FESTIVAL Sastra Bali Modern (FSBM) 2024 telah dibuka. Festival yang digarap secara kecil saja dan sederhana ini dibuka dan digelar di STAHN Mpu Kuturan, Singaraja, Bali, Sabtu (7/9/2024) malam. Inisiator dan pelaksana festival, Suara Saking Bali (SSB), seperti sengaja membuat festival tersebut jauh dari kata glamor, yang serba gemerlapan, sebagaimana kondisi realitas sastra Bali modern hari ini.
Namun, meski tampak kecil dan sederhana, festival ini tetap menarik orang-orang untuk datang dan berpartisipasi. Mereka datang berbondong-bondong sejak sore hari. Di aula sekolah tinggi itulah mereka bergerombol sambil bercakap-cakap dan melihat-lihat arsip majalah Suara Saking Bali yang dipamerkan.
Di dinding bambu (bedeg) yang ditempel di tembok aula STAHN Mpu Kuturan, terpasang sampul majalah Suara Saking Bali edisi pertama sampai hari ini—edisi yang ke-94. Sedangkan di sebuah meja panjang yang terletak tepat di tengah-tengah di mana sampul-sampul itu dipajang, majalah cetak ditata rapi dan dapat dibaca oleh siapa pun.
Sampul-sampul majalah Suara Saking Bali yang dipamerkan dan seorang pengunjung yang sedang mengamatinya | Foto: tatkala.co/Son
Sampul-sampul dan cetakan majalah yang dipamerkan tersebut seolah menjadi riwayat hidup [baca: perjalanan] Suara Saking Bali. Pengunjung dapat melihat transformasi SSB dari tahun 2016 sampai sekarang—yang setia memuat karya sastra Bali modern, seperti cerpen, puisi, dan esai berbahasa Bali.
SSB merupakan majalah daring pertama di Bali yang memuat karya sastra berbahasa Bali. Majalah yang didirikan oleh I Putu Supartika itu sudah terbit sejak delapan tahun yang lalu. Setiap bulan SSB mencoba menghadirkan beragam karya sastra Bali modern maupun karya lain yang berbahasa Bali.
Majalah daring yang dapat diunduh secara gratis ini terbit setiap sebulan sekali. Dan jangan salah, tak semua karya yang dimuat lahir dari penulis yang sudah memiliki nama, pula karya mereka yang baru belajar menulis—SSB bahkan pernah memuat puisi anak SD.
Selain menerbitkan majalah daring berbahasa Bali, SSB juga memiliki satu program yang diinisiasi pada tahun 2022. Program tersebut bertajuk Festival Sastra Bali Modern—festival yang membicarakan seluk-beluk, pernak-pernik perjalanan sejarah, ekosistem, dan keberlanjutan sastra Bali modern. FSBM pertama dilaksanakan secara daring pada tahun 2022. Sedangkan yang kedua ini diselenggarakan secara luring di Singaraja.
“Ini Festival Sastra Bali Modern yang kedua. Yang pertama kami selenggarakan secara daring, itu tahun 2022. Tahun 2023 kami sempat jeda—karena, ya, persoalan klasik: urusan dana. Tahun ini, karena Suara Saking Bali mendapat bantuan Dana Indonesiana, FSBM ini kami gelar kembali,” ujar I Putu Supartika, pendiri majalah Suara Saking Bali, di aula STAHN Mpu Kuturan, Sabtu (7/8/2024) malam.
Tahun ini, menurut Supartika, yang juga seorang wartawan cum sastrawan itu, FSBM berusaha atau sedang mencoba mengaktivasi perguruan tinggi dan sekolah supaya merasa dekat dan kembali mengenal sastra Bali modern. Atas dasar itulah SSB memilih menggelar festival tersebut di STAHN Mpu Kuturan—yang notabene sebagai perguruan tinggi yang mempelajari dan memiliki jurusan bahasa Bali.
Pengunjung sedang membaca majalah Suara Saking Bali cetak yang dipamerkan di Festival Sastra Bali Modern 2024 | Foto: takala.co/Son
Meski di Bali, sastra Bali modern sampai hari ini masih dianaktirikan. Ia berada di antrean paling belakang untuk diperhatikan. Selama ini, sastra Bali modern berusaha hidup dan menjaga nyala keberlangsungannya dengan terseok-seok, berdarah-darah, dan swadaya. Ia seperti anak yatim-piatu yang dipaksa tumbuh dan besar tanpa tali-kasih orang tua.
Mendengar ucapan Supartika, Sastra Bali modern seolah hanya noktah kecil—yang mungkin tak terlihat sama sekali—di pinggiran kesenian dan kebudayaan Bali yang adiluhung, yang dielu-elukan. Di tengah hingar-bingar kesenian Bali yang lain, sastra Bali modern bisa jadi hanya zarah yang terhempas oleh kalkulasi atau hitung-hitungan politik semata.
Rasanya, sastra Bali modern—termasuk Suara Saking Bali—sudah sah menyandang status yatim piatu. Tak lagi punya sosok [baca: pemangku kebijakan] yang begitu kasih melindungi dan mengembangkan. Yang tersisa tinggal orang-orang asing. Sebagian kecil mungkin masih mendesiskan perjuangan meski tak bisa berbuat banyak. Namun, yang lain sepertinya tidak lagi punya kepedulian tentang apa pun, apalagi capek-capek memikirkan keberlanjutannya di masa depan.
Jadi, agak berlebihan bila mengharap akan ada mata yang tertusuk oleh kondisi ekosistemnya hari ini, telinga yang tergetar keluh kesah orang-orang yang memperjuangkannya, dan hati yang terguncang sumpah serapah dan doa-doa mereka yang masih setia, sekali lagi, mempertahankan eksistesinya.
I Putu Supartika, pendiri Suara Saking Bali | Foto: tatkala.co/Son
Meski banyak yang lantas mencoba bermain peran selayaknya “ayah-ibu” yang bertindak demi dan atas nama “anak-anaknya”; namun, dengan satu dan lain cara, ini semua diam-diam malah makin meyakinkan bahwa sebenarnya tak pernah ada yang serius memikirkan sastra Bali modern.
Yang ada justru para pemimpin, dari nasional sampai lokal, yang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan yang lebih mementingkan seremonial daripada sesuatu yang subtansial. Tak salah bila pada akhirnya mereka sekadar menjadi slilit yang ketlingsut di kegaduhan retorika dan tumpukan hitung-hitungan.
“Kami mencoba membumikan atau mendekatkan kembali sastra Bali modern kepada mahasiswa dan siswa. Karena kami merasa selama ini sastra Bali modern terkesan eksklusif. Hampir seratus tahun lebih sejak pertama kali diperkenalkan, sampai sejauh ini, kondisi sastra Bali modern seperti jalan di tempat,” kata Supartika, menggebu-gebu. Ada sedikit nada kejengkelan saat ia mengatakan hal tersebut.
Terkait penyelenggaraan Festival Sastra Bali Modern 2024 di STAHN Mpu Kuturan, menurut I Putu Ardiyasa, akademisi STAHN Mpu Kuturan, festival ini telah memberi energi baru bagi kampus dan civitas STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Akademisi sekaligus dalang itu merasa harus berterima kasih kepada Suara Saking Bali karena telah berkenan berkolaborasi dengan perguruan tinggi tempatnya mengabdi.
Festival Sastra Bali Modern 2024 diselenggarakan selama dua hari, 7-8 September 2024 di STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Dan setidaknya ada lima mata program yang dilaksanakan, yakni pameran arsip Suara Saking Bali, diskusi arsip dan ekosistem sastra Bali modern, parade musikalisasi puisi, diskusi proses kreatif musikalisasi puisi, dan bedah buku puisi, cerpen, dan kritik sastra. Hari ini festival akan berakhir.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole