ISTILAH cinta sering kali membingungkan. Ia bisa ditulis dengan tanda petik, diawali dengan huruf C kapital, atau bahkan dibubuhi tanda dicoret di atasnya, seolah-olah setiap bentuknya membawa makna berbeda. Sepanjang sejarah, cinta telah didefinisikan dan dikisahkan dari berbagai sudut pandang: ia kerap dipuja setinggi langit, tetapi seringnya juga dicela tanpa ampun. Seakan-akan cintalah yang menguatkan manusia sekaligus melemahkannya. Bagaimana mungkin?
Dari Erich Fromm yang menyebut cinta sebagai seni dalam gagasan filsafat mazhab Frankfurt, hingga cerpenis Maroeli Simbolon yang memaki cinta sebagai “tai kucing” lewat kisah fiksinya, semua menunjukkan cinta sebagai sesuatu yang oksimoron, ia saling bertolak belakang namun tetap hadir bersamaan.
Di usia paruh baya, setelah mengalami berbagai kesuksesan dan kegagalan dalam hubungan, saya curiga jangan-jangan saya hanya menikmati cinta saat harmonis, lalu berubah sinis saat patah hati. Yang jadi pertanyaan, apakah pantas jika saya memuja cinta karena sedang mendapatkan manfaatnya, tapi di lain hari bisa juga berbalik menghujat cinta, hanya karena situasi mana yang lebih menguntungkan saya? Apakah memang cinta boleh se-pragmatis itu, ataukah ia merupakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kefanaan pengalaman duniawi saya yang seringnya receh ini?
Saat mendalami ilmu Agile, saya pernah membaca referensi yang mengatakan bahwa cinta, seperti banyak hal dalam hidup, juga bisa dipandang sebagai proses yang terus berkembang. Dalam konteks ini, Agile tentu bukan lagi sekedar metode teknis yang digunakan para developer dalam pengembangan perangkat lunak, tetapi juga sebuah mindset yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk relasi. Dan di zaman yang serba cepat dan penuh ketidakpastian (VUCA: volatile, uncertain, complex, ambiguous), cinta mungkin tidak cukup hanya mengandalkan perasaan semata, tetapi ia juga membutuhkan pemahaman, adaptasi, dan usaha bersama.
Sebagai seseorang yang menerapkan prinsip Agile bahkan dalam kehidupan sehari-hari, saya percaya bahwa cinta adalah suatu praktik empiris yang harus didahului dengan pengalaman eksistensial, alih-alih janji-janji dan perencanaan di awal. Karenanya, ia tidak cukup hanya dirasakan, tetapi juga perlu diuji, dipahami, dan terus dikembangkan. Sebagaimana kepercayaan dalam suatu sistem hanya dapat dibangun melalui transparansi, refleksi (inspection), dan adaptasi, hemat saya cinta pun demikian. Ia harus dimulai dengan keterbukaan antar pasangan, diperiksa secara berkala untuk memahami dinamika hubungan dan menghindari kesalahan berulang, serta terus berkembang seiring perjalanan waktu.
Dengan keseimbangan ini, cinta dapat menjadi ruang yang saling menguatkan, membebaskan manusia dari ketergantungan yang membelenggu. Dalam rangka inilah empirisme cinta adalah jalan untuk memanusiakan manusia, memerdekakannya dari perbudakan (baca: bucin) dan mewujudkan apa yang dulu pernah digagas Plato pada zaman Yunani Kuno tentang cinta platonis.
Plato sendiri menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang berangkat dari ketertarikan fisik, tetapi seiring waktu berkembang menjadi penghargaan terhadap keindahan intelektual dan spiritual. Dengan memperlakukan cinta sebagai praktik menuju kebaikan yang lebih tinggi, cinta menurut versinya dapat membawa seseorang untuk berkembang secara intelektual dan spiritual: ini adalah bentuk cinta yang mendorong manusia untuk mencapai versi terbaik dari dan bagi dirinya sendiri. Dalam rangka ini, cinta tak hanya mensyaratkan kolaborator (baca: pasangan) yang agile, tapi juga saling kolaboratif.
Jika ini terdengar terlalu muluk-muluk, konsep cinta platonis dan kolaboratif sebenarnya telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari kita, salah satunya lewat musik. Lihatlah bagaimana lagu-lagu duet menyajikan kisah cinta dalam format yang unik. Lagu-lagu tersebut memiliki karakteristik khas: liriknya dilantunkan secara bersahut-sahutan seperti dialog, saling melengkapi, dan menghasilkan estetika yang tak lengkap jika hanya dinyanyikan satu pihak saja.
Karena itulah, dalam rangka merayakan kasih sayang yang jatuh pada hari ini, saya mengumpulkan selusin lebih nomor legendaris dari berbagai era yang menurut saya patut disambangi lagi hari ini.
Sila dengarkan playlist ini, semoga bisa menjadi hiburan baru bagi teman-teman, baik dinikmati sendiri maupun bersama pasangan.
Happy Valentine!
***
Hujan Gerimis – Benyamin S. & Ida Royani
Duet ikonik yang memadukan humor dan romansa khas Betawi. Seperti cinta, kadang manis, kadang bikin manyun.
Usah Kau Lara Sendiri – Katon Bagaskara & Ruth Sahanaya
Lagu pengingat bahwa cinta sejati hadir dalam suka maupun duka. Kadang yang paling kita butuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengar.
Kulakukan Semua Untukmu – Fatur & Nadila
Bukti bahwa cinta adalah kesediaan untuk berkorban, tanpa harus kehilangan diri sendiri. Nada 90-an yang hangat ini membawa nostalgia tersendiri.
Amin Paling Serius – Sal Priadi & Nadin Amizah
Doa yang dinyanyikan dalam nada, harapan yang dibisikkan lewat melodi. Sebuah pengingat bahwa cinta sejati adalah kesediaan untuk tumbuh bersama.
Mungkinkah Terjadi – Trie Utami & Utha Likumahua
Cinta yang diragukan, rindu yang tak terjawab. Ada kisah yang hanya bisa dihidupi dalam angan-angan.
Biar Menjadi Kenangan – Reza Artamevia & Masaki Ueda
Saat cinta tak bisa dipertahankan, kenangan adalah satu-satunya yang tersisa. Lagu ini membuktikan bahwa perpisahan pun bisa terdengar indah.
Jika – Melly Goeslaw & Ari Lasso
Sebuah percakapan tentang keinginan untuk tetap bersama. Lagu ini mengajarkan bahwa cinta butuh keyakinan lebih dari sekadar kata-kata.
My Heart – Acha Septriasa & Irwansyah
Bagi yang tumbuh di era 2000-an, lagu ini adalah definisi cinta remaja. Simpel, polos, tapi melekat di hati.
Cinta Mati – Ahmad Dhani & Agnez Monica
Dramatis, penuh emosi, dan seintens kisah cinta yang berapi-api. Tidak semua cinta sehat, tapi semuanya punya pelajaran.
Berartinya Dirimu – Anang Hermansyah & Krisdayanti
Romansa era 90-an yang sarat akan janji dan pengorbanan. Lagu ini membuktikan bahwa duet yang harmonis tak selalu bertahan selamanya.
Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa
Puitis dan surealis, lagu ini seperti kisah cinta yang melampaui batas duniawi. Beberapa pasangan memang ditakdirkan untuk terbang lebih tinggi.
Terbiasa – Glue & Maria Stereomantic
Lagu underrated yang menggambarkan transisi dari cinta menjadi kebiasaan. Kadang, kita baru sadar berharganya seseorang setelah kehilangan.
Sampai Jadi Debu – Rara Sekar & Ananda Badudu
Cinta yang sederhana, tapi penuh janji kekekalan. Lagu ini seperti selimut hangat di tengah malam yang dingin.
Penulis: Pry S.
Editor: Adnyana Ole