RUSAKNYA alam karena rusaknya manusia. Rusaknya alam itu dimulai dari rusaknya manusia.
“Nah, pemikiran untuk mengupas Lontar Bhuwana Purana ini sebagai pengendang manah (pencerahan) untuk membangunkan orang yang sedang tertidur untuk bersama-sama ikut menghadapi keberadaan dunia saat ini,” kata I Nyoman Wahyu Angga Budi.
Wahyu Angga Budi Santosa adalah praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Ia berbicara dalam Widyatula (Seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII tahun 2025 di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Pebruari.
Dalam seminar itu Wahyu membedah Lontar Bhuwana Purana secara tuntas ditemani Made Ari Dwijayanti, dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator.
Bedah lontar ini diikuti oleh para siswa dan guru SMA dan SMK, mahasiswa dan penyuluh Bahasa Bali.
Wahyu mengatakan, lontar Bhuwana Purana pada intinya memberi timbang pandang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, tentang bagaimana mengelola alam. Sebuah etika lingkungan dalam menjaga hubungannya dengan lingkungan.
“Sebagai tata bahasa Bali, kita di Bali sesungguhnya sudah memiliki cara menghadapi lingkunagan itu, tetapi tidak ada yang ngeh (sadar),” kata Wahyu.
Narasi yang ada dalam lontar itulah yang disampaikan kepada mereka yang berkempetingan yang dalam hal ini para peserta, selain bisa sampai kepada pemangku kepentingan.
“Ini bukan intervensi terhadap kebijakan, tetapi sebagai timbang pandang dalam setiap keputusan yang akan dibuat oleh pemangku kebijakan itu. Kita sebagai orang awam, harus mempertimbangkan bagaimana alam itu akan meresponnya,” ujar Wahyu.
Environmental ethics (etika lingkungan), kata Wahyu, adalah suatu gaya bahasa baru, tetapi terkadang gagap dan gugup ketika menghadapi masalah lingkungan itu. Seolah-olah orang Bali tidak mempunyai narasi atau tidak mempunyai cara untuk menghadapi masalah lingkungan dan masalah manusia, seperti itu.
“Kalau saja kita menelusuri lebih dalam teks seperti itu, kita bisa melihat dalam Lontar Bhuwana Purana itu sendiri,” kata dia.

Wahyu Angga Budi Santosa (kanan) bersama Ari Dwijayanti dalam Widyatula (Seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII tahun 2025 di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali | Foto: Bud
Di dalam lontar itu ada timbang pandang dan timbang pemikiran, bahwa lontar itu tidak hanya sekedar berisi ritual. Artinya, begitu menghadapi musibah ujung ujung menjadi ritual.
Padahal, dalam lontar khususnya Bhuwana Purana itu ada cara untuk menghadapi masalah lingkungan, masalah bumi, juga malasah manusia selain dari sekegar ritual.
“Saya pikir, Lontar Bhuwana Purana ini sebagai cara untuk menghadapi lingkungan Bali yang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Kalau menterjemahkan Lontar Bhuana Purana itu, adalah bhuana yang berarti alam dunia dan purana itu adalah kisah, sehingga Bhuwana Purana itu bisa dikatakan kisah tentang dunia.
“Lalu, kapan lontar ini dikarang dan siapa pengarangnya, itu tidak bisa dikatakan secara spesifik. Hanya saja bisa merefleksikan dari tipikal tulisannya dari kutipan-kutiapan yang disematkan dalam lontar itu sendiri, sehingga Lontar Bhuwana Purana itu ada kaitannya dengan Upanisad, Wasista Tatwa, Upanisad Wajra dan Sucitra Upanisad,” jelasnya.
Artinya, lanjut Wahyu, pemikiran ini sudah cukup tua, ditandakan dengan teks ini yang bukan hanya menggunakaan Bahasa Jawa Kuno, tetapi bercampur bahasa Sansekerta.
“Hanya saja, Lontar Bhuwana Purana ini memiliki ciri lahir di Nusantara yang salah satu cirinya paling mencolok adalah penggunaan bahasa Sansekerta Nusantara yang berbeda dengan Sansekerta standar,” kata Wahyu.
Saat ini, Lontar Bhuwana Purana ada di Gedung Kertya Singaraja dan ada di Pusat Dukomentasi Kebuadayan Bali, serta ada pula yang sudah dialih aksarakan.
Tanggapan Anak-anak Muda
Bedah lontar yang berlangsung hampir empat jam itu mendapat respon dari mahasiswa dari jurusan Bahasa Bali, para guru serta para penyuluh Bahasa Bali. Hal itu dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan mereka untuk mengetahui isi, fungsi, manfaat lontar secara lebih mendalam. Lalu, berbeda halnya dengan para siswa setingkat SMA dan SMK yang jumlahnya lebih banyak dari para penyuluh dan mahasiwa itu.
Putu Yunita Suryawati, siswi kelas 11 dari SMA Negeri 3 Kuta Selatan itu mengatakan, acara bedah lontar ini menjadi wawasan dan pengetahuan baru bagi dirinya dan siswa-siswi lainnya khususnya ditingkat SMA dan SMK. Tetapi, dari penyampaian narasumber itu sedikit sulit untuk dipahami karena full mengunakan bahasa Bali halus.
“Jujur, kami kurang mengerti bahasa Bali halus. Mungkin materi ini bisa disampaikan dengan bahasa yang dicampur dengan bahasa Indonesai atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesai agar kami mudah memahami tentang isi dari acara bedah lontar itu,” kata Putu Yunita.
Memang ada beberapa yang dipahami, tetapi lebih banyak yang tidak dipahami karena menggunakan Bahas Bali sor singgih itu. Mungkin saja informasi yang disampaikan itu sudah lengkap dan bermanfaat bagi siswa-siswi sebagai upaya melestarikan budaya Bali, tetapi dirinya yang teradang mengerti dan terkadang tidak.
“Tapi, kami sangat yakin, kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kami sebagai generasi penerus, tetapi sayangnya memahami sedikit-sedikit,” lanjutnya.
Menurut Yunita, acara bedah lontar itu dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang sangat penting bagi anak muda di jaman sekarang. Kegiatan ini akan menumbuhkan rasa keingintahuan terhadap isi lontar yang lain, sehingga warisan budaya itu tidak hilang alias punah.
“Kalau bisa, diisi selingan apaan gitu, sehingga kami tidak ngantuk. Apalagi, waktunya lebih dari 3 jam, jangan diisi ngomong terus deh,” pintanya.

Wahyu Angga Budi Santosa (kanan) bersama Ari Dwijayanti penerima piagam seagai pembicara dan moderator dalam Widyatula (Seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII tahun 2025 di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali | Foto: Bud
Hal sedana juga dikatakan I Wayan Septian Adisuwarna siswa dari SMA Negeri 5 Denpasar, yang mengatakan kegiatan ini sangat baik dan bagus untuk mendidik anak-anak muda tentang budaya dan warisan leluhur yang sangat unik. Terlebih, saat ini perkembangan globalisasi begitu cepat, maka anak-anak muda Bali penting memahami dan mengerti budaya sendiri.
“Dengan seminar ini, mungkin bisa menarik minat siswa-siswa dengan lontar. Sayangnya, tidak semua mengerti yang disampaikan narasumber, karena seluruhnya menggunakan bahasa Bali” akunya polos.
Septian mengaku hanya mengerti sedikit-sedikit saja, karena semuanya menggunakan Bahasa Bali sesuai sor singgih basa.
“Tetapi, ada teman kami yang bukan orang Bali, lalu bagaimana mereka bisa mengerti maksud dari lontar itu. Kalau boleh usul, materinya bisa disampaikan pula dengan bahasa Indonesia atau ada penerjemah, sehingga bisa lebih mengerti dan ini menjadi ajang pembelajaran Bahasa Bali juga,” kata Septian. [T]
Reporter/Penulis: Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: