DARI story WA tukang tiket bus langganan, saya tahu PO Puspasari ulang tahun 7 Februari. Saya langsung teringat bus yang sudah menjadi bagian dari sebagian hidup saya itu.
Sembilan tahun yang lalu, untuk kali pertama saya duduk di kursinya yang bisa diatur dan membungkus diri dengan selimutnya yang hangat dengan debar yang sulit dijelaskan. Itu kali pertama pula saya melakukan perjalanan dari Singaraja, Bali, ke Surabaya, Jawa Timur. Saat itu musim liburan kuliah. Tapi saya lupa berapa uang tiketnya waktu itu, mungkin 150 ribu, atau sedikit lebih banyak dari itu. Yang jelas, seingat saya, kecuali pada musim pandemi kemarin, setelah itu saya tidak pernah menaiki bus mana pun selain PO (perusahaan otobus) Puspa Sari.
Saya tidak tahu pasti alasan di balik kenapa saya selalu menaikinya saat hendak pulang atau kembali ke Singaraja. Tapi saya mengira itu karena namanyalah yang pertama kali saya dengar daripada PO-PO yang lain dan dari situ tiba-tiba saya merasa nyaman saja dengan jebus 2 HD itu.
Di kalangan mahasiswa perantauan dari Jawa Timur, khususnya dari Lamongan, Tuban, dan Bojonegoro, nama Puspa Sari memang sering disebut. Itu sama dengan Aqua, Honda, Rinso, yang sering disebut orang-orang—dan selanjutnya nama-nama merek itu digunakan untuk menyebut produk serupa walau dengan merek yang berbeda. Suatu kali itu juga terjadi pada nama Puspa Sari. Seorang teman berkata menaiki Puspa Sari, meski pada kenyatannya dia duduk di bangku Menggala.
Sebagai bus malam pertama yang memiliki rute Singaraja-Surabaya (pun sebaliknya), wajar saja jika nama Puspa Sari cukup melegenda. PO ini lahir pada masa Orde Baru, tepatnya pada 7 Februari 1976, dari seorang pengusaha bernama I Gede Dharma Wijaya.
Puspa Sari lahir karena latar belakang Gede Dharma sendiri. Made Oka Nurdjaja, ayahnya, adalah perintis usaha yang ulet. Dia punya toko kelontong, “JAYA”, di Jl. Diponegoro, Singaraja, yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Selain itu, saat Dharma masih SD, Made Oka juga mulai merintis usaha transportasi bus berbahan bakar bensin yang beroperasi di Singaraja dan sekitarnya—body bus masih terbuat dari kayu, tulis sebuah artikel.
Gagasan membangun usaha bus malam Singaraja-Surabaya tampak semakin nyata saat Gede Dharma memutuskan merantau ke Surabaya saat umurnya belum genap tujuh belas tahun. Di sana ia melanjutkan SMA dan memupuk niatnya untuk masuk Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Tapi itu tidak terjadi. Pada 1970, seusai tamat SMA di Surabaya, Dharma memilih terbang ke Jerman untuk belajar mesin disel.
Setelah tamat dari Jerman, pada 1974 ia mulai merancang bisnis transportasi yang tidak hanya sekadar mondar-mandir di sekitaran Singaraja—ia mau lebih daripada itu. Maka jadilah “Puspa Sari” dengan 5 bus modern bermesin disel, angkutan pertama jurusan Singaraja-Surabaya. Sejak saat itu, Puspa Sari melaju, wira-wiri, dan beranak-pinak. Dari rute Singaraja-Surabaya, lahir bus Denpasar-Surabaya, lalu Denpasar-Yogyakarta, selanjutnya merintis jurusan Lombok-Mataram-Sape-Bima pada tahun 1982. Akhirnya bus-bus Dharma melaju sampai Malang, Blitar, dan sekitarnya. Jadilah Puspa Sari tak sendiri, ia memiliki saudara kandung Restu Mulya, Wisata Komodo, dan Cipta Dharma Perkasa.
Menjadi Saksi Bisu
Bagi saya, Puspa Sari ini tipe bus yang cepat datangnya, cepat pula sampainya. Seringkali ngebut tapi dengan keahlian nyetir yang tak mengkhawatirkan, jika dibandingkan dengan sopir-sopir bus ekonomi jurusan Semarang-Surabaya yang kerap menyulap aura kabin jadi ngeri-ngeri sedap. Tapi saya kira gaya mengemudinya sebelas-dua belas dengan sopir-sopir jurusan Semarang-Surabaya: suka nempel-nempel dulu, lalu goyang kanan, baru nyalip.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-bus-puspasari2-1024x769.jpg)
Bus Puspa Sari | Sumber foto: IG Subo
Tapi begitulah. Melewati jalur pantura dengan konvoi truknya adalah sebuah keniscayaan. Seringkali iring-iringan truk besar jadi penghambat laju bus. Mengikuti terus di belakangnya akan membuang banyak waktu. Kalau tidak ingin waktu perjalanan jadi 3 kali lebih lama, sebaiknya disalip. Namun, menyalip langsung beberapa truk cukup berbahaya, kecuali sopir bisa memastikan jalur dari arah berlawanan benar-benar kosong. Maka mepetlah mereka sebelum menyalip. Bagi penumpang, menyalip seperti ini cukup memacu adrenalin.
Dan selama merasa ngeri itu saya teringat kelakar Gus Dur tentang sopir Metromini yang ugal-ugalan tapi masuk surga dan dikasih kamar yang mewah, lengkap dengan perabotan emas. Sedangkan Gus Dur, yang notabene sebagai seorang presiden dan ulama, hanya dikasih kamar kecil dengan perabotan kayu. Sebabnya, kata Gus Dur, “Pada saat saya ceramah, membuat orang-orang semua ngantuk dan ketiduran sehingga melupakan Tuhan. Sedangkan saat sopir Metromini mengemudi dengan ngebut, dia membuat orang-orang berdoa”—mengingat Tuhan. Dan itu benar.
Saat menaiki Puspa Sari saya nyaris selalu duduk di depan, tepat di belakang pak supir yang sedang bekerja. Jadi sangat jelas saya melihat bagaimana sopir Puspa Sari mengemudi. Bahkan, tak sedikit saya mendengar sopir mengumpat karena kelakuan pengendara lain yang ngawur dan membahayakan. Saya juga sering meminta permen kepada pak sopir.
Puspa Sari berangkat dari Singaraja sekira pukul enam sore dan biasanya sampai Surabaya pukul empat pagi, menjelang subuh. Di daerah Pasir Putih, Situbondo, penumpang diservis makan prasmanan di sebuah restoran sederhana. Jujur saja saya jarang menikmati masakannya. Tapi jelas teh hangat dan semangka irisnya cukup melegakan. Itu juga kesempatan untuk buang air kecil maupun besar dan mengisi daya telepon genggam.
Sejauh ini, seingat saya, saat menaiki Puspa Sari, dua kali saya merasa kesal—dan dua-duanya saat perjalanan kembali ke Singaraja. Itu karena bus legendaris ini mogok. Saya lupa itu kapan, tapi saya ingat di mana letak mogoknya. Pertama di daerah Gilimanuk, saat memasuki kawasan hutan Bali Barat. Kedua saya kira masih di daerah Situbondo, belum masuk kawasan Baluran. Dan selain pernah merasakannya sendiri, saya juga sering mendengar cerita-cerita dari beberapa kawan perihal yang sama.
Tetapi, bagaimana pun, Puspa Sari sudah menjadi bagian dalam perjalanan hidup saya. Ia angkutan yang menempati sedikit ruang dalam ingatan saya. Warnanya yang biru muda dengan tato beberapa ekor kuda lari di badannya, akan melekat dalam ingatan saya. Beberapa kursinya yang menjadi sarang kutu busuk, dulu, adalah bagian yang tak bisa saya lupakan. Puspa Sari—juga Sugeng Rahayu, Indonesia, Widji Lestari, Sinar Mulia, Restu, Harapan Kita, dan bus-bus jurusan Singaraja-Surabaya yang pernah saya naiki—adalah saksi bisu etape hidup saya. [T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole