebih tua, kakak-kakaknya (Pohon dan Binatang) sebagai leluhur/kawitan. Tidak adanya rasa hormat pada yang lebih tua, leluhur, berarti juga telah kehilangan rasa hormat pada dirinya sendiri.
Hilangnya keyakinan, iman diri, sementara karakter manusia sebagai mahluk sosial menjadikan manusia kehilangan eksistensinya (tak percaya diri).
Rasa rendah diri yang ditutupi akan membuat seseorang tak nyaman. Rasa tak nyaman yang ditutupi, dipelihara, dibiakan akan membuat rasa tak aman, tanpa rasa aman, sulit rasanya seorang manusia bisa mendapatkan kebahagiaan.
Sebagai manusia biasa yang punya segala keterbatasan, rasa tak nyaman sering kita tutupi, dengan pikiran kata dan tindakan berlebih (melampaui kapasitas diri) yang mengingkari satya (kejujuran, kebenaran)
Misalnya kita berencana bertemu kakek nenek yang sangat kita hormati, karena keadaan, situasi dan kondisi yang tidak mengijinkan, kita hanya menelpon, melakukan videocall.
Suatu ketika pikiran, kata-kata dan perbuatan kita masih bersepakat, ada saatnya pikiran dan kata-kata kita tak bisa disatukan dengan perbuatan.
Kunci sebagai manusia berjiwa raga sebagai mahluk sosial adalah perbuatan, yang bisa dicerap indria, dan dirasakan oleh diri sendiri dan akan dirasakan juga oleh orang lain, dah lingkungan.
Saat kita tak bisa melakukan perbuatan yang kita yakini dan imani, pikiran yang tajam dan cerdas berusaha beragurmen, mencari pembenaran.
Pada saat pikiran kita merasa benar dengan argumentasinya, tetapi jiwa dan raga kita belum bersepakat, ada rasa tak nyaman yang mengganjal. Untuk menghilangan ganjalan di hati, si cucu, mengirimkan kakek neneknya makanan dan kain.
Kakek-Nenek menghargai pemberian sang cucu, sang cucu pun merasa nyaman.
Di saat yang lain, mungkin sang cucu tak punya uang untuk mengirimkan kakek neneknya makanan dan kain, hanya bisa menelpon tetangga sebelah rumah kakek nenek untuk menyampaikan kabar, kakak neneknya senang menerima kabar dari cucunya, dan si cucu merasa nyaman, aman dan bahagia karena tahu kakek neneknya nyaman aman dan bahagia.
Hubungan cucu dengan kakek neneknya sesungguhnya serupa dengan hubungan seorang manusia dengan Tuhan yang yang diyakini dan dimaninya.
Jika kakek nenek adalah manusia dengan kemanusiannya yang berjiwaraga dengan segala jenis kebutuhan yang membuatnya nyaman, mrasa aman dan bahagia, maka Tuhan adalah Maha Segala, Maha Nyaman, Maha Aman, Maha Bahagia, dan Maha itu sendiri.
Inti sebuah hubungan adalah kenyaman yang menciptakan rasa aman dan bahagia.
Kemajuan pengetahuan ternyata tidak membuat manusia merasa nyaman, aman dan bahagia, karena hanya difokuskan pada logika (perhintungan-perhitungan) bukan rasa.
Di Bali juga makin berkembang terstruktur dan masif karena terorganisasi oleh sistem sosial keyakinan pada Tuhan, dalam segala manifestasi, didasarkan pada logika manusia/hitung-hitungan.
Melakukan upacara besar (jumlah orang, biaya) akan diberikan hasil yang besar, mengajarkan meyakini Tuhan pada lebih banyak orang akan mendapatkan fee besar, dan lain-lain.
Logika untung rugi, fee dan sejenisnya ini kini dengan semangat dan tanpa malu-malu terus digiatkan, dan dikembangbiakkan oleh orang mengaku dan diakui sebagai pemimpin agama.
Kini Tuhan dan segala manusfestasinya (leluhur, manusia, pohon, binatang, tanah, air, api, udara dan ruang kosong) hanya dijadikan obyek semata, tanpa penghormatan, penghormatan dan penjagaan.
Manusia tak lagi menghormati dirinya sendiri, menghormati kemanusiaannya.
Kalau ada niat, kemauan dan usaha belum terlambat untuk kembali menyadari keberadaan diri sebagai manusia, agar tak terombang-ambing oleh keadaan situasi dan kondisi , agar tak mudah menjadi kambing hitam.
Jadi kalau benar, tujuan hidup beragama (khususnya beragama Hindu Bali) bertujuan untuk mencapai kebahagian lahir batin, dunia hakerat, mari sadari kembali diri kita sendiri.
Tenangkan diri sejenak, pusatkan konsentrasi di hulu hati/Padma Hrdaya/ Puri Atma/rumah Atman/Brahnan yang terhubung langsung dengan Paratman/Tuhan. Telisik segala hal yang sudah, sedang dan akan kita lakukan. Termasuk segala bentuk keyakinan pada Tuhan yang telah, sedang dan akan kita lakukan.
Jika ada yang salah di masa lalu, mari terima kesalahan, minta maaflah pada diri, pada leluhur, dan semuanya.
Manusia yang tak sempurna, yakinilah Tuhan Yang Maha Sempurna pasti tahu ketidaksempurnaan umatnya. Meminta maaf pada Tuhan dan diri tak perlu diketahui oleh orang lain, cukup dari hati yang paling dalam yang berkesadaran.
Kalaupun ingin melakukan permintaan maaf dengan media/sarana, lakukan kejujuran akan keadaan, situasi dan kondisi dengan media yang ada yang membuat kita merasa nyaman, sehingga tercipta rasa aman dan bahagia.
Tuhan Maha Sempurna, memuja Tuhan, adalah usaha kita dalam hidup untuk lebih menyempurnakan diri, dengan menghormati, menghargai, menjaga leluhur, manusia, binatang, pohon, dan alam dengan setia, jujur, riang gembira agar tercipta rasa nyaman, aman, dan damai.
Salam,
Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru. [T]
Kesiman Denpasar,14/04/2025
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: