NYANYIAN PANJANG TALANG SUNGAI PARIT
1.
Talang Sungai Parit, luak warisan
Benua Awan (kini tetap tegak
Dijaga roh-roh keramat pilihan,
hanya tak nampak
dalam pandangan).
Di sini kami tinggal, membangun rumah
Membuka huma. Begawai, badukun, babalian, menugal tanah
Menabur benih. Panen suka cita. Beranak-pinak. Dan yang pergi
Kami lepas dengan upacara naik tambak atau tepung tawar
Tanpa banyak pinta pun ratapan (kami tahu, ajal tak bisa ditawar
tapi kasih abadi bagai titik air di pipi awan
Mendung yang menyimpan tempias angin
dan sejuk hujan)
Kami telah bergeser dari tepian sungai besar, Indragiri atau Kuantan,
Masuk lebih dalam ke hutan tanah ulayat
Bagai memasuki daulat Patih Besi
dalam pagar makam tuha tak terkunci (dan mika merestui,
lewat isyarat kayangan yang dimengerti batin dan kumantan)
2.
Lama kami melambas, makin jauh kami menerabas
Memaron ranting-ranting pohon dalam perapian
sambil memohon abu kesuburan
Hingga telah kami lewati Pasir Bongkal,
meninggalkan makam Patih Besi, leluhur agung kami
nun di tepian arus Indragiri
di bawah batang sialang lebat daun
Rohnya bersemayam di pucuk
ubun-ubun sialang lengang
yang terus meninggi memantau huma dan hunian
Memulun lebah dan manisan,
Menggusah burung-burung pemangsa
dan jembalang mata hitam
Mengasuh inang dan bunian
di tiap jengkal lahan Cindawati, sang pewaris sah
yang kami cintai. Hingga kami tak mengenal lapar,
perang dan penyakit menular
Begitulah kami susuri hulu dan alur sungai-sungai kecil
yang mengalir ke Indragiri jua,
menyepuh menyapa makam keramat patih juga
Sungai-sungai kecil itu bagai sungai suratan nasib
di garis telapak tangan kami
yang mengalir berdenyut ke urat nadi
Dan sesekali bergolak dalam kepalan jari
Rindu menunggu atau geram mencari
hulu dan kuala, mata air dan air mata.
Hingga kami sadar, tak ada yang benar-benar tertinggal,
Tak ada yang betul-betul terlupa, abai atau alpa,
Sepanjang kami tegakkan adat dan ritual
Menjaga pantangan dan larangan
Merentang benang silsilah, mengikat makna upacara
Mengeratkan yang lalu dan akan datang
Membentang pula benang kasih
antara yang tiba dan yang pergi
antara yang hidup dan yang mati.
3.
Sebenarnya kami lebih suka merentang tangan
Bersalaman, bagi siapa pun yang datang, menyusul atau bersisian
Apalagi bagi saudara-saudara kami, sedarah sesilsilah
Sebatin sekumantan, turunan Patih Nang Sabatang:
anak cucu Patih Besi, Patih Bunga, Patih Kelopak
Itulah kami, orang-orang Talang Mamak,
cucu-cicit Patih Nang Batiga (mulialah namanya!)
Di Talang Sungai Parit, Talang Sungai Limau atau Talang Gedabu
kami berjaga. Di Talang Perigi, Talang Tujuh Tangga,
Talang Durian Cacar atau Talang Sukamaju (yang baru mekar)
beserta puluhan luak harapan
kami tegakkan marwah leluhur
Di hamparan tanah warisan
dari tepian Indragiri hingga ke Bukit Tiga Puluh
dari Kelayang hingga Rakit Kulim
dari Rengat Barat ke Batang Gangsal
dari Batang Cendaku hingga ke Semerintihan, Suo-Suo,
Bendera adat tegakkan
Begitulah kami memutuskan bergeser menjauh
ke hutan-hutan nenek moyang
bergeser bukan berarti kalah
Maju tak mencari musuh
Mundur tak menangisi masa lalu
Lalu apa lagi yang kalian minta?
4.
Setelah sungai-sungai mati berganti parit-parit sawit
Rawa-rawa mengering, gambut kurus susut
Bagai rambut amai-amai kami yang kusut oleh derita
Dan huma ladang sepi tanpa perapian
(“Dilarang membakar lahan”, begitu pengumuman
menyamaratakan lahan kami dengan lahan perusahaan)
Maka lihatlah, tunggul-tunggul kayu di huma
diam menunggu. Bagai kata bersilang dalam tungku
Alasan dan pembelaan kami untuk sekadar bertanam padi
kalian abaikan. Ibarat abah kami duduk hikmat di balai-balai
Tanpa rokok dan tembakau, masih tak kau tahu
tiada siksa sekejam itu?
Tapi kau, juru bicara mereka yang datang,
Berkata setenang tawaran harga komoditi saat gemilang,
”Lihatlah, parit sawit ini, bagai selat atau lautan
akan melayarkan tandan-tandan buah segar
ke pasar-pasar dunia…”
Ah, sebelum berlayar kami telah lebih dulu remuk
tertimpa janji lapuk dan beban sejarah yang membusuk
Sebab parit-parit ini tak cukup mampu menyeberangkan kami
ke masa lain, bersalin rupa atas hari-hari buruk
Lamur dan kemaruk! Parit-parit tak berhulu tak berkuala
Bagaimana mungkin memulangkan kami ke masa lalu
Atau menyeberangkan kami melintasi masa?
Kami terkatung antara masa silam dan masa depan
Tergantung tak bertali antara langit kelabu dan bumi yang rata
Tak ada pohonan tempat bersandar, tiada akar
tempat menyelam. Alam semata kelam
di tangan para pesulap kakap, tega dan kalap!
Jelas ini bukan lautan pantai timur,
Bukan pula selat Malaka yang pernah diarungi leluhur
dengan rakit kulim Bukit Kairndaan
Menjemput Raja Narasinga untuk didudukkan
di atas tahta Rengat Lama
Karena yakin, mika Raja adil raja disembah
Maka kami persembahkan buah-buah hutan;
jerenang, rotan dan madu lebah
Buah-buah huma dan belukar rimba;
cempedak, talas, gintan dan padi ladang
kami antar ke istana tiap Lebaran tiba
Daulat dan titah menyatu
menjadi bayang-bayang sepanjang badan
mengukur tanah tempat bermukim
(Sedang dengan kalian
kami enggan berbagi!)
5.
Tapi kini kalian duduk sendiri, tak mau di tepi-tepi
Berkata tiada merendah, berjanji setinggi-tingginya.
Kalian bangun tahta sendiri
di atas tanah yang bukan kalian pemiliknya
Dan pasar-pasar dunia justru masuk ke jagad keramat kami
Membawa bibit sawit dan deru mesin-mesin
Di tanah-tanah hutan ulayat
Udara kami bagai mengandung bibit penyakit
yang bersipongang tiada obat
Bahkan kalian paksa kami melepas lahan yang tinggal
Seluas sehampar telapak tangan nasib ini
sejengkal sudah dekat kematian
O, jangan! Jangan mati setampang benih
yang kami genggam. Sebab akan kami tanam di ladang-ladang
Itulah nafas kami yang sejati. Jangan rebut milik kami
yang memberi sisa harapan
Biarkan kami menjaga huma, menugal dan terus menanam
Apa yang layak kami tanam (seperti terang susut cahaya,
Kami pun paham makna niscaya)
Dan ketahuilah, pangkal tugal kami erat dalam genggaman
Ujung runcingnya setajam paruh secerlang mata elang
Kilaunya adalah seberkas cahaya maut di mata pedang
Tinggal menunggu jerit olang, elang keramat roh moyang
Kelak, dalam sehembus angin jelatang, mungkin
Kami menugal di jantung kalian, o, para pecundang!
Simaklah nyanyian kami, nyanyian orang-orang Talang Mamak
Di tepi zaman. Luka dan dendam dapat kami simpan
Tapi marwah tak ‘kan kami abaikan. Catatlah baik-baik
bait-bait sakit ini. Kami menulisnya dengan runcing ujung tugal
Seperti pena anak-anak kami yang tak majal
menuliskan kata-katanya sendiri
bagi masa depan mereka yang kekal….
/Talang Sungai Parit-Yogya, Maret 2024
- Luak artinya kampung atau tempat mukim yang sudah diikat oleh aturan-aturan dan kesepakatan adat.
- Benua Awan, pemukiman awal masyarakat Talang Mamak yang kemudian berkembang menjadi Desa Talang Sungai Parit sekarang.
- Begawai, badukun, babalian, Sejumlah upacara masyarakat adat Talang Mamak; begawai (ritual pernikahan), badukun (pengobatan), Babalian (pengobatan, penyembuhan)
- Naik tambak, upacara kematian bagi batin, dukun, kumantan atau orang yang meninggal karena suatu tragedi, misal karena mati dibunuh. Bagi warga yang meninggal biasa dilepas dengan upacara naik tanah.
- Tepung tawar, rangkaian upacara kematian, pungkasan melepas roh setelah sebulan atau empat puluh hari peristiwa kematian. Kadang disebut juga pelis tawar karena menggunakan buah jelai/pelis sebagai aksesoris yang menghiasi rumah-rumahan tempat roh diyakini bersemayam.
- Tuha, tua. Orang Talang Mamak disebut juga suku tuha, suku tua.
- Mika, dia
- Batin, pimpinan adat masyarakat Talang Mamak.
- Kumantan, pimpinan ritual dalam masyarakat Talang Mamak.
- Malambas, pemberitahuan kepada petala guru bahwa hutan yang dibuka akan dijadikan ladang.
- Memaron, mengumpulkan dan memilih kayu untuk dibakar.
- Amai, panggilan untuk ibu; amai-amai sama dengan ibu-ibu.
- Olang, sebutan untuk elang yang dianggap sebagai burung bertuah.
- Talang Mamak di Tepi Zaman, judul buku Syafrizaldi JPG (2023) tentang masyarakat adat Talang Mamak.