PERIHAL membaca komik Indonesia mutakhir, setidaknya ada empat nama yang saya sukai—tanpa berniat membandingkan komikus satu dengan yang lainnya. Pertama ada nama Aji Prasetyo dengan komik-komik sejarah dan isu-isu sosialnya; kedua, Vbi Djenggotten dengan komik-komik Islaminya, khususnya Islam Sehari-hari, seri 33 Pesan Nabi, 5 Pesan Damai, dan Aku Ber-Facebook Maka Aku Ada; ketiga, Benny Rachmadi dengan seri Tiga Manula-nya; dan keempat, Kurnia Harta Winata dengan Yesus dan Aku-nya.
Dan belakangan, setelah lama tinggal di Bali, saya mulai menyukai komik Beluluk—atau komik Celuluk Bali. Putu Dian Ujiana—saya memanggilnya Bli Dian—adalah otak di balik komik strip yang lucu dan ganjil itu.
Bli Dian memproduksi Beluluk di akun Instagram @beluluk. Di sana kita dapat menikmati banyak hal tentang Bali sehari-hari. Beluluk, tokoh sentral dalam komik Bli Dian, selalu memantik tawa atau setidaknya senyum simpul dan merenung sejenak setelah menggeser-geser cerita yang biasanya terbagi menjadi beberapa slide di Instagram itu. Sebab, tidak saja humoris, tapi Beluluk juga kritis terhadap banyak persoalan manusia Bali. Itu semacam “kenakalan” khas Bli Dian.
Namun, terlepas dari kekonyolan dan kekritisan Beluluk, satu hal yang menurut saya tidak boleh diacuhkan dari komik ini adalah bahasa yang digunakannya. Ya, alih-alih menggunakan bahasa Indonesia macam keempat komikus yang saya sebut di awal, Bli Dian justru memilih menggunakan bahasa Bali sebagai denyut nadinya. Tapi, saya pikir, ini yang justru membuat Beluluk menjadi khas—walaupun mungkin bukan satu-satunya kreator yang melakukan hal tersebut.
Komik Beluluk | Foto: Putu Dian
Tetapi, sebagai, katakanlah, media baru (yang populer), Beluluk dengan bahasa lokalnya ternyata juga cukup membantu saya—mungkin juga banyak orang di luar Bali yang mengikutinya—dalam belajar bahasa Bali—lebih tepatnya bahasa blelengan (Buleleng), sebagaimana Bli Dian menyebutnya—meski tak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai satu-satunya sumber belajar.
Tapi belajar bahasa Bali lewat komik Beluluk rasanya lebih mudah daripada belajar mendengar secara langsung, walau setiap orang tentu memiliki kecenderungan yang berbeda mengenai hal ini. Kenapa lebih mudah? Karena tak hanya kata-kata, ada visual (ilustrasi, gambar) yang mendukungnya di situ.
Satu contoh saat Beluluk jualan boneka di pinggir jalan ada kata “garus” yang disebut dalam balon kata. Seandainya tak ada visual Beluluk mengibas-ngibaskan uang di atas boneka yang dijajakannya setelah seorang celuluk tua membeli dagangannya, tentu saja saya tidak akan tahu bahwa garus adalah kata yang merujuk pada frasa “penglaris”.
Adegan tersebut tentu sangat familiar di negeri ini, di mana setelah ada pembeli pertama, penjual akan mengibas-ngibaskan uangnya di atas barang dagangan. “Garus… garus…” atau “Laris… laris…” biasanya juga diikuti ungkapan “laris manis tanjung kimpul—dagangan laris, uang terkumpul”.
Itu hanya satu contoh. Masih banyak hal serupa yang membantu pembaca Beluluk belajar bahasa Bali. Lihat saja sendiri. Misalnya, dalam satu adegan Beluluk kecil dengan teman sekolahnya yang berkata, “Adi mebo puun baju cai ne?”.
Komik Beluluk | Foto: Putu Dian
Sebagai orang Jawa, agak sulit rasanya menerjemahkan ungkapan tersebut jika saja tidak ada ilustrasi yang mendukungnya. Maka gambar yang memperlihatkan ekspresi heran dan aktivitas menutup hidung dalam adegan tersebut menjadi petunjuk terang bahwa “mebo” pastilah merujuk pada kata “bau”. Sedangkan “puun” dijelaskan oleh jawaban Beluluk kecil, “Ee… anu… Mare suud nunu sate.”
Awalnya saya tidak tahu terjemahan “puun” sebelum membaca jawaban dalam balon kata selanjutnya. Setelah mengetahui ada kata “nunu sate”—yang saya ketahui sebagai “memasak” atau dalam konteks ini “membakar”—dalam jawaban Beluluk, saat itulah saya mulai menduga bahwa “puun” merupakan istilah bau yang berkaitan dengan api, bara, atau asap. Puun, bisa jadi sangit dalam bahasa Jawa—atau bau terbakar, hangus, gosong.
Dan ya, di halaman selanjutnya dalam komik strip tersebut, Bli Dian mengunggah video seorang ibu yang ngomel-ngomel sambil mengasapi seragam SD anaknya yang masih basah sementara besok harus segera dipakai sekolah. Untuk kata “puun”, tampaknya tebakan saya benar, atau paling tidak mendekati.
Satu lagi. Ketika Beluluk digambarkan sedang memasak mie, sambil menyangga piring penuh nasi, ibunya bertanya, “Adi sing naar be celeng, Cai?” Dengan santai Beluluk menjawab, “Med, Mek… Sube uling aminggu naar be celeng terus…”. Kata “med” dalam dialog tersebut adalah hal baru bagi saya. Saya tak tahu apa itu med. Tapi karena disambung dengan ucapan “sube uling aminggu naar be celeng terus”, saya menduga bahwa “med” adalah “bosan”—atau semacamnya—dalam bahasa Indonesia.
Jadi, nyaris dalam setiap unggahan di Instagram Beluluk, saya mendapat, setidaknya, satu kosakata Bali. Dan itu lumayan menambah perbendaharaan kata Bali dalam memori saya.
Komik Beluluk | Foto: Putu Dian
Sampai di sini, terlepas dari bahasa yang digunakan, elemen-elemen dalam Beluluk telah menyediakan penceritaan tingkat menengah dan hiburan visual yang dapat memberikan kegembiraan dan informasi kepada siapa saja tanpa memandang usia di seluruh dunia.
Kehadiran komik seperti Beluluk—dan komik-komik lain di luaran sana—saya rasa, diakui atau tidak, bisa dikatakan telah menjadi salah satu media komunikasi yang ikut berperan, langsung maupun tidak, sebagai sarana dalam memberikan informasi-pengetahuan maupun pesan-pesan kritis yang barangkali dapat membuat kita meyadari bahwa masih terdapat beberapa PR di Bali yang perlu diselesaikan—soal lingkungan, misalnya.
Beluluk sebagai media hiburan juga berkembang menjadi media pesan lainnya, seperti iklan promosi, media pendidikan, dan media kritik, dan lain-lain, yang memberikan sebuah suasana baru dalam menyampaikan sebuah pesan.
Selain itu, belakangan Beluluk juga menyuarakan pesan-pesan tentang kebudayaan (warisan dunia seperti subak dan keris) dan bekerja sama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali-NTB. Hal tersebut mengingatkan kita pada komik-komiknya R.A Kosasih era 60-70-an yang mempopulerkan warisan dunia wayang lewat cerita komik.
Untuk itu saya berterima kasih kepada Bli Dian—kepada Beluluk, dkk.[T]