TULISAN ini saya ketik di tengah keprihatinan mendalam melihat situasi di Timur Tengah belakangan ini. Berita tentang kekerasan, intimidasi, serangan militer, dan penderitaan manusia mengalir terus bagai air pancuran, tak pernah putus walau dipancung.
Otak pandir saya ini tetiba bertanya, bagaimana mungkin kawasan Timur Tengah, “Tanah Suci” kata orang, merujuk pada kenyataan bahwa blok tersebut merupakan wilayah sakral bagi tiga agama besar dunia; Islam, Kristen, dan Yahudi, namun justru dilanda “bencana”, sebuah kiasan untuk menyebut konflik, kekerasan, dan penindasan yang merajalela? Tidakkah ini sebuah paradoks?
Bukankah tanah suci seharusnya menjadi simbol perdamaian dan kasih sayang, bukan gelanggang bagi tindakan represif yang jelas-jelas melanggar ajaran agama? Sementara kita semua tahu bahwa setiap tindakan dzalim sekecil apa pun pasti mengundang konsekuensi spiritual yang tidak sepele, sama artinya melawan Tuhan yang secara tegas melaknat tabiat tersebut.
Nah, berpijak pada asumsi receh itu, saya kepikiran untuk mengulas sisi lain yang mungkin belum banyak dibahas orang: di mana posisi keyakinan agama dalam konflik di Timur Tengah? Tesis saya kira-kira begini: Agama tidak cukup mampu mengendalikan rasionalitas seseorang untuk tidak menindas sesama. Pada titik ini saya menyebutnya dengan “Menganiaya Keyakinan”.
Penjelasan dan Kasus
Agama, tidak dapat tidak, memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Timur Tengah dengan Islam sebagai keyakinan mayoritas. Salah satu prinsip inti dalam ajaran Islam adalah larangan untuk menyakiti atau menganiaya orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim.
Dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam, terdapat banyak ayat yang menekankan pentingnya kasih sayang, perdamaian, dan penghormatan terhadap kehidupan manusia. Namun, paradoksnya, wilayah ini telah menjadi saksi bisu atas banyak kejahatan kemanusiaan yang mengerikan.
Keyakinan akan siksa Tuhan akibat menganiaya orang lain seharusnya menjadi faktor penghambat bagi tindakan kekerasan dan peperangan. Namun, realitasnya jauh berbeda. Konflik-konflik di Timur Tengah seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti persaingan ideologi, sengketa wilayah, ketimpangan ekonomi, dan upaya untuk memperebutkan kekuasaan politik.
Meskipun demikian, agama sering digunakan sebagai alat pembenaran oleh pihak-pihak yang bertikai, baik secara sadar maupun tidak. Salah satu contoh yang paling tragis adalah perang saudara yang berkecamuk di Suriah sejak tahun 2011. Konflik ini telah menewaskan ratusan ribu orang, menciptakan krisis pengungsi terbesar di era modern, dan mengakibatkan kehancuran infrastruktur dan kehidupan masyarakat.
Menurut data dari PBB, lebih dari 5,6 juta orang telah melarikan diri dari Suriah, dan lebih dari 6,1 juta orang terlantar di dalam negeri. Meskipun konflik ini dipicu oleh faktor-faktor politik dan ekonomi, agama sering digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan kekerasan oleh pihak-pihak yang bertikai, baik pemerintah Suriah maupun kelompok-kelompok pemberontak.
Di Yaman, konflik yang dimulai pada tahun 2015 telah menewaskan lebih dari 233.000 orang, menurut laporan PBB, dengan lebih dari 80% populasi membutuhkan bantuan kemanusiaan. Konflik ini melibatkan pemerintahan yang diakui internasional yang didukung oleh koalisi pimpinan Saudi melawan pemberontak Houthi yang didukung oleh Iran.
Situasi ini memperparah penderitaan rakyat Yaman, dengan blokade yang menyebabkan kelaparan dan krisis kesehatan yang parah. Meskipun kedua belah pihak mengklaim berjuang untuk tujuan yang benar, tindakan mereka sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ajaran agama.
Salah satu konflik yang paling menonjol dan panjang di Timur Tengah adalah konflik Israel-Palestina. Konflik ini berakar pada perebutan wilayah dan klaim atas tanah yang dianggap suci oleh tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi.
Sejak pembentukan negara Israel pada tahun 1948, terjadi serangkaian perang dan intifada yang telah menewaskan ribuan orang dan menciptakan kondisi kemanusiaan yang sangat sulit bagi rakyat Palestina, terutama di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ketegangan terus berlanjut dengan berbagai insiden kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Situasi di Jalur Gaza sangat memprihatinkan dengan blokade Israel yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, membatasi akses terhadap barang-barang dasar seperti makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.
Menurut laporan PBB, lebih dari 70% penduduk Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sementara itu, Tepi Barat terus mengalami pembangunan pemukiman Israel yang dianggap ilegal menurut hukum internasional, memperparah ketegangan antara kedua belah pihak.
Konflik-konflik ini memperlihatkan bahwa agama sering dijerumuskan sebagai alat pembenar tindakan kekerasan. Namun, sejatinya, konflik-konflik ini lebih banyak dipicu oleh faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial.
Persaingan untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak dan gas, juga menjadi salah satu pemicu utama ketegangan di wilayah ini. Misalnya, Perang Teluk pada awal 1990-an sebagian besar dipicu oleh invasi Irak ke Kuwait, yang bertujuan untuk menguasai cadangan minyak yang besar di negara tersebut.
Selain itu, ketimpangan ekonomi yang mencolok antara negara-negara di Timur Tengah juga berkontribusi terhadap konflik. Negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar memiliki tingkat kekayaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara miskin seperti Yaman dan Suriah. Ketidakadilan ekonomi ini sering kali menciptakan ketegangan sosial dan politik yang memicu kekerasan.
Oase dan Harapan
Meskipun demikian, masih ada secercah harapan. Terdapat banyak gerakan dan individu yang berupaya mempromosikan perdamaian, rekonsiliasi, dan penghormatan terhadap kehidupan manusia di Timur Tengah.
Mereka mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran agama yang menekankan kasih sayang, toleransi, dan penghindaran dari kekerasan. Upaya-upaya ini mencakup dialog antar-agama, pendidikan perdamaian, dan advokasi hak asasi manusia. Misalnya, inisiatif seperti “Abrahamic Family House” di Abu Dhabi yang bertujuan untuk mempromosikan pemahaman dan kerjasama antara Muslim, Kristen, dan Yahudi.
Organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) juga memainkan peran penting dalam upaya mempromosikan perdamaian di Timur Tengah. Organisasi seperti International Crisis Group, Human Rights Watch, dan Amnesty International bekerja untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dan mendorong pemerintah serta aktor non-negara untuk mematuhi hukum internasional. Selain itu, program-program pendidikan yang berfokus pada resolusi konflik dan pembangunan perdamaian mulai diterapkan di beberapa negara di wilayah ini.
Pada akhirnya, hanya dengan menghormati martabat manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal, konflik di Timur Tengah dapat diakhiri. Keyakinan akan siksa Tuhan akibat menganiaya orang lain seharusnya menjadi pendorong utama untuk mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi, bukan justru menjadi alat pembenaran untuk tindakan kekerasan dan penganiayaan.
Penting untuk diingat bahwa perdamaian bukan hanya ketiadaan perang, tetapi juga kehadiran keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.[T]