MESKI menjadi kebutuhan biologis yang pasti akan dilakoni setiap orang dalam jenjang berumah tangga, seksualitas kini terkesan tabu untuk dipelajari. Tak pernah ada pendidikan pranikah untuk mengetahui pilihan waktu yang tepat, termasuk pula bagaimana cara melakukannya untuk kelak bisa melahirkan keturunan yang unggul dari segi fisik, mental, dan spiritual. Seksualitas seolah praktik yang bisa dilakukan secara intuitif, tanpa perlu berpegang pada satu titian ajaran, dan tanpa perlu keterampilan. Hal ini menjadi ironi di tengah berlimpahnya diskursus tentang seksualitas dalam warisan literasi Bali. Padahal, teks etika Bali yang kanonis seperti Sārasamuccaya dan Pameda Smara termasuk Geguritan Sucita menyebutkan hari-hari khusus yang sebaiknya dihindari untuk melakukan hubungan seksual. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah pustaka berjudul Tutur Catur Yuga yang mengulas aspek teknis dari hubungan seksual dengan aroma tantris.
Pustaka Sārasamuccaya menyebutkan satu brata berjudul Amr̥tasnataka yang mesti dipatuhi oleh seorang brahmana ketika melakukan sanggama. Secara lebih khusus, pustaka tersebut menyatakan bahwa pada hari-hari tertentu seperti bulan mati (amāwāsya), sehari sebelum bulan purnama dan bulan mati (purwani), tepat pada saat purnama (purnama), dan delapan hari setelah bulan mati serta purnama (astamikala) seorang brahmana tidak boleh mendekati perempuan. Tidak mendekati perempuan dalam konteks ini dapat pula dimaknai sebagai jeda aktivitas untuk melakukan hubungan seksual.
Penjelasan pustaka Sārasamuccaya tentang pelaksanaan brata amṛtasnātaka inilah yang menjadi hulu gagasan pemilihan hari dalam melakukan hubungan suami-istri seperti yang tertuang dalam teks Pameda Smara. Artinya, dalam menyusun suatu panduan waktu bersanggama, pengarang pustaka Pameda Smara menjadikan Sārasamuccaya sebagai referensi. Mustahil karya gubahan Bhagawan Wararuci dari Astadasaparwa itu dijadikan pegangan dalam menyusun suatu sistem pengetahuan tentang seksualitas jika tidak ada kebenaran yang universal di dalamnya. Pustaka Pameda Smara juga ikut mewacanakan hari yang tidak baik melakukan sanggama yaitu saat purnama, tilem, dan purwani. Pustaka Pameda Smara menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan sanggama pada hari-hari tersebut akan terkena malapetaka dari Sang Hyang Surya dan Candra atas kelancangannya. Lebih lanjut, pustaka ini juga memuat penjelasan tambahan bahwa pada saat hari kelahiran (paweton), Anggara Kliwon, Budha Kliwon, Saniscara Kliwon, dan semua hari suci adalah waktu yang tidak baik dalam bersanggama.
Apabila dicermati lebih teliti, pustaka Pameda Smara[i]ternyata tidak lagi menyatakan secara spesifik bahwa hari-hari tersebut adalah waktu larangan bersanggama bagi pendeta, tetapi masyarakat pada umumnya. Hal senada juga diwacanakan Geguritan Sucita. Karya sastra yang ditulis oleh Ida Ketut Jelantik dari Gria Tegeha, Banjar, Singaraja itu selengkapnya menyatakan sebagai berikut. Yadin ring kurĕnan gĕlah, sumingkin nyandang apikin, da ngamuk kadroponan, masanggama masih pilih, purnama tilĕm kĕlidin, tanggal panglong ping kutus, prĕwani masih tan wĕnang, sedĕk camah minakadi, da matĕmu, ngawe santana gĕring ila. (Geguritan Sucita, Pupuh Sinom, bait 24) Terjemahannya ‘dengan istri sendiri sekalipun, seharusnya semakin diperhatikan, jangan sembarangan dan tergesa-gesa, bersenggama juga perlu dipilih waktunya, purnama dan bulan mati hindari, delapan hari setelah bulan mati atau purnama, purwani juga tidak boleh, apalagi ketika menstruasi, jangan berhubungan, bisa menyebabkan keturunan terkena penyakit ila’.
Sekali lagi, geguritan di atas tidak menekankan waktu-waktu bersanggama tersebut secara khusus untuk pendeta, tetapi setiap pasangan yang sudah berumah tangga. Dengan nada yang agak satir, Geguritan Sucita Subudi menekankan pentingnya memilih hari baik dalam melakukan hubungan seksual, meskipun dilakukan dengan istri sendiri. Dari ungkapan itu kita juga dapat menduga bahwa tidak sedikit pasangan suami istri yang menerobos hari-hari larangan tersebut. Hari-hari yang dimaksud adalah purnama, bulan mati, hari ke delapan setelah bulan mati atau purnama, purwani, dan ketika sang istri sedang haid (menstruasi). Konsekuensi melakukan hubungan seksual pada hari-hari tersebut adalah lahirnya keturunan yang berpotensi tertimpa penyakit ila.
Geguritan Sucita Subudi juga menyebutkan sumber pustaka yang harus dipelajari agar seseorang katam dalam berhubungan seksual, yaitu Cumbana Sasana. Teks itu menyatakan sebagai berikut: lontar cumbana sasana, pĕpĕsang nto ngawacenin, apang sĕkĕn apang tatas, ring tingkahing ngalap rabi, mangda tan pati purugin, reh agung halane pangguh, kewĕh malih mangawitang, ngumbah pĕlihe jumunin, ñĕsĕl pangguh, mĕlah yatnain matingkah (Geguritan Sucita, Pupuh Sinom, bait 25). Lontar Cumbana Sasana, sering-seringlah itu dibaca, agar benar-benar paham, tentang tata cara berhubungan dengan istri, tidak sembarangan melanggar, karena besar sekali bahaya yang akan didapatkan, dan sulit mengembalikan lagi, termasuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan, sehingga penyesalan yang didapat, dengan demikian lebih baik hati-hati ketika berperilaku’.
Pustaka berjudul Cumbana Sasana yang disebut dalam Geguritan Sucita di atas tidak saja menepis anggapan seksualitas sebagai hal yang tabu, tetapi sekaligus memberikan rekomendasi agar pustaka itu dijadikan mata pelajaran hidup yang mesti dikuasai seseorang. Ajaran Cumbana Sasana atau Acumbana Krama juga pernah diperdebatkan oleh I Gusti Dauh Bale Agung dan Dang Hyang Nirārtha di Mas ketika ia diutus oleh Dalem Waturenggong untuk mengundang pendeta tersebut ke Gelgel. Acumbana Sasana atau Acumbana Krama merupakan ilmu bercinta yang diadaptasi dari ajaran Smara Tantra. Ajaran Smara Tantra sendiri adalah pengetahuan dasar tentang penciptaan dan peleburan. Dalam penciptaan, Smara Tantra mempertemukan Purusa dan Pradhana. Sebaliknya dalam peleburan, kedua elemen tersebut dipisahkan. [ii]
Tutur Catur Yuga
Pandangan bahwa aktivitas sanggama sebagai laku yang berdimensi spiritual juga disangga oleh penjelasan Tutur Catur Yuga.[iii] Pustaka yang menceritakan kisah pertempuran antara Raja Bhanoraja dengan Rakatabyuha itu memuat petuah panjang seorang pendeta yang bernama Purbhasomi. Karena memuat ajaran pendeta tersebutlah karya berbentuk tutur ini juga diberi judul Tutur Bhagawan Purbhasomi. Melalui penjelasan Bhagawan Purbhasomi pula kita tahu bahwa seorang pendeta yang hendak melakukan sanggama diikat oleh tata krama (sasana).
Pertama-tama sebelum bersanggama, seorang pendeta disarankan untuk membersihkan diri dengan mantra berikut ini: Ong gumi suddha sarira suddha, bayu suddha kadi Sang Hyang Candra tan kalamukan megha, mangkana ening sarira jati, tan patalutuh, tĕlas ikang sarwwa lĕtuh. Ketika keinginan melakukan hubungan suami-istri itu telah tumbuh, ia mesti berkonsentrasi pada Hyang Smara dan Ratih. Setelah itu, pendeta laki-laki memegang dan meremas payudara istrinya. Susu yang di sebelah kanan bernama I Resta, sedangkan sebelah kiri bernama I Bakul. Gerakan tersebut lalu diikuti dengan mencium pipi sang istri yang bernama I Sundari Putih dan hidung yang bernama I Mas. Pada saat mencium, dalam batinnya ia menciptakan visualisasi Ongkara Sumungsang (terbalik) dengan Ongkara Ngadeg (tegak). Setiap melakukan ciuman, pada saat yang bersamaan juga mengundang I Sundari Putih. Ucapan yang dilantunkan di dalam hati ketika mengundang I Sundari Putih adalah Nyai Mas Sundari Putih, menek wangsya hati ring tempat. Usai mengundang Ni Sundari Putih, sang pendeta menyimpan tenaganya sebentar, sembari membuka pintu yang ada di wilayah Pemenang (vagina) disertai dengan desahan. Setelah itu barulah sanggama dilakukan. Karena merasa nyeri di wilayah vagina, biasanya roman wajah sang istri berseri. Pada saat itu, ada cairan berwarna kekuningan mengalir di vaginanya yang bernama Kuta Jaring Wesi. Adegan memeluk dan memangku juga mesti dilakukan oleh pendeta laki-laki selama proses sanggama. Pasca melakukan berbagai adegan tersebut dan tenaga pasangan masing-masing telah habis, Sang Pendeta merapalkan mantra berikut ini: Tirtha, tirtha kamandalu, sepi-sepi, alah maharum kena ya. Di adegan penutup, sang lelaki mencium keringat telapak tangan istrinya.[iv]
Pustaka Catur Yuga memberikan jaminan bahwa keringat sang istri akan beraroma wangi ketika berhasil dengan tepat melakukan hubungan sanggama sesuai petunjuk pustaka itu. Jika keringatnya wangi, sang pendeta laki-laki dapat mengusapkannya ke seluruh tubuh.[v] Aroma keringat yang wangi itu secara tidak langsung menjadi penanda suksesnya aktivitas hubungan suami istri yang dilakukan dengan landasan cinta kasih dan spiritual. Kelak, jika hubungan suami istri itu melahirkan seorang anak maka anak itu akan lahir dengan kualitas tubuh yang jarang tertimpa sakit, segala penjahat takut, pandai dalam segala bidang ilmu, berperilaku suci, perwira, dan berkuasa.
Spirit Tantra
Dikaitkan dengan konteks ajaran Tantra yang berpengaruh kuat di Bali, kita dapat memaknai lebih dalam aktivitas seksual dalam pustaka Catur Yuga di atas.
Langkah pertama yang dilakukan ketika melakukan hubungan seksual adalah membersihkan diri menggunakan mantra yang pada intinya bertujuan agar ruang yang ada di luar diri (gumi suddha), tubuh (sarira suddha), dan tenaga (bayu) seseorang menjadi bersih serta bebas dari segala kotoran. Kenapa harus membersihkan tiga hal tersebut menggunakan mantra? Jelas karena lapisan tubuh yang disasar bukan hanya pada tingkatan fisik, tetapi batin. Untuk membersihkan batin manusia dari kekotoran laten, mantra adalah sarana yang bisa digunakan. Mantra merupakan salah satu alat untuk menyeberangkan pikiran menuju kesucian karena pikiran manusia senantiasa bergejolak seperti riak air samudra. Oleh sebab itu, kekuatan mantra jika diucapkan dengan benar akan menyebabkan pikiran terkonsentrasi, semakin terpusat, semakin terarah sesuai dengan tujuan orang yang melantunkannya. Lapisan tubuh batiniah yang telah suci seperti cahaya bulan tak bermendung inilah yang nantinya akan digunakan sebagai brahma pura ‘Kuil Tuhan’. Hati yang suci dan hening itu pula dijadikan altar untuk memuja Hyang Smara dan Ratih sebagai dewata pemegang otoritas penciptaan. Beliau berdua adalah ayah ibu dari seluruh kehidupan.
