SETELAH masimakrama (makan siang bersama)di Jaba Pura Dang Kahyangan Gunung Payung,perjalanan tirtayatra Toska(SMA Negeri 2 Kuta Selatan) selanjutnya menuju Pura Goa Gong di Banjar Angga Suara Batu Ngongkong Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan. Jaba (daerah luar) Pura Gunung Payung tergolong luas dengan taman-taman yang terawat dan pedagang berjejer dari utara ke selatan menuju arah pantai.
Kawasan luar Pura Gunung Payung dibuka sebagai kawasan wisata sejak Bandesa Adat Kutuh dipimpin oleh I Made Wena (2014-2019) di bawah manajemen BUMDA (Bagha Utsaha Manunggal Desa Adat) sebelum Pemerintah Provinsi Bali membentuk BUPDA (Bagha Utsaha Padruwen Desa Adat).
Alhasil, kunjungan wisatawan meningkat walaupun sempat sepi dingkling saat Covid-19. Seiring normalisasi pasca-Covid-19, kunjungan mulai normal walaupun daya beli pengunjung menurun. Kabar baiknya dapat memberdayakan krama Desa Adat Kutuh untuk menjadi pekerja sesuai dengan skill yang dimiliki.
Begitulah Pura-Pura besar di Gumi Delod Ceking semua dipepet kaum kapital atas nama pariwisata. Begitu pula halnya Pura Goa Gong diapit kapital, bahkan sebuah villa di depan pemedal Pura menggunakan pintu dengan pengunci besar menyerupai Gong.
Ada teman berkelakar, “Jangan sampai pemedek terkecoh, villa itu dikira Pura Goa Gong!” Kelakar itu punya alasan, karena penandanya secara kasat mata meyakinkan.
Pariwisata menjadi ladang baru yang dipuja dan dipuji. Budaya agraris nyaris tidak dilirik. Keangkuhan tampak dari sasmita dan body language. Keluhan demi keluhan pun bermunculan baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hal demikian telah menodai kawasan karena aura negatif ditebar orang di sekitarnya. Tidak terkecuali kawasan pariwisata yang mepet Pura bisa terdampak.
WS Rendra sangat tepat menggambarkan dalam “Sajak Pulau Bali” : “Dan Bali, dengan segenap kesenian, kebudayaan dan alamnya, harus bisa diringkaskan, untuk dibungkus dalam kerkas kado, dan disuguhkan pada pelancong…”
Disadari atau tidak, beberapa kali gagal pembangunan villa/rumah tinggal di Puncak Goa Gong bisa menjadi penanda. Begitu pun, berkali-kalinya kecelakaan di puncak pengkolan Goa Gong dan memakan korban, juga dapat dibaca sebagai teks hidup yang mesti diantisipasi dengan meningkatkan kesadaran, kesabaran, dan kehati-hatian memasuki kawasan suci nan keramat.
Siapa tahu ada “pemargi di peteng” yang tak terbaca secara kasat mata. Lebih-lebih ada mitos naga berwarna kuning dan merah yang mohon penyupatan di Goa Peteng dalam lintasan perjalanan Dang Hyang Dwijendra dari Uluwatu menuju Goa Gong menemui kejernihan suara gong. Dan baru ditemukan ketika Beliau bermeditasi di sana dengan penuh seluruh jiwa raga.
Artinya, tidaklah ada anugerah berwasiat turun dari langit goa tanpa perjuangan tulus, lurus, dan fokus.
Seperti biasa, foto bersama di Pura Goa Gong | Foto: Nyoman Tingkat
Tidak terasa sekitar 15 menit dari Pura Gunung Payung, rombongan Toska telah sampai di Puncak Goa Gong, lalu parkir di tempat yang tampaknya agak nyaman. Tidak ada parkir khusus di sekitar area Pura Goa Gong.
Rombongan Toska berjalan kaki sekitar 300 meter menuju Pura melalui jalan tikungan tanjakan menurun dengan penuh hati-hati. Sangat membahayakan. Lebih-lebih di tempat ini sering terjadi kecekaan, terutama jika para sopir yang tidak mengindahkan aturan keselamatan jalan raya.
Di pinggir jalan di jaba Pura terdapat Pohon Bekul besar yang rimbun karena sedang musim hujan. Pohon Bekul sebagai tanaman khas Delod Ceking kini makin langka. Buahnya biasa dipakai rujak. Ada juga metafora “pilih-pilih bekul” sebagai bentuk kias agar pemimpin cepat mengambil keputusan jangan terlalu lama dan jlimet toh akhirnya sama saja yang didapat, hanya membuang-buang waktu.
Sampai di Jaba Pura Goa Gong cuaca cerah bersahabat sehingga tampak laut Jimbaran dan Kuta biru tenang dan damai. Hutan beton makin ramai. Hutan bakau (prapat) sekitar Tol Bali Mandara juga tampak hijau memukau dan kendaraan dari Denpasar ke Kuta Selatan dan sebaliknya tampak lancar.
Sesekali pesawat naik-turun dari Bandara Ngurah Rai dan kapal-kapal di Pelabuhan Benoa begitu nyata tampak. Terbayang penumpang dari segala penjuru dunia naik turun pesawat datang dan pergi dari ke Bali.
Di kejauhan gugusan Gunung Agung hingga Batukaru tampak nyata membentang dari barat ke timur sebagai lukisan nanindah di dinding. Sungguh inspiratif ciptaan-Nya menjernihkan pikiran membeningkan jiwa.
Setelah menyiapkan sarana persembahyangan, rombongan Toska menghaturkan canang asebit sari di jaba sisi, untuk mohon izin memasuki Utama Mandala di tengah goa yang luas dengan satu pintu masuk yang kecil.
Jro Mangku Made Sukanta sudah sedari pagi ngaturang ayah di Pura Goa Gong bertepatan dengan Hari Suci Siwa Ratri, Senin Wage Dukut, 27 Januari 2025.
Setelah menghaturkan daksina pejati, rombongan Toska duduk tenang sembari mendengarkan denting genta dan puja pemangku, saya berkesempatan menembangkan Kidung Mogi di Utama Mandala Goa Gong, persisnya di tengah goa yang kaya stalaktit tempat air menetes yang diwadahi gumbleng untuk tirta kepada pemedek yang tangkil. Begini kidungnya : “Mogi tan kacakra bawa, Titiang i kantunan sami, Nista kaya wak lan manah, Langggeng ngulati Hyang Widhi, Sang Suksma Maha Achintya, Nirbana Siwa kasengguh, Sing ngidan ring tampak aksi”.
Melagukan kidung ini di tengah Goa Gong seperti masuk ke dalam goa gelap diri yang haus pencerahan. Suasana demikian juga kuat terasa saat menembangkan kidung itu di Pura Batu Pageh Ungasan dan Pura Goa Selonding Pecatu. Mungkin karena karakteristiknya sama, sama-sama di goa di bangkiang ngampan. Cuma saja, Pura Batu Pageh dan Goa Selonding di pinggir Pantai Selatan yang disebut ngampan, sedangkan Pura Goa Gong jika dilihat dari gugus bukit bagian utara identik dengan ngampan di tebing selatan.
Seperti di Pura Gunung Payung, rombongan Toska melaksanakan Pancasembah dipimpin oleh Jro Mangku Made Sukanta dimulai dan diakhiri dengan sembah puyung. Lalu nunas tirta amerta diperciki ke ubun-ubun, diminum, dan diraup masing-masing tiga kali, lalu nunas bija.
Dari penelusuran berbagai sumber, Pura Goa Gong adalah pasraman (perguruan) yang letaknya bersebelahan dengan Patung GWK dan Kampus Universitas Udayana. Pura ini memiliki sejumlah keunikan yang perlu diketahui.
Pertama, tidak diperkenankan melaksanakan persembahyangan pada hari Rabu dengan alasan menghormati hari Dang Hyang Dwijendra melaksanakan yoga semadi. “Ini tradisi lisan yang diwarisi secara turun-temurun”, kata Jro Mangku Made Sukanta.
Selain itu, ibu hamil dan menyusui juga dilarang tangkil ke sini.
Kedua, dilarang nunas tirtha dengan wadah berbahan kertas plastik sudah diterapkan sebelum Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Ini adalah sebuah terobosan visioner yang patut diteladani.
Ketiga, Pura Goa Gong juga memiliki Taman Beji di Pura Goa Peteng tempat beliau dihadang Naga dalam perjalanan dari Uluwatu menuju Goa Gong untuk menemukan pusat sumber suara gong yang diburu.
Keempat, di Pura Goa Gong kita juga mendapatkan jejak toleransi khususnya Hindu-Budha ditandai dengan pemujaan Ratu Subandar dan Dewi Kwam Im, sebagai lambang penyatuan Siwa-Buda.
Ngaturang dana puinia di Pura Goa Gong | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Begitulah persembahyangan Toska di Pura Goa Gong berjalan lancar semesta mendukung. Sebelum berpamit dengan Jro Mangku Made Sukanta, Toska menghaturkan dana punia sebagai ucapan terima kasih sekaligus mohon tuntunan-Nya agar Toska senantiasa jernih dalam pikiran, bening dalam hati, suci dalam tindakan di tengah godaan yang tidak mudah.
Selanjutnya, rombongan Toska menuju Pura Batu Pageh yang akan dikabarkan pada edisi berikutnya. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT