“Manusia itu adalah makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya.” — (Prof. N. Drijarkara)
MANUSIA mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkannya merasakan beragam perasaanseperti bahagia, sedih, haru, dan cinta. Sebagai makhluk yang berbadan2, manusia hadir di tengah alam (realitas), dan dengan inderanya menghayati dirinya, duduk, berjalan, makan dan seterusnya.
Peradaban manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya berusaha memastikan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, nyaman dan membahagiakan. Kegagalan meraih tujuan atau harapan membuat manusia mengalami kesedihan kemurungan. Manusia adalah makhluk yang mampu menghadapi dirinya sendiri, menghayati kesedihan untuk mengambil hikmah. Terlebih manusia penyair macam Sarah Monica lewat buku puisi Bangkitnya Kemurungan.3
Judul buku bergambar sesosok tubuh tanpa kepala, dengan dada gerowong, dan warna dominan hitam ini menyiratkan kemurungan. Nama penyair tertulis di pojok kanan atas, judul buku berada di bagian bawah, menegaskan keterpurukan. Tulisan warna perak, tampak redup dalam latar hitam, seakan membiarkan gambaran sosok tadi “lebih bicara”: murung.
Umumnya “kemurungan” bermakna negative, kata ini senada dengan makna kejatuhan dan keterpurukan, tapi Sarah justru merangkai dan menyandingkan kata “bangkitnya” (berkesan positif). Apakah judul ini mewakili seluruh tema puisi dalam buku ini? Dalam Pengantar Penerbit kita membaca: “Namun Sarah memiliki perspektif berbeda. Ia merasa kemurungan itu satu titik yang mengurung subyek dalam nuansa kelabu, dan karena itu ia menyentuhnya dengan upaya-upaya personal untuk membangkitkannya, mewarnainya. Seolah ia sadari bahwa jauh di dasar kemurungan itu mengendap perasaaan-perasaan sedih, kecewa atau terlunta, sakit dan menderita; dan itu bukan lagi dalam lingkup personal namun pengalaman kolektif yang direfleksikan…”4
Bagaimana Penyair memaknai kemurungan? Mari, kita baca langsung lewat puisi-puisinya. Lima kali kata “kemurungan” muncul dalam buku ini, yakni pada puisi Penantian (hal. 6), Sepasang Mata (hal. 8), Kepergian (hal. 11), Berserah (hal 29-30) dan Malam Kudus (hal. 77 -78).
Puisi Penantian, sebentuk solilokui, menggugah kesadaran bahwa kebahagiaan ruhani takkan terwujud tanpa proses perjuangan. Kegagalan dan kejatuhan semata bagian dari proses pendewasaan, serupa proses “peram” peragian anggur spiritual. Kata “anggur” tentulah lambang kepuasan dan kebahagiaan ruhani. Penyair berseru:
Kau tak akan mampu membuat sebotol anggur dari darah ketabahan
diperas dari harapan yang tak pernah runtuh
dari pahit kenangan yang membeku
dari mimpi-mimpi yang tercekik di cakrawala
dari doa-doa yang jatuh kala dipanjatkan….”.
Karena itu, Penyair harus senantiasa waspada, di antara masa lalu dan masa depan yang bergandengan tangan seraya meronda menyalakan kemurungan siang/ mengunci kesunyian malam. Sebab segala sesuatu di alam semesta sejatinya tidak mati, mereka penyaksi atas hidup: Batu-batu kian mendengar/ lirih rindu yang dibisikkan jejak kakiku saat berkelana. Demikian, hidup adalah penantian panjang atas keputusan takdir, meski risau telah mendarah daging dan rindu begitu memabukkan, dan meski sejauh kesabaran bernafas ujung jalan itu tetaplah lengang.
Pada puisi Sepasang Mata, lewat majas sinekdok pars pro toto, penyair menyapa “seseorang yang lebih tahu”: Wahai mata yang menyalakan kemurungan. Sekali lagi Penyair menggunakan frase “menyalakan kemurungan”. Menariknya, sapa ini diikuti baris-baris antithesis: aku menyaksikan binarmu/ redam oleh angan-angan/ sekarat dalam pemujaan/ merindukan apa yang telah tiada/ mendamba yang tak pernah ada. Penyair mendambakan “kebahagiaan” (yang dilahirkan para wali) dan “kebenaran” (yang berputar bersama bintang).
Penyair meraba “kesejatian” itu lewat kesaksian pendengaran:
Aku mendengarnya bangkit dan berkelana
meratapi warta dunia
memanggil-manggil dalam hening
kebahagiaan yang dilahirkan para Wali
kecintaan yang ditawarkan para Nabi
dan kebenaran yang berputar bersama bintang”.
Puisi Kepergian dengan anak judul “Kepada: I.D.K.P” menggambarkan kesadaran akan makna pengalaman dan tanggung jawab manusia di tengah alam semesta. Menggunakan kata ganti jamak “kita”, penyair berseru, Kita mengenal tiap gurat di pelipis kita/ pun pernah mencoba/ menanggung planet yang sekarat dalam buku jiwa. Penyair sadaralam luar dana lam dalam bertaut. Tubuh mengalami gurat di pelipis dan jiwa harus menanggung planet yang sekarat. Manusia dan alam semesta Saling menafsir/ setiap air terjun peristiwa. “Kita” menyadari bahwa mimpi kian bercabang di setapak kita sementara aku berpacu kilat padahal perahumu tertambat erat. Di bait akhir, penyair berujar kepada sang kawan, Nyanyikanlah tiap kemurungan malam ini sebab sebagaimana tersebut akhir bait ketiga, kepergian adalah niscaya di perjalanan kita.
Puisi keempat dan kelima yang memuat kata “kemurungan” adalah puisi Berserah dan puisi Malam Kudus. Puisi “Berserah” di halaman 29-30, terdiri atas 7 bait 29 baris, dan tertulis “Depok, Januari 2014”. Sedang puisi “Malam Kudus” termuat di halaman 77-78, 6 bait 24 baris, bertuliskan “Bogor, 2017”. Kedua puisi ini sebetulnya “satu puisi”. Banyak kesamaan diksi dan frase pada dua puisi ini, dan tampaknya puisi Malam Kudus merupakan revisi dari puisi Berserah, lebih ringkas, diksinya lebih mengena.
Puisi Malam Kudus berhasil menampilkan dilema dan kesepian eksistensial manusia, bagaimana tarikan rasionalitas yang digelorakan ilmu pengetahuan dan dahaga ruhani seolah bertolak belakang. Penyair berseru, Dunia menyala/ dalam lorong-lorong kepalaku/ sedang hatiku berjalan/ di padang pasir kesunyian. Paradoks belum usai, di bait kedua, Penyair melanjutkan kesaksiannya: Betapa aku menjumpai duka/ pada tiap wajah kenikmatan/ tersingkap bagai malam di punggung senja. Dilemma inilah memaksa Penyair agar “Di malam-malam kudus/ aku mendaki bukit kemurungan/ bersama jiwa para pengembara”. Demikian, manusia berikhtiar memaknai momentum “saat ini” dan “di sini”, keluar dari kungkungan waktu “kemarin” dan “besok”, demi merasakan keabadian, Telah kularung masa lalu,/ harapan, dan segalanya palsu/ di lautan hampa./ aku pun tiada/ dalam samudera ada.
Berlainan dengan puisi-puisi murung ratapan, puisi-puisi Sarah sesungguhnya menggambarkan perjuangan pencarian jati diri anak manusia secara merdeka, di tengah hiruk-pikuk peradaban, di arus laju pesat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, terombang ambing rayuan gaya hidup hedonis dan materialistis. Manusia terus berada di persimpangan untuk menentukan pilihan (dan beresiko). Ilmu pengetahuan membawa manusia pada kemudahan, namun nafsu serakah manusia ditambah watak ilmu pengetahuan modern yang sejatinya lahir dari sekularisme, perlahan menyeret manusia kepada kehampaan spiritual, kerusakan moral dan bencana ekologis. Cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada. Manusia seolah tidak memerlukan agama dan Tuhan untuk mengada.
Fisuf Modern Islam Seyyed Hosein Nasr menggambarkan peradaban modern yang berkembang di barat (dan berulang di Negara-negara timur) maju sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan5. Hidup manusia seperti bumi kehilangan sumbu edar revolusi, kehilangan orientasi hidup, hampa.
Ignas Kleden telah merasakan kehampaan spiritual dalam masyarakat Indonesia pada awal decade tahun tujuh puluhan. Dalam Tjatatan Bulan Ini, esai ringkas pembuka majalah Budaja Djaja Nomor 50 tahun ke lima, Juli 1972, ia menulis: “Adakah sesungguhnya kita masih percaya kepada Tuhan? Dunia kita adalah dunia yang makin kecil, tetapi hidup yang bertumbuh di dalamnya mencakar langit dengan kekuatan-kekuatan berukuran besar. Rangsang-rangsang kita harus cukup mengguncangkan untuk dapat masuk kesadaran: perjalanan ke bulan, kompetisi produksi senjata, kriminalitas yang nekat dan sex terbuka… Kepuasan kita lebih ditakar dengan kwantitas, keindahan adalah ukuran matematis dan cinta –supaya mengesankan- harus menjadi barang dagangan dengan setumpuk uang sebagai harganya”.6 Menarik, Ignas juga menyebut “kepercayaan kepada Tuhan” sebagai “semacam puisi”.
“Kemurungan” Sarah Monica berbeda dengan “kemurungan” Cecep Syamsul Hari. Kemurungan Cecep dalam puisi-puisinya berada dalam ranah romantisme cinta penuhi isotopi perempuan, imaji-imaji perempuan.7 Kemurungan Cecep sampai taraf tertentu bahkan menjadi tujuan. Ada nuansa erotisme, kadang transenden. Tiga kutipan puisi dari buku Efrosina8 berikut ini kiranya bisa menunjukkan kecenderungan tersebut:
…. Tubuhku kecut dan pasi,
hujan menyiram rambutku semalaman; seseorang bermuka
pucat bermahkota cahaya ke dalam cawan menuangkan cairan
merah bagai anggur, seperti darah: “Untuk kesehatan kita.” Kami
pun bersulang, aku bersulang, dengan murung.
(puisi “Efrosina”)
Menulis puisi pada sebuah malam yang sedih.
Seseorang bersenandung. Kemurungan riang berpendaran
menangkap cahaya ada tirai jendela.
(Puisi “Syair Kemurungan”)
……. Bangun dan peluklah Don Quixote
malang ini, pengembara penuh duka, jatuh cinta
berulangkali pada perempuan yang sama. Perempuan
yang sama. Orang Dewasa yang selalu takjub pada kemurungan
tak terduga.
(puisi “Molto Allegro”)
Sementara, kemurungan Sarah Monica adalah keresahan jiwa sebagai resiko kehidupan urban dan pendidikan modern rasional yang mengabaikan aspek ruhani. Keresahan inilah yang menjadi tolakan energi untuk bangkit meronda memaknai (peristiwa, luka, dan takdir) kehidupan.
Menarik, terdapat18 kali penyebutan kata “takdir”, 17 kali penyebutan kata “Tuhan”, 19 kali penyebutan kata “cinta”, 10 kali penyebutan kata “kesunyian” dalam buku Sarah. Ini tentunya menggambarkan perhatian penyair akan aspek religiositas eksistensial puisi-puisi Sarah.
Nuansa murung dan resah sarat kebingungan ruhani banyak mewarnai puisi-puisi Sarah Monica periode tulis 2010 – 2017. Namun, puisi-puisi periode setelahnya, 2019 – 2022, menampakkan suasana lebih sumeleh. Agaknya, berkat perenungan meronda “mendaki bukit-bukit kemurungan”, Sarah kemudian menemukan solusi sumber ketenangan: Tuhan, cinta, keluarga, juga tradisi. Puisi Malam Kudus seolah menjadi tapal batas, titik balik keresahan menuju kepasrahan akan takdir Tuhan.
Puisi-puisi seperti puisi Dan Renungan Senantiasa Lahir, puisi Catatan Seorang Anak, puisi Ziarah, atau puisi Laylatul Qadar menunjukkan fase damai. Pada puisi Dan Renungan Senantiasa Lahir penyair menyadari keterbatasannya sebagai manusia: Bahasa kita terbatas membaca gerak semesta. Selanjutnya penyair berseru, Tuhan, telah terjerat hati meski jalan terentang jauh dan kita pun menanggung rindu.
Puisi Catatan Seorang Anak dengan tenang spontan menyampaikan udar rasa seorang anak di hadapan orang tuanya. Bagaimana kepergian petualangan seorang anak, meski demi mengejar cita-cita sekalipun, ternyata menyisakan ceruk rindu/ milik ayah-ibuku. Penyair telah keliru menilai keluarga sebagai penjara dari sumber segala tanya, dan akhirnya insyaf: perjalanan akan selalu/ memberi alasan berpulang/ dan makna diri/ membutuhkan akar/ untuk tumbuh dan berdiam.
Lewat puisi Ziarah Sarah menyalami diri sendiri, Salam pada pendendam/ jiwa kelam yang dihantam/ peristiwa demi peristiwa/ lembar-lembar luka. Hati damai sumeleh membuatnya tidak lagi memandang alam dari perspektif eksploitatif, alam menjadi sahabat dalam perjalanan menuju Tuhan, Alam berbicara/ di keheningan batin/ yang gemetar. Tak cuma itu penyair berikhtiar berdamai dengan sejarah, tradisi, dan warisan spiritualitas ulama pendahulu: Nalar kita mencoba/ menembus kerajaan sejarah/ dari kubur alim-ulama/ menyelami telaga doa/ yang terus menghilir ke muara takdir. Dan akhirnya, dalam puisi Laylatul Qadar penyair bisa berzikir dan menari bersama para sufi: Dengar, O, dengar! Nadi bumi bergetar/ oleh tarian memutar/ ruh-ruh para pemabuk abadi/ pertapa gila yang merindu.
Bangun puisi Sarah Monica kokoh, ditopang dengan diksi-diksinya yang bersih dan efektif, menunjukkan pondasi nalar penyair yang kuat. Puisi-puisi Sarah Monica dekat dengan perpuisian Faisal Kamandobat dalam soal struktur bangun dan pola susun larik, juga dalam gaya sunting larik (enjabemen). Kita simak petikan puisi Faisal Kamandobat berikut:
aku kehilangan peta
menuju tuhan
sudah lama aku tak bicara
dengan langit dan planet-planet
sudah lama aku tak bicara
dengan diriku sendiri9
Yang tertuang dalam puisi-puisi Sarah, boleh jadi sedikit banyak juga menghantui hati dan pikiran kita. Sebagai manusia, sebagaimana kutipan N Drijarkara di muka, Sarah Monica telah berhadapan dengan dirinya sendiri. Kita belajar pada Sarah memahami diri. Saya tutup pembacaan ringkas ini dengan kutipan berikut:
Selamat datang rahasia
merekahlah
agar kusingkap rupa ilahiah.
(puisi “Ziarah”)
Muntilan Jogja, 27 April 2024
Bacaan:
1: Filsafat Manusia, Prof. Dr. N Drijarkara,Penerbit Jajasan Kanisius, tahun 1969, halaman 6
2: Filsafat Manusia, hal. 8.
3: Bangkitnya Kemurungan, Kumpulan Puisi Sarah Monica, Penerbit Framepublishing, cetakan I, Juli 2023
4: Bangkitnya Kemurungan, hal v
5 : Islam dan Nestapa Manusia Modern, Seyyed Hossein Nasr, penerbit pustaka, tahun 1983.
6 : majalah “Budaja Djaja” Nomor 50 tahun ke lima, Juli 1972, dalam “Tjatatan Bulan Ini” halaman 386-387.
7 : Nafas Gunung, Suara dari Jawa Barat, antologi puisi Penyair Jawa Barat, serial Cakrawala Sastra Indonesia, Penerbit Logung Pustaka, Tahun 2004. Kata Penutup oleh Muh. Wan Anwar diantaranya mengulas kecenderungan “kemurungan” dalam puisi-puisi Cecep Syamsul Hari.
8 : Efrosina, Kumpulan Puisi Cecep Syamsul Hari, Orfeus Books, Cimahi 2002.
9 : Puisi Seperti Tuhan dalam buku Alangkah Tolol Patung Ini, Faisal Kamandobat, penerbit Olongia, tahun 2007.