Selanjutnya, bagian-bagian tubuh yang dijadikan sebagai generator rangsangan seperti pipi, hidung, dan payudara tidak dianggap seperti benda fisik-mati belaka, tetapi diberi nama spesifik untuk melegitimasi daya hidupnya. Pipi bernama Ni Sundari Putih ‘tanah putih’, hidung bernama I Mas ‘emas’, payudara kiri bernama I Resta ‘hresta: kesenangan’, dan payudara kanan bernama I Bakul ‘wakul’. Pemberian nama yang berkonotasi positif seperti ‘tanah putih’ untuk warna pipi, ‘emas’ untuk warna hidung, ‘kesenangan’ dan ‘wakul’ untuk kesuburan payudara tersebut juga bertujuan memuliakan bagian-bagian tubuh pada saat proses berhubungan seksual dilakukan.
Pada saat mencium, konsentrasi diarahkan penuh untuk visualisasi Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang. Penggunaan visualisasi ini jelas menjadikan tubuh sebagai simbol mistis (mystic symbol). Tubuh manusia, baik laki-laki maupun perempuan dibayangkan seperti Ongkara dengan penjelasan sebagai berikut. Rambut yang seperti helai garis tipis dengan posisi ke atas sama dengan Nada. Kepala yang bentuknya bulat adalah Windhu. Bahu kiri dan kanan yang dilekukkan ke atas menyerupai bulan sabit sama dengan Ardha Candra. Selanjutnya, organ di bawah dagu, mulai dari dada hingga kaki merupakan Okara yang bentuknya serupa dengan angka tiga dalam aksara Bali. Okara ini pada umumnya disebut Wiswa yang berarti lingkaran jagat atau bumi.[vi] Ketika ciuman dilakukan bahkan diteruskan dengan adegan sanggama, kedua pasangan yang melakukan sanggama sudah memvisualkan diri berwujud Ongkara. Barangkali, pada saat inilah pembagian menjadi Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang dilakukan. Ongkara Ngadeg adalah figur perempuan yang berada di posisi bawah, sedangkan Ongkara Sungsang adalah figur laki-laki yang berposisi di atas. Pertemuan kedua pasangan yang sudah memvisualisasikan diri sebagai Ongkara ini mengharapkan didapatkannya amerta ‘air suci kehidupan yang abadi’ dalam aktivitas sanggama.
Bersandar pada penjelasan di atas, hubungan seksual yang semula hanya aktivitas fisik berubah menjadi sangat sublim karena dalam batin seorang pendeta telah manunggal dua perwujudan aksara, yaitu Ongkara Sungsang dan Ongkara Ngadeg. Pasca melakukan sanggama dengan teknik inilah seorang pendeta mengharapkan amertha atau air suci kehidupan yang abadi. Cara menuntunnya adalah dengan rapalan mantra Tirtha, tirtha kamandalu, sepi-sepi, alah maharum kena ya. Mungkin, salah satu ciri bahwa amerta telah didapatkan melalui proses sanggama adalah keluarnya aroma harum dari keringat pasangan setelah melakukan sanggama. Oleh sebab itu, pustaka Catur Yuga menyarankan agar mencium keringat telapak tangan istrinya. Untuk apakah amerta itu?
Salah satu jawaban di balik usaha mencari amerta melalui sanggama adalah untuk dijadikan “minuman” bagi Atma.[vii] Itulah capaian tertinggi dalam aktivitas seksual. Yang mereguk kenikmatan dari aktivitas itu tidak hanya badan dengan segenap piranti indrawinya, tetapi juga lapisan terdalam manusia yaitu sang Jiwa. Sampai di sini, kita melihat pergerakan aktivitas seksual melangkah dari pendakian raga menuju aksara. [T]
Paris, 5 April 2025
[i] Oka Manobhawa, IB. tt. “Pameda Smara Jalaran Ngulati Kaluhuraning Budhi” (Paper dibawakan dalam Seminar Bulan Bahasa Bali tahun 2019).
[ii] Dharma Palguna, IBM. 2015. Shastra Wangsa Kamus Istilah Wangsa Bali Pustaka Pusaka Manusia. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 67.
[iii] Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. 100.
[iv] Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. Hlm. 100-102)
[v] Putra Pudartha, IB, dkk. 2008. Alih Aksara dan Terjemahan Catur Yuga. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Hlm. 102.
[vi] Dharma Palguna, IBM. 2018. Manusia Tattwa. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 71-72
[vii] Dharma Palguna, IBM. 2018. Manusia Tattwa. Mataram: Sadampatyaksara. Hlm. 20
Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA