ADA banyak alasan yang membuat saya hadir pada saat penutupan acara Bali Berkisah 2025, Minggu, 23 Maret 2025, di Graha Yowana Suci, Denpasar. Selain karena ingin mendengarkan para pembicara bercerita tentang proses kreatif dan suara-suara yang mereka perjuangankan, saya juga ingin berjejaring dan menambah teman.
Alasan yang sesungguhnya tak bisa saya abaikan adalah saya ingin menyaksikan pementasan “Apa Kabar Masa Depan?” yang dipersembahkan Komunitas Aghumi.
Komunitas Aghumi adalah sebuah komunitas seni pertunjukan yang berfokus pada isu-isu kesehatan mental dengan terapi partisipatoris yang menggunakan tarot sebagai medium penciptaan karya. Malam itu, Komunitas Aghumi berkolaborasi dengan Teater Sangsaka dan Teater Antara.
Saya kenal beberapa pemain di dalamnya, juga beberapa orang di balik layar. Produsernya teman saya, Wulan Dewi Saraswati, orang yang pertama kali membawa saya berproses lebih dalam ke dunia teater. Sutradaranya, Santi Dewi, dulu sama-sama berproses di Komunitas Mahima, Singaraja.
Saya dan Gek Santi sekali dua kali pernah menjadi partner MC (tapi saya bukan MC profesional ya, maaf dulu nih).
Dengan, alasan-alasan itu, maka, jadilah saya berangkat dari Bedugul, tempat saya tinggal, ke Denpasar, menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Slow ride, sambil dengar lagu dan hati-hati di jalan.
Malamnya, sekitar pukul 20.30 lebih, saya menyaksikan pertunjukan ramalan tersebut dan saya cukup menikmatnya. Klee nok, mantap betul, Aghumi.
Bukan Ramalan Masa Depan tapi Refleksi Masa Kini
Meski mereka menyebut pementasan malam itu sebagai sebuah pertunjukan ramalan, bagi saya sendiri pementasan mereka justru lebih cocok disebut sebagai pertunjukan refleksi ketimbang menengok masa depan.

Pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” oleh Komunitas Aghumi di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
Di awal pertunjukan, sebagian dari mereka berpencar ke sana ke mari, ke sisi kanan dan sisi kiri panggung, masuk ke sela-sela kursi yang sudah berberes rapi, dan mingle bersama para penonton. Mereka meminta orang-orang tersebut untuk menarik sebuah kartu kemudian membacakan interpretasi mereka terhadap kartu tersebut.
Apakah pembacaan kartu-kartu tersebut adalah pembacaan terhadap masa depan? Tentu saja tidak.
Sebagaimana konsep kartu tarot itu sendiri, kartu tarot bukan kartu yang membaca masa depan, tapi lebih sebagai kartu yang memberikan refleksi dan bimbingan. Tarot bekerja dengan membaca energi atau pola yang sedang terjadi dalam hidup seseorang.
Kartu tarot dapat disamakan seperti sebuah cermin, bayangan yang dipantulkan membantu untuk melihat diri sendiri, memahami situasi yang sedang terjadi, kemudian memberikan kemungkinan-kemungkinan tentang jalan ke depan. Tarot adalah refleksi, bukan prediksi.
Begitu pula dengan kehadiran kartu-kartu yang dibagikan di awal pementasan. Kartu-kartu tersebut seakan menjadi titik awal untuk menentukan jalan selanjutnya, menjadi peta dan rambu-rambu untuk menentukan arah ke depannya. Masa depan ditentukan oleh tindakan yang kita lakukan. Kartu-kartu itu membantu mengambil keputusan dalam menciptakan masa depan.
Ada yang bertanya “Bagaimana jika kartu yang didapat bukanlah kartu yang bagus?”
Well, ini kata Henry Manampiring ya. Hidup itu bukan perkara kartu bagus atau kartu yang tidak bagus, tapi perkara bagaimana seseorang bisa memainkan kartu-kartu itu dengan bagus. Life is not about good cards, but about being good at cards.
Saat bermain kartu, mendapat kartu yang kurang atau tidak bagus bukan berarti kekalahan. dan mendapat kartu yang bagus pun belum menjamin kemenangan. Kuncinya adalah bagaimana kartu-kartu itu akan dimainkan. Sama juga dengan hidup, dan permainan inilah yang akan menentukan masa depan. Jika bermain dengan bagus, tidak menutup kemungkinan masa depan akan cerah gemilang. Jika bermain dengan buruk, sudah tentu hasilnya juga akan buruk, masa depan akan gelap dan suram.
Merespon Keresahan Bali Saat Ini
Lewat pementasan malam itu, Aghumi menghadirkan respon mereka terhadap kondisi Bali saat ini yang kian riuh oleh berbagai permasalahan. Pakaian yang mereka kenakan jauh dari kata glamor. Cukup sederhana, baju kaos dan celana panjang saja. Ada yang pakai kemeja, ada juga yang mengikat handuk di kepala. Mereka mewakili masyarakat marginal yang rasanya lebih dekat dengan permasalahan-permasalahan yang ada.


Pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” oleh Komunitas Aghumi di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
Sepasang muda-mudi berselisih di depan panggung. Gesture mereka menunjukkan mereka sedang berdebat. Sayangnya tak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan. Selain karena saya terlalu jauh menonton dari belakang, mereka juga tidak memakai pengeras suara. Tak berselang lama, mereka dibubarkan oleh para pemakai jalan, para pengendara motor dan pengendara mobil.
Motor-motor dan mobil-mobil direpresentasikan dengan keranjang bambu yang mereka bawa di tangan masing-masing.
Jika dikaitkan dengan kondisi Bali saat ini, bukankah apa yang mereka pentaskan adalah apa yang sering dijumpai di media sosial? Orang-orang tak segan-segan berkelahi di tengah jalan, disaksikan oleh orang-orang lain sambil merekam atau memvideokan kejadian kemudian diunggah di facebook pro. Tak jarang juga perkelahian tersebut menimbulkan keramaian dan kemacetan di jalan.
Apakah masa depan itu? Ya, jika kondisi tersebut dibiarkan, masa depan bisa jadi adalah kekacauan dan baku hantam di sana sini.
Ada momen saat para pemain mulai merespon dengan caranya sendiri, dengan gesture-nya sendiri, sambil ditemani narasi soal permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kabupaten di Bali, seperti overtourism, infrastruktur tidak memadai, peningkatkan sampah, intrusi air asin, dan kebocoran pendapatan pariwisata. Juga tentang biaya hidup tinggi bagi warga lokal, juga tentang masalah pengelolaan sampah dan limbah yang berdampak pada lingkungan serta kesehatan masyarakat.
Juga tentang alih fungsi lahan pertanian mengancam keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan, serta krisis air bersih akibat eksploitasi industri pariwisata serta konversi lahan pertanian yang mengancam sistem subak, kemacetan, banjir akibat drainase buruk, dan masih banyak lagi. Masalah yang nyata terjadi di Bali saat ini.

Pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” oleh Komunitas Aghumi di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
Para pemain menjadi masyarakat urban dan marginal. Ada yang menjadi kuli panggul, mengangkat keranjang tersebut di atas pundak seolah-olah mengangkat beban berat, kemudian meletakkannya pelan-pelan. Ada yang menjadi pengendara motor ugal-ugalan, yang menoleh ke belakang terlebih dahulu, kemudian menancap gas dengan sangat kencang ke depan.
Ada yang menjadi pemulung, atau tukang pungut sampah, berjalan ke sana ke mari memungut sampah di atas tanah kemudian memasukannya ke keranjang. Ada yang menjadi tukang pasir, dengan gerakan seperti sedang memindahkan pasir ke dalam keranjang menggunakan sekop.
Ada yang menjadi pemancing, ada yang menjadi penari, dan masih banyak lagi. Masyarakat-masyarakat tersebutlah yang menghadapi secara langsung dampak dari negatif dari permasalahan yang ada.
Jika masalah tidak diatasi, maka akan bagaimana kabar masa depan hidup ini? Mereka mengajak para penonton untuk menemukan jawabannya sendiri.
Keranjang Bambu dan Simbol-Simbol yang Dihadirkan
Keranjang bambu boleh dikatakan sebagai pilihan terbaik yang dapat merepresentasikan kehadiran masyarakat marginal. Dalam kehidupan masyarakat, keranjang bambu sering dikaitkan dengan pekerjaan yang dianggap kotor atau kasar. Banyak pemulung menggunakan keranjang bambu untuk mengumpulkan barang bekas. Pedagang sayur, ikan, atau daging sering menggunakan keranjang bambu untuk menyimpan dan mengangkut dagangan mereka. Petani menggunakannya untuk membawa hasil panen seperti padi, jagung, atau sayuran dari ladang ke rumah atau pasar. Peternak sering memakainya untuk membawa rumput, pakan ternak, atau kotoran hewan.
Karena banyak digunakan dalam pekerjaan kasar atau berhubungan dengan sampah dan kotoran, keranjang bambu sering dianggap sebagai simbol kehidupan kelas bawah. Keranjang bambu menjadi simbol kemiskinan, simbol keterbelakangan ekonomi, jarang diasosiasikan dengan barang mahal atau mewah, sehingga dianggap kuno, tidak bergengsi untuk digunakan dalam kehidupan modern.

Pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” oleh Komunitas Aghumi di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
Keranjang-keranjang itu juga menjadi simbol beban dan perjuangan. Contohnya, para pemain yang terlihat memikul keranjang bambu merepresentasikan beban sosial dan ekonomi yang sedang mereka hadapi. Pemain yang menyeret keranjang bambu menggambarkan penderitaan mereka untuk tetap bertahan hidup.
Keranjang kosong yang tetap dibawa meski tak ada isinya bisa menjadi metafora tentang harapan atau keyakinan untuk terus berjuang. Pemain yang melempar keranjang ke tanah kemudian memukulnya sampai tak karuan bentuknya dapat menunjukkan keputusasaan, kemarahan, dan menyerah dalam hidup.
Jika dikaitkan dengan tema pementasan mereka, keranjang bambu itu juga bisa disimbolkan sebagai masa depan itu sendiri. Dari awal pementasan, keranjang tersebut tak pernah lepas dari tangan pemain. Benda tersebut dibawa ke mana-mana, ke sana ke mari, menjadi pijakan kaki, diletakan di atas kepala, seolah-olah benda rapuh yang harus dijaga bentuknya, yang harus diisi kekosongannya, yang dapat membawa hidup menjadi lebih baik lagi.
“Harus diisi kekosongannya!” Ini bisa menjadi metafora tentang bagaimana masa depan selalu memiliki ruang untuk diisi dengan segala kemungkinan baik yang belum tergarap, yang masih bisa dibangun, dan yang masih bisa diperjuangkan
Ngeri Disayat Keranjang, Ngeri Juga Disayat Masa Depan
Sepanjang pementasan, saya cukup merasa khawatir dengan kondisi para pemain. Dari awal, beberapa dari mereka sudah memegang keranjang bambu dengan tangan kosong, tanpa slop tangan, tanpa pelindung apa-apa. Mereka menggerakannya sedemikian rupa seolah-olah keranjang itu adalah sepeda motor, stir mobil, handphone dengan kamera selfie tercanggih, dan hal-hal lain yang sering dijumpai di kehidupan urban dan marginal. Bagaimana jika kulit mereka tergores, atau ada serpihan-serpihan bambu yang menancap terlalu dalam ke lapisan kulit? Tentu saja akan sangat menyakitkan, atau jika tidak terasa sakit, sudah pasti rasanya tidak nyaman.
Saya sudah pernah merasakan dan mengalaminya dulu, sewaktu kecil. Tangan disayat serpihan bambu sewaktu bermain-main dengan keranjang. Ngeri kalau diingat-ingat.
Namun, jika dipikir-pikir, lewat keranjang-keranjang itulah Aghumi cukup sukses menghadirkan kekhawatiran terhadap masa depan. Saya khawatir kepada tangan mereka sebagaimana saya juga khawatir terhadap masa depan. Rasa takut disayat keranjang bambu sama buruknya dengan rasa takut disayat masa depan. Lagi-lagi, ngeri kalau diingat-ingat.
Karena bukankah masa depan juga bisa sekejam itu?
Masa depan bisa saja datang tanpa perlindungan, tanpa peringatan, membiarkan siapa saja menggenggamnya dengan tangan kosong, sama seperti para pemain yang menggenggam keranjang bambu tersebut. Mereka mungkin berpikir bahwa mereka cukup kuat, cukup siap, cukup kebal terhadap luka-luka kecil yang mungkin ditimbulkan. Tapi siapa yang bisa menjamin tidak ada serpihan tajam yang menusuk terlalu dalam? Siapa yang bisa memastikan bahwa goresan-goresan itu tidak akan membekas, tidak akan berubah menjadi luka yang diam-diam membusuk?

Adegan penutup dalam pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” oleh Komunitas Aghumi di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
Dan seperti serpihan bambu yang tak kasatmata, bahaya di masa depan juga sering kali datang dengan cara yang halus, nyaris tak terasa saat pertama kali menyentuh kulit. Mungkin baru disadari ketika semuanya sudah terlambat, ketika sudah terlanjur berdarah, ketika mengusap tangan dan mendapati luka yang tak bisa lagi diabaikan.
Ngeri kalau dibayangkan. Namun, lebih ngeri lagi jika kita benar-benar mengalaminya. Entah dibayangkan atau dialami, masa depan benar-benar mengerikan.
Masa Depan Tangan Kita yang Tentukan
Lalu, apa kabar masa depan? Apakah masa depan adalah Bali yang tenggelam, kualitas hidup yang terus merosot, kemacetan yang tak kunjung terurai, perselisihan yang tak hanya terjadi di bahu jalan tetapi juga di setiap lini kehidupan? Apakah masa depan adalah harga-harga yang terus melambung tinggi sementara harapan justru semakin murah nilainya?
Ataukah masa depan adalah rasa lelah yang tak berkesudahan, di mana manusia terjebak dalam roda kehidupan yang berputar tanpa tujuan?

Foto bersama seluruh tim Komunitas Aghumi seusai membawakan sebuah pertunjukan ramalan “Apa Kabar Masa Depan?” di malam penutupan Bali Berkisah 2025 | Foto: Bali Berkisah
“Masa depan ada di tangan kalian!” Begitulah kata-kata yang menjadi penutup pementasan malam itu. Jika dilihat dari apa yang sudah mereka tampilkan, masa depan bisa jadi adalah setiap keputusan yang diambil hari ini yang akan menentukan arah masa depan. Jika memilih untuk peduli terhadap lingkungan, maka harus bisa menciptakan dunia yang lebih hijau.
Jika ingin mengembangkan teknologi dengan etika dan tanggung jawab, maka inovasi yang diciptakan harus bisa membawa manfaat besar bagi kehidupan manusia. Jika ingin menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, maka dunia akan tetap menjadi tempat yang layak huni bagi semua orang.
Jadi, meskipun narasi tentang masa depan bisa terasa mengerikan, semua orang memiliki kuasa untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih baik. Masa depan ada di tangan masing-masing. Pertanyaannya, seperti apa masa depan yang ingin diciptakan?
Tentang Bali Berkisah 2025
Bali Berkisah 2025 adalah ruang perjumpaan bagi anak muda Bali untuk menyelami kekayaan sastra dan budaya Bali. Sebagai sister festival dari Ubud Writers & Readers Festival, Bali Berkisah bukan sekadar perayaan literasi, tetapi juga wadah eksplorasi isu sosial-budaya melalui diskusi, karya kreatif, serta pertemuan lintas disiplin seni.
Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi, festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati ini berupaya menumbuhkan kecintaan terhadap sastra, budaya, dan kearifan lokal, serta memperkenalkan suara-suara baru dalam dunia literasi dan seni di Bali. Festival ini dapat terselenggara berkat dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2024, serta Graha Yowana Suci sebagai ruang inspiratif bagi generasi muda. [T]
Penulis: Julio Saputra
Editor: Adnyana Ole