// Tantular, dialah sesungguhnya Bapak Pluralisme dari zaman Majapahit yang melahirkan kata tua Nusantara, menggoreskan sesanti perajut keragaman: bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//
SUATU hari, di sebuah jejaring sosial saya menemukan sebuah pamflet “nirmaya”, ajakan untuk satu “perjuangan” yang monolitik, yang amat keras untuk menyatakan perang pada pluralisme. Seakan-akan pluralisme itu barang haram. Saya tidak terkejut di sebuah negara yang menganut paham demokrasi, ini pastilah suara yang sah-sah saja.
Namun bukankah senyatanya asas dasar persatuan Nusantara itu dibangun dalam semangat pluralisme. Dan peradaban kita juga dirajut dari geo-kultur begitu beragam. Mosaik dengan warna-warni memesona. Nusantara dibangun dari ratusan suku, ratusan bahasa daerah, puluhan keyakinan “animisme Nusantara’, yang sampai kini tetap hidup, dengan kekhasan adat yang unik. Satu indigenous yang kelak kemudian menjadi gen peradaban Nusantara.
Masih terang kita ingat, kejadian di Balinuraga, Lampung , perusakan rumah ibadah di Jogjakarta, perusakan Pura di kaki Gunung Rinjani, hingga rasisme yang membuat darah mendidih. Korban pun berjatuhan, dan negara kerap terlambat hadir. Rasa takut entah dilindungi oleh siapa? Rasa aman entah didapat dari mana?
Ini pertanyaan besar yang mesti segera dicarikan solusi. Karena di situ, rasa “kekitaan” telah apus, tanpa sadar kita menyandarkan diri pada doktrin-doktrin kaku, tidak lentur menghadapi perubahan zaman, menjadi pengalang bagi nyala jiwa. Kita tidak sadar bahwa akar dari peradaban yang terus betumbuh adalah pluralisme yang hidup. Di situ, dalam keanekaragaman kultur lahir semangat untuk merawat, merangkul semua, sebagai bagian hidup bersama. Semangat untuk menegakkan, memuliakan ayat-ayat kemanusian. Dan jadilah Nusantara sebagai langit bersama di mana semua keyakinan, seluruh identitas kultural dan agama menjadi anyaman mosaik daya budi kebangsaan nan megah.
Apa yang kita perlu pelajari kemudian dari Bali? Bali adalah persemaian pluralisme yang mesti kita rawat terus-menerus, karena denyut sejati Nusantara kecil itu cuma bisa dirasakan di pulau mungil ini. Di sini segala ras, suku, agama bisa hidup berdampingan. Kelenturan serta sifat adaptif kebudayaannya memungkinkan Bali melakukan semua itu. Kendati setelah dua kali dentuman bom, orang Bali terpaksa “diajari” curiga pada pendatang. Slogan perlawanan dengan motto “ajeg Bali” pun muncul, bak lagu “hit” melambung popular, di mana akhirnya redup dalam hiruk-pikuk pesta, upacara, lingkungan yang rusak, deraan korban HIV AIDS, korupsi, kemiskinan, serta kian langkanya lapangan kerja di Bali.
Tentang toleransi, kerukunan, penghormatan pada mereka yang berbeda bukanlah sesuatu yang dilakoni setengah hati orang Bali. Ungkapan “manusa pada”, yang dimaknai sebagai manusia sebumi memberi rujukan penting tentang arus utama cita-cita orang Bali. Cakrawala ini melampaui pandangan sempit tentang “penjara-penjara” ras, agama, dan suku dan ego kultural lainnya. Simak jua madah-madah pujian yang dilantunkan para pendeta saat memuja surya saban pagi, bukankah mereka mendoa untuk kerahayuan tiga dunia; bumi-langit-akasa.
Melihat Bali lebih intim, segara tergambar di benak, bahwa dalam spirit itu orang Bali memandang yang berbeda itu sebagai “nyama” bertemali doa-doa yang dilantunkan saban hari itu. Kata “nyama” bukanlah ungkapan bersayap, sekadar tata krama, alih-alih basa-basi semata. Kendati belakangan diakui, kosa kata ini dinodai pikiran teramat kumal, anti kerukunan, anti kebhinekaan. Dan jujur Bali juga tak kurang gelap dirajam tragedi kemanusian yang kerap amat akut ̶ mulai dari konflik raja-raja setelah monarki Gelgel melemah hingga tragedi tahun 1965.
Namun ada yang tak pernah padam di Bali, ia tak membiarkan dirinya menjadi paria dengan cara menolak perbedaan, tentu. Pulau ini sudah sejak zaman silam menjadi rumah para penjunjung nilai kemanusiaan. Di sebuah dusun kecil, Budakeling, desa yang terletak di ujung timur Kabupaten Karangasem, orang bisa mencatat banyak hal tentang semangat ke-Nusantara-an.
Di situ terperlihara semangat yang tidak dibalut kepentingan suku, ras, dan agama. Bahkan ada cerita paska Gunung Agung meletus, para brahmin di Budakeling ikut menyokong pembangunan rumah ibadah saudara Muslim yang rusak.
Namun dalam perjalanan sejarah, monoteisme bolehlah dituduh sebagai pandangan yang merengut banyak korban. Bagaimana tidak, agama formal misalnya; turut menscrening agama-agama asli Nusantara untuk “dimodernkan” dengan agama yang lebih realistik, monoteistik, di mana negara berperan besar meregulasi jadi serba seragam.
Meski diingat bahwa spirit Nusantara yang dibangun raja-raja Majapahit, yang menghasilkan sinkritisme Siwa-Buddha, begitu juga Nusantara yang dibangun raja-raja Islam Mataram tidaklah atas dasar agama. Sebagaimana Nusantara kecil yang masih hidup kini di Bali, ia tidak dibangun atas landasan agama. Nusantara itu sebagaimana disaksikan kini di Bali dibangun dari spirit geo-historis, geo-kultural dengan pengutamaan menghormati manusia sebumi, “manusa pada.” Ini adalah ajaran yang dialirkan para leluhur.
Inilah demokrasi ala Bali, demokrasi yang tak cuma menuntut hak, demokrasi di mana semua orang merasa dihargai sekaligus didudukan setara. Demokrasi di mana setiap person dihargai sama rata. Praktik real ini bisa kita simak dalam paruman atau rapat-rapat desa, di mana keputusan ditentukan dari yang terbaik, bukan karena kepentingan penguasa, atau perorangan. Demokrasi ala Bali sesungguhnya demokrasi yang bertujuan menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran yang bisa memayungi kepentingan sumua orang, karena di situ tidak ada kepentingan pribadi yang dipolitisi, lalu memaksakan kebenaran pribadi untuk orang banyak. Lalu muncul demokrasi kepentingan, yang pada akhirnya melahirkan dehumanisasi, penghilangan harkat manusia.
Betapa inti dari demokrasi, bila meminjam kata-kata Nehru, mantan Perdana Mentri India, dalam buku bertajuk, The Legacy Of Nehru (1984); “Demokrasi menyangkut kesamaan kesempatan bagi semua orang, seluas-luasnya, dalam hal penguasaan politik dan ekonomi. Ini juga menyangkut kebebasan perorangan untuk tumbuh dan menjadi yang terbaik menurut kecakapan dan kemampuannya.
Demokrasi melibatkan suatu toleransi terhadap orang lain, dan bahkan terhadap pendapat orang lain apabila mereka berbeda dengan Anda. Demokrasi mencakup suatu pencarian intensif untuk kebenaran tertinggi serta harkat menghargai, memuliakan insan hidup semesta.
Kembali pada pluralisme Nusantara yang sudah dijarit sedemikan indah menjadi mosaik dan pandangan hidup bangsa, kita kemudian teringat Mpu Tantular, dialah sesungguhnya Bapak Pluralisme dari jaman lampau, dari zaman Majapahit yang melahirkan kata tua Nusantara.
Tantularisme menjadi penting kita gemakan kini. Darinyalah pendiri republik ini menggali ungkapan untuk keragaman bangsa: bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Tapi perlu dicatat, lebih dari sepuluh tahun Mpu Tantular memikirkan ramuan kalimat ajaib ini. Dari karya pertamanya yang sempat kita baca, Kakawin Arjuna Wijaya, ia baru menemukan formulasi; kalih sameka [ dua itu sama]. Kutipan lengkapnya tertulis begini:
Ndan kantênanya haji tan hana bheda sang hyang/ hyang Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa/ kālih samêka sira sang pinakeșți dharma/ ring dharma sīma tuwi yan lêpas adwitiya/ [27.2]
Intinya tidak ada perbedaan di antara beliau/ Sang Hyang Buddha dengan Sang Hyang Siwarajadewa/ keduanya sama, itu yang menjadi tujuan dharma/ baik dalam dharma sima maupun dharma lepas, tidak ada bedanya.//
Tapi sepuluh tahun kemudian, saat pujangga ini menulis Kakawin Sutasoma, Mpu Tantular menyempurnakan kembali hakikat yang berbeda itu, karena pada intinya yang tunggal itu berasal dari yang banyak, dan yang banyak berasal dari yang tunggal, maka tunggallah itu semua.
Begini Mpu Tantular menuliskan:
hyang Buddha tan pahi lawan Śiwarājadewa// rwâneka dhatu winuwus wara Buddhawiśwa/ bhinêka rakwa ring apan kêna parwanôsen/ mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal/ bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//
Hyang Buddha itu tak berbeda dengan Śiwarājadewa// Sejatinya dua perwujudan beliau Buddha dan Siwa/ berbeda konon, tapi kapan dapat dibagi dua/ demikianlah hakikat Buddha dan Siwa, tunggal adanya/ berbeda itu tunggal, tidak ada kebenaran mendua//
Demokrasi Pancasila, demokrasi yang berdasarkan sila-sila Pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh, boleh jadi diinspirasi oleh semangat egaliterisme dan humanisme modern, namun semangat pluralisme itu sendiri telahir dari semangat sinkritisme Mpu Tantular, dari satu zaman gemilang bernama : Majapahit, hingga di satu titik sang pujangga mengingatkan dengan amat sangat; panca sila ya gégén den teki hawya lupa. Pancasila itu patut dipegang teguh, jangan sampai dilupakan.
Tantularisme adalah gen kecerdasan kognisi bangsa ini, cahaya ilmu pemersatu bangsa. Ia tidak mengikat, tapi memayungi seluruh entitas bangsa dalam keragaman yang hidup, dalam jaritan nilai, semangat saling memuliakan, di jalan tunggal zat maha agung, Ketuhanan Yang Maha Esa. [T]
Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole