SEORANG teman dari Jawayang sudah berkali-kali ke Bali, berujar, “Setiap sudut Bali istimewa. Ada saja sudut lain istimewa setiap saya datang ke Bali”. Ujaran itu tidak saja datang dari mereka yang berasal dari luar Bali, tetapi juga datang dari orang Bali sendiri yang belakangan tampak makin banyak bertualang dan mengeksplorasi alam Bali. Hal itu bisa dimaklumi karena Bali punya kearifan lokal berbasis desa, kala, patra yang melahirkan tradisi dan budaya yang berbeda. Oleh karena orang Bali tidak punya tradisi berwisata, mereka menjadikan tradisi bertirtayatra sebagai ajang mengeksplorasi alam dan budaya Bali. Inilah kelebihan orang Bali berwisata, bersenang-senang sekaligus memburu ketenangan, menyeimbangkan sekala-niskala.
Begitu pula saya rasakan ketika bertirtayatra bersama keluarga besar SMAN 2 Kuta Selatan ke Pura Batukaru di Kecamatan Penebel Tabanan, Jumat 17 Januari 2025. Walaupun beberapa kali ke Pura ini, ada hal-hal keistimewaan yang sebelumnya belum sempat saya rasakan. Barangkali karena cuaca cerah, saya dapat menikmati perjalanan dengan pengamatan lebih intens termasuk melihat wilatah tempat kami tinggal di Gumi Delod Ceking (wilayah perbukitan di Kuta Selatan, Badung) dari kawasan Gunung Batukaru. Hal itu mengingatkan saya pada perjalanan dan perjuangan ayah dan ibu sebagai pengalu, maurup-urup ke gunung membawa garam dan gerang. Sampai akhirnya kearifan Melayu membetot pikiran ; Asam di gunung, garam di laut bertemu dalam belanga.
Memasuki Desa Wanasari menuju Pura, suasana alam pedesaan mulai terasa lebih-lebih mendekat ke Pura, Gunung Batukaru tampak menyapa dengan ramah penuh berkah cuaca cerah. Sungguh indah hijau memukau. Udara bersih dan kicau burung bersahut-sahutan menyapa. Saat menuju Beji disajikan kolam indah nan tenang dengan ikan aneka warna besar kecil tampak riang gembira, seolah berujar, “Selamat Datang Pemedek di Tamanku”.
Di kawasan Pura Batukaru | Foto: Nyoman Tingkat
Pancuran tempat melukat sejuk menyegarkan sebelum rombongan bersembahyang ke Utama Mandala yang dipimpin Jro Mangku Taksu. Beliau sudah ngayah sebagai pemangku selama 22 tahun. Sebelumnya, ia adalah undagi yang karyanya sampai juga ke Delod Ceking.
“Tiang pernah mengerjakan jineng, di Bukit Pecatu,” katanya.
Begitulah, pemangku yang mengampu para bakta dari berbagai daerah di Bali dan luar Bali, memiliki ilmu undagi yang diperolehnya secara alami otodidak dan bertaksu. Tanpa melewati fase pendidikan formal berbasis SKS. Ia lakoni dengan tulus, seken pasaja sajan.
Sebagaimana diketahui umat Hindu pada umumnya, Pura Batukaru adalah salah satu Pura Sad Kahyangan. Lima pura yang lain yang masuk Sad Kahyangan adalah Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat Pejeng. Sebagaimana Pura Sad Kahyangan lainnya, Pura Batukaru yang terletak di Desa Wangaya Gede juga punya keistimewaan.
Pertama, di posisi barat laut dalam arah mata angin versi Pulau Bali dalam konteks Padma Bhuana secara turun-temurun diyakini tempat pemujaan dan pemuliaan pada tetumbuhan dengan Dewa Sangkara. Pujawali di Pura ini bertepatan dengan Kamis Umanis Dungulan (Umanis Galungan). Upacara pujawai di Pura ini dipuput “ atau ‘dipimpin’ oleh Pemangku Jro Kubayan, bukan Ida Pedanda seperti umumnya desa-desa lain di Bali.
Kedua, sebagai tempat pemujaan, Pura Batukaru sama dengan nama gunung tertinggi di Kabupaten Tabanan, Gunung Batukaru dengan segara-nya Tanah Lot yang terkenal dan monumental menjadi pusat spiritual Hindu sekaligus menjadi objek kunjungan utama wisatawan luar Bali.
Ketiga, tradisi ngaben di Desa Wangaya Gede seputar Batukaru tanpa pembakaran mayat, sebagaimana desa adat di Bali pada umumnya. Tidak hanya di seputar Batukaru orang ngaben tanpa pembakaran mayat, tetapi juga orang-orang di Gumi Delod Ceking. Secara turun-temurun diyakini oleh orang-orang Delod Ceking, asap pembakaran mayat itu dapat membuat leteh lebih-lebih dekat dengan Pura Sad Kahyangan Uluwatu, di posisi barat daya dalam perspektif Padma Bhuana. Barangkali demikian pula alasan umat Hindu seputar Batukaru tidak membakar mayat saat ngaben.
Para pemedek yang bersembahyang ke Pura Batukaru dapat mengeksplorasi wilayah yang juga memukau sebagai objek wisata yaitu Subak Jatiluwih yang sudah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh Unesco sejak 2012. Jarak tempuh sekitar 15 menit dari Pura Batukaru melewati jalan desa dengan suasana pegunungan sejuk dan segar. Tidak bising tidak macet tidak ramai. Cocok untuk healing memperkuat rasa syukur dan eling. Bahwa setiap sudut Bali inspiratif dan istimewa benar adanya.
Sebagai objek wisata alam, Desa Jatiluwih menawarkan alam persawahan yang luas berterasiring dengan panorama alam pegunungan Batukaru. Desa wisata ini meraih predikat salah satu desa wisata terbaik Best Tourism Vallage 2024 oleh United National Tourism Lembaga di bawah PBB. Hamparan sawahnya yang hijau memukau menyajikan pemandangan yang indah memanjakan membuat tetamu betah.
Saat kami bersama rombongan ke Jatiluwih menikmati kopi sore, misalnya tampak sejumlah bule tracking di pematang sawah. Mereka tampak menikmati dengan senang hati. Beberapa penginapan di seputar sawah tampak menyatu secara alami dan sejumlah pendukung fasilitas pariwisata (kuliner tradisional dan modern) juga sudah tersedia. Kuliner dengan cita rasa tradisional Bali dengan karcis masuk perorang sebesar Rp 15.000,00. Harga yang terjangkau untuk berbagai kalangan.
Berpose bersama di depan plang nama obyek wisata Jatiluwih | Foto: Nyoman Tingkat
Jalan menuju kawasan wisata Jatiluwih dari Pura Batukaru cukup bagus walaupun bus besar tidak bisa masuk tetapi lancar dan nyaman. Apalagi cuaca cerah tidak gerah. Segar dan inspiratif untuk refreshing memanjakan pikiran melepaskan sesaat kesibukan rutin di tempat kerja. Sesuai dengan namanya, Jatiluwih memang luih penuh wibawa. Wibawanya perlu dijaga dengan tetap melestarikan alam persawahan sebagai ikon dan menjadi ciri pemerlain yang selalu dirindu para pelancong.
Destinasi wisata spiritual Pura Batukaru dan Jatiluwih dapat disebut sebagai objek wisata religius agraris dengan semangat bertani sebagai akar spiritual masyarakat Hindu Bali. Adanya ritual mapag toya, mabiukukung, nangluk merana dan ritual lain yang menyertainya dapat menjadi daya tarik wisata yang unik untuk melihat masyarakat Bali memertahankan adat dan tradisinya. Subak dengan tradisi menanam padi sawah juga menguatkan mitos tentang Dewi Sri yang berelasi dengan tradisi ngusaba nini. Pemandu wisata dapat memperkenalkan narasi ini untuk membangun pengetahuan buat para pelancong. Healing-nya dapat, pengetahuan lokalnya masuk. Semangat berpikir global bertindak lokal sebagai bagian konvergensi budaya teraplikasi.
Begitulah Pura Batukaru yang berdekatan dengan Subak Jatiluwih saling dukung dan saling menguatkan. Dengan semangat cenik lantang dalam pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai objek wisata kelas dunia dipadukan dengan semangat religius menguatkan spirit para pemedek tangkil ke Pura Batukaru akam memberikan vibrasi yang positif. Pada akhirnya akan meninggalkan kenangan positif dan rindu untuk kembali. Sayangnya, di sekitar kawasan Pura Batukaru belum tersedia kantin untuk melayani kebutuhan pemedek/pengunjung untuk sekadar minum kopi. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain tentang JATILUWIH
- BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT