Netizen: “Tyo Nugros umur 54 tapi wajahnya tetap seperti umur 24.” Apa rahasianya?
Kita tahu, ada “orang-orang pilihan” yang penampakan wajahnya berbanding terbalik dengan usianya. Tetap kelihatan muda meski umurnya terus menua, seperti yang disebut seorang netizen yang kukutip di atas. Salah satu penyebabnya adalah faktor genetik. Tapi itu bukan penentu utama. Saya ingin membahas dari perspektif determinisme ekonomi.
Tio Nugros, sebagai entertainer, ia tentu lebih gampang ke akses ekonomi, ke kehidupan yang lebih mapan ketimbang rata-rata masyarakat pada umumnya. Dalam kata lain, hidupnya tak pernah berada dalam kondisi gawat bin darurat. Ia tak perlu kerja belasan jam di bawah terik matahari, tak dihantui tenggat utang, tak harus mengambil pekerjaan apa saja demi bertahan hidup. Waktu istirahatnya cukup, makannya sehat, perawatannya terjaga.
Sebaliknya, coba kau tengok mereka yang boros wajah, terlihat tua sebelum waktunya. Karena kondisi ekonomi yang memaksa, hidup selalu dalam kondisi gawat. Tubuh yang harus bekerja tanpa jeda. Mengambil pekerjaan apa saja agar hidup tersambung. Jadi buruh bangunan, ojol, kurir, sales, sopir truk, tukang batu, kuli angkut, sahabat mesin di pabrik, dll. Pagi ke malam habis di jalanan, di bawah debu, di bawah panas, di dalam udara beracun. Pulang ke rumah, tubuhnya sudah nyaris berkeping-keping, tapi pikirannya masih harus berjaga, menyusun strategi besok makan apa atau hutang ke mana. Tidur tak nyenyak, makan sekadarnya, stres menumpuk. Akhirnya hormon kortisolnya terlalu tinggi dan mengalami penuaan dini.
Kayak gini bukan semata-mata teori kosong, ada data dan riset ilmiahnya. American Psychological Association (APA) pernah merilis studi bahwa tekanan ekonomi yang berkepanjangan memicu peningkatan hormon stres, terutama kortisol. Kortisol yang berlebihan ini merusak jaringan tubuh, mempercepat penuaan, dan meningkatkan risiko berbagai penyakit, dari hipertensi, diabetes, hingga depresi. Harvard Health bahkan mencatat bahwa kemiskinan bukan sekadar perkara kurang uang, tapi juga soal bagaimana tubuh dan pikiran terus-menerus berada dalam mode siaga, seperti alarm yang tak pernah dimatikan.
Kondisi tersebut dikenal sebagai “toxic stress” atau stres beracun. Jika seseorang terus-menerus berada dalam tekanan finansial, tubuhnya akan terpapar stres dalam waktu yang lama, mengganggu fungsi organ, merusak sistem kekebalan, dan akhirnya mempersingkat usia. Orang kaya bisa saja stres karena nilai saham turun, tapi mereka masih punya akses ke terapi, meditasi, atau sekadar liburan ke Istanbul untuk menenangkan diri. Sementara orang miskin? Mereka bahkan harus memilih antara membeli obat sakit kepala atau beras untuk makan malam.
Jadi ekonomi bukan cuma soal isi dompet, tapi juga bagaimana ia membentuk tubuh kita. Seorang peneliti sosial, Richard Wilkinson, menjelaskan bahwa kesenjangan ekonomi berdampak luas pada kesehatan fisik dan mental. Negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tinggi cenderung memiliki angka harapan hidup lebih rendah, angka kejahatan lebih tinggi, dan warganya mengalami tingkat stres yang lebih besar. Dengan kata lain, wajahmu bukan hanya ditentukan oleh DNA, tapi juga oleh kondisi sosial-ekonomi tempatmu bernaung.
Sekarang mari kita bicara soal tidur. Mereka yang hidup berkecukupan umumnya memiliki jam tidur yang cukup dan berkualitas. Sementara kelas pekerja, lebih-lebih informal proletariat? Tidur mereka sering kali terpotong oleh beban kerja dan tekanan ekonomi. National Sleep Foundation melaporkan bahwa kurang tidur kronis bisa mempercepat penuaan sel dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Jadi kalau ada yang bilang, “Tidurlah cukup supaya awet muda,” itu bukan sekadar tips kecantikan, tapi juga nasihat ekonomi. Ekonomimu cukup, tidurmu juga akan cukup!
Lalu bagaimana dengan makanan? Akses terhadap makanan sehat juga merupakan faktor penting dalam penuaan. Mereka yang memiliki akses ekonomi lebih baik cenderung bisa membeli makanan bergizi. Sementara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, sering kali hanya bisa membeli makanan murah yang tinggi gula dan lemak jenuh. Makanan semacam itu mempercepat inflamasi dalam tubuh dan, dalam jangka panjang, mempercepat penuaan sel.
Jadi, usia bukan sekadar angka, tapi juga riwayat seberapa jauh kerasnya hidup menghantammu, lalu perjuanganmu akan terukir di wajahmu. Haha. Usia 30 kelihatan seperti usia 50, karena kondisi ekonomi menghajarmu berulang kali. Wajah kita adalah sejarah kecil dari kerja keras dan tekanan sosial yang kita alami.
Maka jangan heran jika ada yang tampak awet muda dan ada yang boros wajah. Itu bukan sekadar keberuntungan genetik, tapi juga hasil dari bagaimana sistem ekonomi membentuk nasib seseorang. Ada yang bisa memilih skincare mahal, ada yang bahkan tak bisa memilih ingin hidup tenang. Bagi sebagian orang, rahasia awet muda mungkin ada di tabungan yang cukup, pekerjaan yang layak, dan akses terhadap kesehatan. Bagi sebagian lainnya, rahasia penuaan dini ada di utang, kerja paksa, dan impian yang terpaksa disimpan di bawah bantal keras di rumah kontrakan.
Tentu, tidak semua orang bisa memilih takdirnya. Tapi, setidaknya kita bisa memahami bahwa penuaan bukan sekadar proses biologis, melainkan juga sosial-ekonomi. Jadi kalau lain kali kau melihat seseorang yang tampak jauh lebih tua dari umurnya, jangan buru-buru menyalahkan gaya hidupnya. Mungkin itu adalah wajah yang dicetak oleh kejamnya sistem. Jadi, mau tetap awet muda? Pastikan dulu sistem ekonominya adil! [T]
Penulis: Kim Al Ghozali
Editor: Adnyana Ole
BACA ARTIKEL LAIN DARI KIM AL GHOZALI