PARA pembaca yang budiman, kali ini saya ingin mengajak kita berdisukusi agak berat, namun urgen. Sebenarnya, ini soal pendidikan di negara kita. Sebagai warga negara Konoha, yang katanya IQnya rata-rata78,49, tentu saya gemar melhat TikTok.
Nah, kemarin di TikTok ditayangkan bagaimana banyak anak, setingkat SMP dan SMA tidak mampu bernalar dan berhitung dengan layak. Tidak mampu menyelesaikan hitungan sederhana seperti 5×4, 6+10, 2 tahun berapa bulan, dan seterusnya (entah benar atau hanya setting-an untuk konten). Padahal, pendidikan adalah fondasi utama bagi kemajuan suatu bangsa.
Namun, saat ini nampaknya kondisi pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan besar yang membutuhkan perhatian lebih. Salah satu masalah mendasar yang harus segera diselesaikan adalah relevansi kurikulum pendidikan yang kerap kali tertinggal dari perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi kemajuan teknologi yang pesat, seperti kecerdasan buatan (AI).
Saat ini yang nyerempet bidang pendidikan, yang sedang getol dicanangkan adalah Makan Bergizi Gratis (MBG), lalu di bidang kesehatan adalah pencegahan stunting. Tapi melirik kasus TikTok di atas (jika benar), ini bukan cuma soal makanan bergizi gratis atau program anti-stunting yang marak belakangan ini. Meskipun saya yakin memiliki niat baik, tampaknya program-program berbasis perut itu mulai menunjukkan gejala-gejala tidak cukup memberi dampak jangka panjang yang signifikan. Belum lagi potensi fraud-nya.
Ketua KPK Setyo Budiyanto, bahkan sampai mengingatkan bahwa dalam program dengan dana besar semacam ini, ada potensi penyimpangan, maka harus diawasi dengan ketat. Artinya jangan sampai anggaran untuk menangani stunting dikorupsi. Korupsi dana stunting dan MBG bisa masuk kategori kejahatan kemanusiaan, karena peruntukannya sarat dengan sisi kemanusiaan dan menyangkut masa depan anak bangsa. Namun ada yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar tubuh pendek akibat kurang gizi, yaitu kecerdasan yang ikut stunting.
Masalah yang kita hadapi lebih dalam, lebih sistemik. Kita sedang menghadapi generasi yang bisa jadi, tumbuh gagah dan cakep namun tanpa daya pikir kritis, tanpa daya juang intelektual, dan tanpa kemampuan menghadapi dunia yang semakin kompleks. Jadi dunia pendidikan kita sekarang ini sepertinya dalam kondisi kritis, saudara. Semacam harus masuk ICU kalau di rumah sakit. Gawat, dan darurat.
Manusia, Zoon Politicon, dan Kecerdasan yang Tertinggal
Sang filsuf Aristoteles, mengenalkan manusia sebagai zoon politicon, makhluk sosial yang seharusnya mampu berpikir dan bertindak dengan akal budinya. Namun, ketika pendidikan kita masih saja berkutat pada hafalan dan doktrinasi, lalu di mana pintu masuk ke ruang akal budi itu? Kita justru lebih panik mengurus program-program jangka pendek seperti pemberian makanan gratis dibanding merancang pendidikan yang benar-benar membebaskan.
Pendidikan yang ideal seharusnya membentuk manusia yang mampu berpikir kritis, mampu berdiskusi, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara aktif. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kurikulum kita terlalu kaku, metode pengajaran masih konvensional, dan sistem pendidikan lebih sering menjadi alat kontrol dibandingkan sebagai ruang pembebasan intelektual.
Ada lagi yang menarik, para pelajar diberi kesempatan belajar dengan merdeka dan jamkos untuk browsing bebas ala kadarnya untuk menyelesaikan soal dan tugas dari guru, tanpa diberi bimbingan dan arahan yang memadai, apalagi penerangan. Jadinya gelap. Oh astaga, pantas kemarin ada #IndonesiaGelap.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed sudah lama mengkritik pendidikan yang bersifat banking system, di mana murid hanya dianggap sebagai wadah kosong yang diisi pengetahuan tanpa diberi kesempatan untuk berpikir secara kritis. Kalau kita bicara soal pendidikan, kita juga mesti bicara tentang kurikulum.
Kurikulum di Indonesia masih terjebak pada sistem lama yang lebih menitikberatkan pada hafalan dibandingkan dengan pemahaman mendalam. Anak-anak diajarkan rumus, tapi tidak diajarkan cara berpikir logis. Mereka belajar teori-teori ekonomi, tapi tidak pernah diajarkan bagaimana mengelola keuangan pribadi. Mereka menghafal sejarah, tapi tidak pernah benar-benar diajak berpikir kritis tentang bagaimana sejarah membentuk dunia yang mereka tinggali sekarang.
Sementara itu, dunia terus bergerak. Teknologi berkembang pesat, kecerdasan buatan semakin cepat mengambil alih pekerjaan yang sifatnya repetitif, dan kita masih saja sibuk dengan ujian-ujian berbasis hafalan. Di mana pendidikan yang seharusnya membebaskan manusia dari keterbelakangan intelektual dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan zaman? Di luar sana AI perkembangannya bak lari sprint tapi kita di sini masih ribut apakah gerakan” jalan di tempat” kita cukup gagah atau tidak. Tu wa, tu wa, hentiiiii graakk!!! Waduh apa tidak miris, para pembaca yang budiman.
Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Distraksi?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tentu saja penting, penting saya bilang, untuk memastikan anak-anak tidak kelaparan. Namun, jika hanya sebatas itu, ini hanyalah solusi jangka pendek. Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika kita dijebak, maksud saya terjebak, dalam paradigma bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia adalah soal perut, bukan soal kecerdasan. Padahal, ancaman terbesar bagi masa depan bangsa ini bukan sekadar anak-anak yang kurang gizi, tetapi anak-anak yang tidak diajarkan berpikir kritis dan inovatif.
Saat berbicara tentang masa depan anak-anak Indonesia, ada baiknya fokus kita tidak hanya pada berapa banyak kalori yang mereka konsumsi, tapi juga pada kualitas pendidikan yang mereka terima. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan jika kita tidak serius membenahi sistemnya, maka kita hanya akan melahirkan generasi yang sehat fisiknya tapi miskin wawasan dan keterampilan.
Anggaran besar untuk program makan gratis bisa saja dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan: pelatihan guru, penyediaan bahan ajar yang lebih relevan, atau pembangunan fasilitas pendidikan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, bisa untuk membuka akses bagi anak-anak yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Saat berbicara tentang stunting, kita harus melihat lebih jauh dari sekadar pertumbuhan fisik. Anak-anak yang kurang gizi memang bisa mengalami gangguan perkembangan otak, tapi ada faktor lain yang tak kalah penting yaitu kurangnya rangsangan intelektual. Pendidikan yang buruk adalah bentuk lain dari stunting, dan ini jauh lebih sulit diperbaiki dibandingkan kekurangan gizi. Tapi kita tampaknya lebih senang memberikan solusi instan yang bisa dipublikasikan dengan cepat dibanding berinvestasi pada sesuatu yang hasilnya baru bisa dilihat puluhan tahun ke depan.
Program anti-stunting jelas penting dan bagus sekali. Cuma saja kita musti sadar bahwa kita juga sedang mengalami stunting dalam cara berpikir, tidak hanya pada generasi mudanya, tapi juga pada generasi tuanya. Tidak sedikit keluarga yang kurang memahami pentingnya pendidikan, bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga karena pendidikan belum benar-benar menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara. Paling parah kalau para pemangku kebijakan juga kena stunting berpikir. Lha itu, buktinya ada guru honorer, konon di planet ini, hanya negara Konoha yang punya kebijakan guru honorer.
Dosen dan Guru: Pilar yang Terabaikan
Salah satu faktor utama yang sering luput dari perhatian adalah kesejahteraan tenaga pendidik. Dosen dan guru adalah ujung tombak pendidikan, tapi sering kali mereka justru menjadi kelompok yang paling diabaikan.
Sayangnya, dosen dan guru di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, mulai dari gaji yang tidak sebanding dengan beban kerja hingga tuntutan administratif yang berlebihan. Minimnya apresiasi membuat banyak tenaga pengajar kehilangan semangat untuk berinovasi dalam mengajar. Bagaimana bisa kita berharap mereka mengajar dengan penuh dedikasi jika kebutuhan dasar mereka sendiri belum terpenuhi?
Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan sekadar alat penjinakan. Tapi bagaimana kita bisa berharap pendidikan menjadi alat pembebasan kalau para pendidiknya sendiri tidak bebas, terbelenggu dalam sistem yang tidak menghargai peran mereka? Jika kita ingin menciptakan generasi yang cerdas, kita harus mulai dengan menghargai mereka yang berjuang di garis depan pendidikan. Dalam sokoguru atau pilar pendidikan indonesia ini berkaitan erat dengan yang disebut Ing Ngarsa Sung Tuladha. Berada di depan memberi tauladan. Sistem kita yang belum beres membuat fungsi ini mandul.
Pendidikan Adalah Investasi, Bukan Bantuan Sosial
Jika kita benar-benar ingin membangun masa depan yang lebih baik, kita harus mulai melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar proyek bantuan sosial. Pastikan generasi muda kita juga mendapatkan “gizi intelektual” yang cukup agar bisa bersaing di dunia yang semakin kompleks. Memberikan makanan gratis mungkin bisa menyelesaikan masalah sementara, tapi tanpa pendidikan yang berkualitas, kita hanya akan menciptakan generasi yang bergantung pada bantuan dan bermental peminta-minta, tanpa memiliki daya saing.
Sebagai zoon politicon, dalam konteks pendidikan manusia harus mengutamakan akal budinya, bukan perutnya. Dan sebagai bangsa, bangsa yang besar katanya, kita harus memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya diberi makan, tetapi juga diberi kesempatan untuk berpikir, bertanya, berdialektika, dan menciptakan sesuatu yang lebih baik untuk dunia ini.
Saya yakin kita semua sepakat, bahwa pendidikan yang berkualitaslah yang akan membebaskan kita semua dari segala ketertinggalan, termasuk juga dari stunting dan kurang gizi. Apakah pendidikan kita sudah membebaskan? Karena pada akhirnya, pendidikan yang membebaskan adalah satu-satunya cara agar kita bisa benar-benar menjadi manusia dan mengejar ketertinggalan.
Ngomong–ngomong tentang benar-benar menjadi manusia, untung saja Teori Evolusi Darwin sudah patah. Jika belum, jangan-jangan dunia luar menganggap evolusi kita sebagai manusia belum sempurna. Tabik. [T]
Penulis: Petrus Imam Prawoto Jati
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI