MUSIM hujan tiba. Banjir mengejar ke mana-mana. Bahkan di Gumi Delod Ceking di kaki Pulau Bali, tidak pernah terbayangkan akan banjir. Paling tidak keyakinan itu bertahan sampai 1990-an. Pada 1996, saya menulis kolom berjudul, “Berlangganan Banjir” di Bali Post untuk merespon banjir di kota Metropolitan Jakarta dan banjir di Kawasan Pariwisata Kuta. Tidak sedikit pun terlintas di pikiran saya kala itu, bila di Gumi Delod Ceking di Kuta Selatan, yang biasa disebut bukit itu sampai kebanjiran. Yang terlintas di benak saya kala itu adalah banjir urban yang tanda-tandanya dimulai dari pemblokiran tanah dan masifnya pembangunan perumahan yang melambungkan harga tanah sampai ke leke-leke.
Dampak lain dari banjirnya urban ke Delod Ceking yang juga terlintas di pikiran saya kala itu adalah banjirnya sampah yang kian tidak terkendali, seiring dengan makin banyak penduduk pendatang yang membawa budayanya sendiri dan kadang-kadang lupa dengan petuah, “Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.
Banjirnya pendatang ke Kuta Selatan seiring dengan bergulirnya reformasi dengan produk Pemilu Langsung sejak 2004. Data pemilih 2024, melahirkan 10 legislator di Kecamatan Kuta Selatan, yang sebelumnya hanya 8 orang. Itu artinya banjirnya pendatang ke Kuta Selatan bisa menyumbang suara bagi petualang politik dan mengundang persoalan sampah yang hingga kini belum tertangani maksimal.
Begitulah musim hujan, selain menyebabkan banjir dan menyumbang banjir sampah kiriman dari berbagai daerah di hulu menuju objek wisata Pantai Kuta, Legian, Kedonganan, Jimbaran, termasuk Melasti dan Pandawa. Sebagai anak seorang nelayan amatir yang sejak kecil dibesarkan dari laut, saya ingat betul musim hujan selalu banjir sampah aneka rupa. Hal itu juga membuat saya jengkel bila memasang jaring, yang terjaring bukannya ikan, tetapi sampah yang melilit jaring bikin kusut, susah dibersihkan. Cuma saja, kala itu sebanyak-banyak sampah kiriman tidak sampai melibatkan pejabat turun tangan mencari solusi karena memang volume sampahnya masih normal dan umumnya potongan kayu atau bambu dan hanya beberapa botol plastik minuman.
Sampah sehabis hujan di kawasan pariwisata | Foto: Nyoman Tingkat
Banjir sampah ke objek-objek wisata pantai telah membuat sampah Pantai Kuta viral di media sosial yang tampaknya membuat Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq bersama Wamen Pariwisata Luh Puspa hadir pada aksi bersih pantai di Pantai Kelan, Kedonganan, dan Jimbaran pada Minggu, 19 Januari 2024.
Saat itu, masyarakat dari berbagai kalangan umumnya dari birokrat di bawah OPD terkait, termasuk warga sekolah, membanjiri pantai melakukan aksi bersih pantai bersama. Aksi ini tentu tidak berarti secara berkesinambungan, bila kesadaran masyarakat akan budaya hidup bersih belum terbangun terutama dalam membuang sampah. Di sinilah pentingnya pemerintah sebagai guru wisesa hadir dengan kesadaran dan kesabaran mendidik masyarakat yang kian kritis tetapi terkadang cuek dengan masalah di sekitarnya.
Penting direnungkan ajakan WS Rendra oleh guru wisesa sebagai pendidik masyarakat. “Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
Ajakan WS Rendra itu menjadi bermakna di tengah masyarakat yang makin materialistik, hedonis, instan dan makin tunaetika dengan pola didikan yang masih paternalistik. Di sinilah pemimpin teladan diperlukan sehingga mengalirkan pikiran jernih sampai ke hilir. Ibarat air hujan, bila di hulu airnya jernih maka sampai hilir pun juga jernih asalkan tidak ada residu dalam perjalanan air menuju laut. Hulu yang bersih bertemu dengan muara laut yang jernih. Dalam konteks ini, pemimpin politik yang dihasilkan melalui pemungutan suara, tidak cukup dengan jaya suara tanpa kekuatan jaya laksana. Satunya pikiran perkataan, dan perbuatan, sesuai dengan ajaran trikaya parisuda. Semesta mendukung.
Aksi bersih pantai di kawasan Gumi Delod Ceking | Foto: Nyoman Tingkat
Begitulah kawasan pantai pariwisata terkenal ketika musim hujan tiba selalu membawa kabar tidak baik akibat sampah kiriman yang menodai citra pariwisata, lebih-lebih dengan adanya video viral tentang kotornya pantai di Kuta Bali. Di satu sisi, hujan menjanjikan kesejukan dan kesuburan bagi pertanian, di sisi lain mengirimi kabar buruk yang tidak terkendali. Mengapa?
Produk sampah rumah tangga dan perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata saja sulit dikelola, apalagi sampah kiriman yang jumlahnya dari tahun ke tahun selalu meningkat. Jasa angkutan sampah di sebuah desa adat di bawah payung Baga Utsaha Padruen Desa Adat (BUPDA) pun merasa kewalahan menangani sampah, seperti dikeluhkan Ketua BUPDA Bualu I Wayan Arya yang menangani sampah di Kawasan Nusa Dua dan sekitarnya. “Tempat pembuangan sampah di TPA Suwung tidak memadai lagi, sedangkan produk sampah makin banyak. Lebih-lebih pada musim hujan, sampah kiriman makin tidak terkendali,” kata I Wayan Arya.
Darurat sampah sesungguhnya tidak hanya terjadi karena musim hujan dengan sampah kiriman, tetapi sudah menjadi keluhan sehari-hari di daerah pariwisata. Ditambah lagi kurangnya kesadaran masyarakat akan arti kebersihan dan kesehatan, maka makin tidak terkendalilah penumpukan sampah. Hal demikian jelas terlihat dan terpotret ketika berbagai hajatan dilaksanakan secara masal dan ramai, setelahnya sampah berserakan. Petugas kewalahan.
Hujan, pariwisata, dan sampah kiriman saling berkelindan saling menguatkan sekaligus saling melemahkan. Disebut saling menguatkan, karena musim hujan membawa sampah kiriman makin menggunung berkoloni menyatu membuat persatuan sampah ibarat wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai secara komunal.
Bersatunya sampah-sampah itu telah mengundang petinggi negeri untuk turun bersama masyarakat merapatkan barisan memperlakukan sampah dengan perikesampahan sebagaimana manusia dengan perikemanusiaannya. Walaupun sampah itu benda mati, ia pun perlu disampahkan dengan baik dan benar sehingga tidak menimbulkan disharmonis yang mengundang berbagai jenis penyakit. Waspadalah !
Disebut melemahkan karena kehadiran sampah-sampah itu menodai keindahan kawasan yang membuat wisatawan tidak nyaman. Jika wisatawan tidak datang, kekhawatiran pun menghantui. Pendapatan Asli Daerah (PAD) turun. Kesejahteraan makin utopis. Begitulah, pariwisata ibarat pedang bermata dua dan rentan dengan pencitraan.
Aksi bersih pantai di kawasan Gumi Delod Ceking | Foto: Nyoman Tingkat
Diperlukan kesadaran dan kesabaran bersama mengedukasi masyarakat dari atas ke bawah secara bersama-sama. Soal sampah tidak perlu teori dan diskusi sampai berbuih-buih seperti ombak yang buihnya tidak akan pernah hilang. Yang diperlukan adalah tindakan nyata, bukan serimonial yang formalitas. Budaya formalitas sebagai bagian dari budaya ABS (Asal Bapak Senang) bukan solusi di tengah masipnya aneka persoalan : sampah, banjir, kemacetan, kerusakan lingkungan, robohnya langit akhlak.
Sekali lagi diperlukan matahari kesadaran dan bumi kesabaran sebagaimana WS Rendra mengingatkan. Kuncinya bergantung pada pendidikan. Bukankah hujan adalah materi pelajaran untuk melihat fenomena alam yang bersiklus? Bukankah pariwisata adalah kajian dalam pendidikan untuk melihat perjalanan healing yang mestinya membuat makin eling? Bukankah sampah kiriman adalah materi pelajaran yang mengasyikkan bagi siswa yang kreatif inovatif mencari solusi? Bukankah pendidikan adalah solusi terhadap persoalan masyarakat dan lingkungannya?
Pertanyaan reflektif itu memerlukan jawaban para pembelajar yang berkecerdasan. Cerdas memahami hujan, pariwisata, dan sampah kiriman. Tanpa demikian, yang tersisa hanya sampah masyarakat. Jangan sampai! [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain tentangJATILUWIH
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT