JIKA keinginan yang kuat disebut mimpi, maka mimpi-mimpi saya di masa muda adalah seperti hantu gentayangan—berjalan panjang penuh belokan, sering kali tidak tahu harus ke mana. Ada mimpi yang saya impikan sejak belia tetapi tak pernah diraih. Ada mimpi yang saya tahu takkan pernah terwujud.
Ada pula mimpi yang saya kejar dengan segenap daya, hanya untuk dikubur oleh pergolakan hidup. Salah satu mimpi itu adalah puisi. Namun siapa sangka, dua dekade kemudian, justru puisi yang menjadi penopang saya untuk kembali percaya pada hidup.
Dulu, dunia bagi saya adalah puisi yang terhampar luas. Setiap daun yang jatuh, langit biru, hingga lapisan bumi di bawah kaki saya adalah puisi. Saya percaya bahwa apa pun yang saya lihat, rasakan, dan alami adalah puisi. Namun, seiring waktu, hidup merenggut kesempatan itu. Bukan karena apa-apa, tetapi karena saya terlalu malas untuk terus menulis.
Saya menyalahkan waktu yang berlalu begitu cepat sedangkan masih banyak pekerjaan yang harus saya tangani untuk sekadar memastikan bahwa saya cukup bisa melanjutkan hidup sebagai alasan untuk berhenti menulis.
Kadek Sonia Piscayanti (kiri) dan Pranita Dewi (kanan) di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita
Saat berusia 16 tahun, saya mencintai puisi dengan sepenuh hati. Puisi menjadi dunia saya di mana saya percaya bahwa puisi akan membawa saya mengembara ke tempat-tempat yang hanya ada dalam mimpi. Namun, kehidupan mengajarkan saya tentang rasa takut, hingga keberanian saya menulis pun menghilang.
Tetapi ketika mencoba melupakannya, puisi terus menghantui saya, seperti kutukan yang tak bisa saya hindari. Saya cukup sadar bahwa setiap pengalaman hidup sebenarnya adalah puisi, tetapi saya tak berani lagi menuliskannya. Saya tidak berani lagi.
Dua tahun terakhir, setelah melalui perceraian yang berat, saya memutuskan kembali kepada puisi—satu-satunya hal yang saya percayai. Saya mulai menulis lagi, mengikuti kelas menulis, dan menemukan kembali kebahagiaan yang lama hilang. Ada rasa lega ketika tulisan saya dimuat kembali, seperti dulu. Kini, saya yakin tidak akan berhenti lagi.
Puisi membawa saya pada peluang-peluang baru, termasuk undangan ke konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand. Undangan itu datang berkat rekomendasi sahabat lama saya, Kadek Sonia Piscayanti. Perjalanan ini bukan hanya tentang puisi, tetapi juga tentang persahabatan kami yang telah terjalin lebih dari dua dekade.
Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita
“10 kilo cukup, Nya! Serius! Kita pasti bisa bawa semuanya,” ujar saya dengan percaya diri sambil menjejalkan barang-barang tambahan ke koper yang sudah penuh sesak.
Sonia, yang selalu lebih hati-hati, menghela napas panjang. “Aku yakin kita harus perhitungkan ulang. Kalau kelebihan, bakal repot nanti.”
Saya hanya tertawa. “Santai saja! Kalau ada masalah, improvisasi aja,” jawab saya sambil memasukkan sepasang baju tambahan.
Masalah dimulai saat kami akan pulang ke Bali. Di loket check-in, wajah saya langsung pucat ketika petugas mengumumkan: batas bagasi hanya 7 kilogram. Berat koper saya? Hampir 11 kilo.
Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita
“Aduh, Nya! Kok bisa begini?” Saya mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupan.
Sonia menghela napas lebih panjang dari biasanya. “Karena kamu terus menambahkan barang dan mengabaikan batasan, Pranita. Aku udah bilang, jangan anggap enteng aturan.”
Saya mencoba mencari solusi khas saya. “Gampang, gampang! Aku pakai tiga lapis baju. Buku-buku ini aku sembunyikan di jaket.”
Sonia hanya menggeleng pelan. “Trik seperti itu nggak akan berhasil. Kita harus realistis. Beli bagasi tambahan saja.”
“Tapi mahal!” protes saya.
Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita
“Justru karena mahal, makanya dari awal aku bilang jangan sampai kelebihan,” jawab Sonia dengan nada tetap tenang.
Akhirnya, saya terpaksa membeli bagasi tambahan di loket boarding. Saat petugas menyebutkan harganya, saya nyaris terjatuh. “Astaga! Harga segini bisa buat makan dua minggu di Bali!”
Sonia hanya tersenyum kecil, lalu menepuk bahu saya. “Pelajaran untukmu. Lain kali, dengarkan aku.”
Kami akhirnya duduk di pesawat, kelelahan tetapi lega. Sonia membuka buku, sementara saya segera tertidur.
“Setidaknya, kita pulang bawa banyak cerita,” gumam saya sebelum terlelap.
“Dan pelajaran,” tambah Sonia.
Sonia (kiri) saat menjadi pembicara di Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita
Perjalanan ini mengukuhkan satu hal: persahabatan adalah perpaduan antara kebijaksanaan dan kegilaan, dengan bumbu kejutan tak terduga lainnya. Bagaimanapun, hidup adalah tentang saling melengkapi, seperti dunia dan puisi yang ingin terus kami tulis bersama.
Eits, sebentar! Saya ingin mencoba menutup tulisan ini dengan kesimpulan tentang persahabatan kami: kombinasi antara yang bijaksana (Sonia) dan yang gila (saya). Tapi, pikiran saya sepertinya punya agenda lain—masih banyak yang mau saya ceritakan! Jadi, mari kita tambahkan beberapa momen lagi di tulisan ini.
Sonia itu definisi hidup dari perempuan yang super rapi, cerdas, dan perfeksionis level platinum. Saking terstrukturnya, pernah suatu kali kami duduk di meja makan, di depan kami terhampar hidangan khas Thailand yang menggoda. Makanan ini kami beli dari warung pinggir jalan yang mirip dengan warung lalapan di Indonesia.
Sonia, seperti biasa, sudah merencanakan segalanya dengan matang. Dia memilih menu dengan perhitungan seperti seorang ahli strategi perang. Ketika makanan tersaji, dia memandang meja dengan ekspresi serius. Lalu dia bertanya, “Aku masih berpikir, bagaimana cara kita memakan ini?”
Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita
Saya? Tentu tidak pakai mikir panjang. Saya langsung mengambil alat makan, mencapit lauk, dan memasukkannya ke mulut. “Begini caranya, Sonia,” jawab saya sambil mengunyah dengan bahagia.
Sonia tertawa terbahak-bahak sampai hampir terjungkal dari kursinya, dan saya ikut tertawa sambil melahap semua udang yang ada di piring. Udang itu, by the way, adalah favorit saya. Saat tinggal satu ekor udang tersisa, Sonia tiba-tiba berkata, “Boleh aku coba satu? Soalnya yang lain tinggal cangkang semua.”
Dengan polos saya menjawab, “Loh, aku pikir kamu nggak suka udang. Makanya aku habiskan.”
“Tidak suka, bukan berarti tidak mau coba!” balas Sonia sambil menatap udang terakhir seperti itu adalah tiket emas ke surga. Kami tertawa sampai perut sakit, di tengah jalan yang penuh lalu lalang orang asing yang bingung melihat dua perempuan konyol ini.
Malam lainnya, setelah hari panjang yang dipenuhi panel-panel diskusi di konferensi, kami pulang ke penginapan dengan kaki yang nyaris menyeret. Sesampainya di meja resepsionis, saya meminta kunci kamar. Resepsionis yang tampak ramah, tetapi mungkin agak bingung melihat wajah saya yang belepotan capek, bertanya:
“Who are you? What brings you here?”
Pranita dan Sonia bersama para penulis dan penerjemah peserta Asia Pasific Writers and Translators | Foto: Dok. Pranita
Tanpa berpikir panjang—karena ya, otak saya sudah hampir shutdown—saya menjawab, “I am No Body.”
Sonia yang berdiri di samping langsung menghela napas (khas Sonia) sebelum buru-buru menjelaskan kepada resepsionis bahwa kami sedang mengikuti konferensi. Ternyata, resepsionis bertanya karena dia menemukan bahwa pemesan kamar kami adalah seorang professor (yup, dengan gelar “Doctor”).
Dia hanya ingin memastikan bahwa orang di depannya adalah sang professor, tentu dugaannya salah. Saya bukanlah seorang professor, tetapi memang yang memesankan kamar kami adalah seorang professor.
Tentu, saya tahu arah pertanyaan itu. Tapi karena malas panjang-panjang, saya pikir jawaban “I am No Body” sudah cukup efisien.
Reaksi Sonia? Dia terbahak-bahak. Sepanjang perjalanan naik tangga ke kamar, dia terus tertawa. Bahkan dia harus bersandar ke dinding untuk menenangkan diri, saking ngakaknya. Sementara saya? Saya cuma bergumam sambil mengangkat bahu, “Kan memang benar, aku ini nobody.”
Pranita Dewi saat membaca puisi di konferensi Asia Pacific Writers and Translators (APWT) di Thailand | Foto: Dok. Pranita
Sonia menyahut di sela tawanya, “Kalau kamu nobody, berarti aku apa? Somebody?!”
Kami tertawa lagi. Tawa itu akhirnya membawa kami ke tempat tidur yang nyaman, diiringi pikiran bahwa hidup tidak pernah kekurangan momen absurd.
Lalu, bagaimana dengan pengalaman di APWT? Di sana, saya bertemu banyak kenalan baru, menyerap ide-ide segar yang kerapkali diselimuti atmosfer yang positif. Panel-panel diskusi yang intim memungkinkan interaksi langsung dengan para pembicara. Tidak ada penghakiman, hanya apresiasi. Saya dan Sonia akan menuliskan cerita khusus tentang ini nanti.
Yang jelas, saya akhirnya menyadari bahwa puisi adalah jati diri saya yang tak pernah benar-benar hilang. Pengalaman di APWT menjadi titik balik yang mempertegas keyakinan saya: puisi adalah rumah, dan akhirnya, saya pulang.[T]