— Catatan Harian Sugi Lanus, 9 Mei 2024
Besakih tidak pernah tertulis dalam prasasti-prasasti Bali kuno dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuno.
Besakih baru muncul dalam lontar-lontar peninggalan era kerajaan Gelgel, salah satu yang utama untuk menjadi pedoman memahami sejarah Besakih adalah lontar RAJA PURANA BESAKIH yang dibuat periode Gelgel.
“Saya merasa aneh bahwa tempat suci kuno seperti tempat suci utama [sekelas Besakih] tidak disebutkan dalam prasaasti, mungkinkah dengan nama yang berbeda?” tanya Dr. R. GORIS yang seumur hidupnya didedikasikan untuk membaca semua prasasti raja-raja Bali kuno yang ditemukan di Bali.
Kumpulan terjemahan dan analisa berbagai prasasti Bali kuno yang dikerjakan Goris, yang termuat dalam buku PRASASTI BALI I&II (1954), tidak satupun menyebut nama Besakih. Prasasti-prasasti dari Śri Kesari Warmadewa (ca. 913-914 M), Śri Ugrasena (ca. 915-942 M), Sri Haji Tabanendra Warmadewa (ca. 955-967 M), Indrajayasingha Warmadewa atau Candrabhaya Singha Warmadewa (ca. 956-974 M), Janasadhu Warmadewa (ca. 975 M), Śri Wijaya Mahadewi (ratu, ca. 983 M), Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni (ratu, ca 989-1007 M) dan Dharma Udayana Warmadewa (ca. 989-1011 M), Śri Ajñadewi (ratu, ca. 1011-1016 M), Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa (ca. 1016-1025 M), Anak Wungsu (ca. 1025-1077 M), Śri Maharaja Walaprabhu (1079–1088 M), Śri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi (ratu, ca. 1088-1101 M), Sri Suradhipa (ca. 1115-1119), Śri Jayaśakti (ca. 1133-1150 M), Sri Ragajaya (ca. 1155 M), Śri Maharaja Jayapangus (ca. 1178-1181 M), Śri Maharaja Ekajayalancana (ca. 1200 M), sampai Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa (ca. 1324-1325), tidak satupun menyebut kata ‘Besakih’.
Ambisi Goris untuk mencari nama lain Besakih dalam prasasti akhirnya berujung sebuah “kekeliruan”. Pendapatnya tersebut terlampir dalam ‘Naschrift’ di belakang artikel panjangnya yang berjudul: DE POERA BESAKIH — BALI’S RIJKSTEMPEL (Goris 1937:78).
Dalam ‘Naschrift’ tersebut ia menyimpulkan bahwa nama kuno dari Besakih adalah Çri-mukha, Çri-muka dan Buka-çri (Bukaçri). Menariknya dalam artikel setelahnya (Goris 1969b:97), ia mengakui bahwa kesimpulannya itu keliru.
Berikut kutipan ‘Naschrift’ (asalinya berbahasa Belanda) dari tulisan Goris:
—————————
Dokumen mengenai desa Bahungtringan yang telah disebutkan dan disimpan di pura desa Babandem membawa saya pada suatu kecurigaan, yang ingin saya ungkapkan di sini sebagai kesimpulan pembahasan tentang Bésakih.
Saya merasa aneh bahwa tempat suci kuno seperti kuil kami disebutkan dalam piagam, mungkin dengan nama yang berbeda.
Nah dalam dokumen Babandem (di Karang Asem) tersebut disebutkan gunung (Bukit) Tulangkir, yang di dalamnya kita sudah mengenal nama lama Goenoeng Agoeng. Sekarang dalam bagian yang sama suruhan bhatara Buka-çri dibicarakan dua kali; dari sini sudah dapat diduga bahwa Buka-çri ini adalah tempat suci terbesar di Besakih yang berdekatan.
Namun masih ada lagi: Dalam sebuah dokumen yang disimpan di Péngotan (1296 M), salah satu batas wilayah Basangara yang dirawat disebutkan sebagai: Buka-çri. Sekarang kita mengetahui dari perbatasan lain dan dari daerah lain bahwa Basangara pasti terletak di kawasan pegunungan di selatan Danau Batur, sehingga dalam hal ini Buka-çri pun bisa jadi adalah Besakih.
Dalam dokumen C dari poera bale agoeng Soekawana (1300 M), setelah dilakukan pencacahan batas wilayah desa Soekawana (dieja Sikawana pada bagian ini), disebutkan bahwa Lampérah (desa atau desa yang diketahui dari dokumen lain dan sering terletak di sebelah timur Danau Batur, sebelah barat laut Besakih) setiap tahun harus membawa oleh-oleh tertentu kepada Sukawana, begitu juga dengan Çrimuka. Jadi di sini persamaan Çri muka dengan Besakih bukannya tidak berdasar.
Jika kita mundur lebih jauh ke masa lalu, kita menemukan bahwa sebuah piagam dari tahun 1182 membahas kelompok pemburu, atau lebih baik lagi tentang penghuni tempat perburuan kerajaan; ini tinggal di Bayung, Bunar dan Çri mukha. Bayung adalah Bajoeng gede saat ini di arah barat daya. dari Danau Batoer.
Kita mengetahui dari dokumen lain bahwa Bunar (juga, dalam dokumen lain: Bunah) terletak di sebelah selatan Boewahan dan sebelah timur Bajoeng (géde). Oleh karena itu, wilayah ketiga lebih jauh ke timur dan kemudian kita kembali ke wilayah Besakih.
Tulisan yang lebih tua lagi, yakni heredik kedua Sérai pada tahun 1067, juga menyebutkan tiga kelompok pemburu kerajaan atau pelayan kerajaan (marbwat-thaji) di tempat berburu (di buru) di Bayung, Bunar, dan Çri mukha.
Jadi jika kita mulai dari potongan tertua, maka Bésakih saat ini, yang disebutkan sebagai tempat berburu dan tempat perlindungan (Bhatära Buka-çri), masih disebut Çri-mukha pada tahun 1067 dan 1181. Pada tahun 1296 Buka çri, pada tahun 1300 lagi Çri-mukha dan dalam dokumen tak bertanggal (dokumen Babandém) Buka-çri.
Tidak diragukan lagi bahwa nama Çri-mukha, Çri-muka dan Buka cri (Buka cri) ini sama-sama identik. Apalagi wujud yang lebih muda sepertinya adalah Buka çri. Dari Buka çri, dan terutama karena namanya tidak lagi dipahami, Bésakih akan muncul, dimana seperti dalam banyak kasus lainnya, ada hubungan dengan naga yang terkenal ini: Bäsuki, yang bentuknya telah disebutkan dalam catatan dari tahun 1444 dan 1456 muncul.
Di sini dikatakan: desa Hulun Dang ring (resp. hung) Basuki (dua kali dalam kedua piagam). Perlu juga disebutkan bahwa desa Hulun Dang disebut juga Hila hila. Sehingga kedua kata tersebut mungkin bukan nama diri, melainkan nama generik: Hila-hila artinya “suci, terlarang”, dsb., sedangkan Hulun-dang bisa berarti “hamba atau abdi Dang”, yang kemudian Dang berarti Tuhan, seperti pada dang-hyang (lih. juga bhatära Dato-nta Bali Kuno, yaitu = O. J. bhatära Punta-hyang dan di bagian lain dewa-dasa; sedangkan juga bentuk padahyangan terjadi, termasuk di Soekawana B dari tahun 1181).
Masalah lain yang ingin saya singgung adalah sebagai berikut: Dalam sebuah artikel di Bhäwanägara dalam terbitan sekitar bulan Mei 1931, yang berjudul “Poera Bésakih dengan tueroetannja” (hlm. 205 m2), Ida Poetoe Maron menceritakan sebuah legenda lain tentang asal usul candi daripada yang kami reproduksi di catatan 7. Ada satu hal yang penting, yaitu nama pendirinya adalah: Séri Wira Dalém Kesari. Karena pangeran dari pilar prasasti Sanoer tahun 839 (817 M) disebutkan dua kali Cri Kecari (-warma…). Jadi dalam legenda Bésakih yang baru saja disebutkan nama Sri (Wira Dalém) Kesari akan menjadi pengingat akan nama tersebut nama pangeran dari tahun 817 M?
—————
Semua pendapatnya di atas dianulir sendiri alias ditarik kembali oleh Goris. Ia mengatakan kesimpulan dalam artikel tersebut keliru dan menempatkan letak Bukaśri (dalam ejaan lama ditulis ‘Bukaçri’) letaknya di dekat Landih, dengan asumsi bahwa Basanghara berada di dekat Pengotan dan bukan Pemuteran (Goris 1969b:97).
Dalam buku: “Pura Besakih: Temple, Religion and Society in Bali” D.J. Stuart-Fox menjelaskan bahwa belum tentu pendapat Goris tersebut sepenuhnya keliru, dan berpendapat seperti ingin membuka kembali pertanyaan jangan-jangan nama kuno Besakih adalah seperti dugaan Goris yang tariknya sendiri:
“… apalagi jika kita menganggap Buka Sri dan Sri Muka sebagai tempat yang berbeda. Buka Sri muncul dalam dua prasasti. Istilah suruhan (petugas pajak tanah?) dari Bhatari Buka Śri, seorang dewi, muncul dua kali dalam titah Bahungtringan (PB 552:IVa3, IVb4), yang tidak banyak memberi tahu kita, namun dalam titah Basangara (daerah Pemuteran) Buka Sri terletak di sebelah timur Basangara (PB 80l:Ib3 dalam Budiastra 1978:26, 57). Secara geografis, lokasi ini sangat dekat dengan Besakih, namun masih terdapat masalah linguistik dalam diturunkannya Basuki dari Bukasri. Huruf ‘r’ biasanya menghilang dalam bahasa Bali, meninggalkan kemiripan vokal dan konsonan yang menarik antara Bukas(r)i dan Basuki.”
“Sekte-Sekte di Bali” karangan Goris terlalu menyederhanakan
Kasus “Goris menganulir Goris” ini menarik direnungi. Secemerlang apapun seorang peneliti menulis risetnya, bisa saja pernah keliru. Terlepas dari jasa besar Goris dalam meneliti Bali, ia pernah keliru dan menganulir sendiri pendapatnya.
Adakah karya tulis Goris yang keliru? Atau mengandung “persoalan”?
Prof Haryati Soebadio secara tegas mengkritik tulisan Goris: “Secten op Bali” (terbit dalam Mededelingen Kirtya van der Tuuk no. 3, hlm. 37-54 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sekte-Sekte di Bali”, 1974) dinilai terlalu menyederhanakan.
Prof Haryati Soebadio dalam sambutannya berpendapat terlalu menyederhanakan masalah:
“Karangan Goris ini akan terutama penting dalam penelitian naskah keagamaan. Tidak ada karangan lain yang dengan demikian jelas memperlihatkan struktur aliran-aliran yang akhirnya menjadikan Hinduisme berbentuk sebagai sekarang. Tentu gambaran Goris dapat disebut terlalu simplistis juga. Namun, guna pengertian yang mendalam, gambaran pertama yang dapat menyederhanakan masalah merupakan bantuan yang sangat berguna.”
Buku kecil “Secten op Bali” (Sekte-Sekte di Bali) telah banyak menimbulkan kekeliruan pembacanya yang beranggapan bahwa telah ada pertentangan sekte-sekte terjadi di masa lal Bali. Padahal, kalau dibaca dengan seksama maka Goris tidak mengatakan ada pertentangan sekte-sekte tetapi terdapat jejak berbagai ajaran atau ‘paksa’ dan di Bali bisa dijejaki ‘paksha’ yang menyusun Hinduisme yang berkembang di Bali. Agama yang dipeluk di Bali sendiri adalah sudah sinkretik sedari dulunya.
Tidak pernah Goris menulis ada pertentangan atau perpecahan sekte di Bali sebagaimana banyak dibicarakan para penulis belakangan yang keliru mengutip Goris. Terlebih, jika membaca disertasi Goris, terdapat “pertentangan” antara isi disertasinya dengan beberapa uraian yang disampaikan dalam “Secten op Bali” (Sekte-Sekte di Bali).
Siapapun membaca Goris sebaiknya berhatihati dan kritis, terutama buku kecil “Secten op Bali” (Sekte-Sekte di Bali). Banyak jebakan di dalamnya karena terlalu simplistis, terlalu besar ruang interpretasi yang ditinggalkan, sehingga pembaca yang tidak runut membacanya akan bisa terjebak membuat kesimpulan seolah-olah di era Bali kuno terdapat pertentangan atau peperangan antar sekte. Padahal tidak ada bukti yang bisa membenarkan asumsi liar tersebut. [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS