JURU Gender adalah sebutan untuk musisi gender wayang di Bali. Untuk menjadi juru gender sudah tentu melalui proses pembelajaran yang panjang, karena untuk menguasai ketrampilan menabuh gender wayang dan mampu mengiringi dalang dalam pertunjukan wayang diperlukan disiplin aguron-guron.
Aguron-guron dilakukan dengan penuh rasa pengabdian dan komitmen kepada guru gender dan juga kepada diri sendiri sebagai seorang murid. Kedalaman proses aguron-guron yang dilakukan akan menentukan kualitas seorang penabuh gender sampai menjadi juru gender wayang, karena seorang juru gender tidak hanya menguasai teknik ketrampilan dan gending-gending gender wayang saja (lelintihan gending gender), namun juga memahami dengan baik cerita wayang, bah-bangun wayang (dramatic), ngesehang bayun paigelan (musical spirit, mood, interpretation and improvisation) yang disebut dengan ngewangsa wayang.
Dalam proses aguron-guron, hal yang didapat tidak hanya ilmu dan ketrampilan tetapi juga terjadi transmisi pengalaman panjang seorang guru gender wayang. Pengalaman seorang guru sangat penting bagi seorang murid karena secara tidak langsung memberikan pencerahan disiplin, etika, moral, dan spiritual.
Dalang Nganten Mesakapan Ngajak Juru Gender
Seorang dalang diharuskan nganten mesakapan dengan juru gender. Nganten mesakapan artinya menikah dan disahkan dengan komitmen bersama. Istilah nganten mesakapan ini sangat biasa digunakan jaman lampau sebagai ungkapan bahwa seorang dalang harus menyatu dengan juru gender.
Menyatu yang dimaksud di sini adalah proses kerja sama bagaimana mengupayakan supaya pertunjukan wayang berhasil dan sukses. Proses kerja sama dalang dengan juru gender terjadi tidak hanya saat berlangsungnya pertunjukan wayang saja akan tetapi sesungguhnya interaksi intim antara dalang dan juru gender terjadi setiap saat, saat ide kreativitas muncul.
Ide kreatif ini dibahas dan dikreasikan supaya bisa digunakan dalam pertunjukan wayang. Bentuk kreasi ini ketika ditampilkan dalam adegan pertunjukan wayang menjadi satu reragragan yang tidak terduga karena memberikan satu bentuk kreasi baru dan sentuhan baru dalam satu adegan, cerita (satwa), dialog (kanda, bebangkrekan), igel wayang, dan entan-entanan tabuh gender.
Ngewangsa Wayang
Ngewangsa wayang adalah kemampuan seorang juru gender terutama seorang pengugal (leader musician yang mokokin, molosin) membangun dan menghidupkan suasana adegan wayang dengan kemampuan kreativitas-improvisasi musikal yang dihadirkan.
Kemampuan juru gender ngewangsa wayang tentunya harus didukung dengan keahlian teknik bermain gender wayang. Seperti gegedig tetekep cepung artinya setiap lagu gender wayang dimainkan dengan teknik dan penjiwaan (mayunang gending) yang tepat sesuai dengan spirit gending.
Celang dan sengeh dalam mengiringi wayang. Celang artinya konsentrasi penuh dengan memberikan perhatian yang mendalam setiap adegan yang dibangun oleh dalang sehingga tidak ada yang luput. Dalam hal ini kalau diterapkan dengan sungguh-sungguh akan terjadi suatu tuning system atau frekwensi kesadaran dalam gelombang yang sama antara dalang dan juru gender.
Ketika celang terbangun secara otomatis sengeh akan terjadi dengan sendirinya. Sengeh adalah suatu kesadaran dan sensitifitas yang tidak terpikirkan, terjadi begitu saja ketika juru gender merespon rangsangan keindahan, suasana, penanda, dan gerakan yang dihadirkan oleh dalang dalam pertunjukan yang sering terjadi diluar kebiasaan, kesapakatan yang sudah biasa dilakoni.
Celang dan sengeh menghadirkan pertunjukan yang tertata dan kompak antara jalannya alur dramatic wayang dengan kreativitas musikal yang disebut dengan saman sepel.
Saman Sepel adalah hadirnya kekompakan, kerapian, ketepatan antara suasana alur dramatik yang dibangun oleh dalang dengan kreativitas musikal yang digarap oleh juru gender. Saman sepel menyajikan hasil dari suatu proses latihan, kebersamaan, dedikasi, kreativitas dalam satu kesadaran estetika yang tidak mekanik namun hidup dan bertumbuh dalam konteks ruang dan waktu.
Ketika kesadaran atau kepekaan estetika juru gender bertumbuh dan terjadi dalam konteks ruang dan waktu saat pertunjukan wayang digelar, seolah-olah atau dengan sendirinya seorang pengugal gender wayang bisa membaca pikiran dalang, sehingga apa yang diingini oleh seorang dalang dalam menghidupkan suasana pertunjukan bisa direspon dengan cepat dan tepat secara otomatis walaupun penanda dari dalang tidak selalu dalam bentuk verbal. Hal ini menjadikan pertunjukan wayang hidup dan mampu membangun suatu citra kehidupan di ruang imajinasi penonton, dan tentunya memberikan support energy kepada dalang.
Dalam kurun waktu yang lama interaksi intim dialog kreativitas dalang dan juru gender menjadikan ke dua pihak mendapatkan keuntungan pengetahuan. Dalang memahami musik dan mampu memberikan arahan, ide kreatif ke pada juru gender dan juru gender mampu memahami, dan merespon dengan berkreativitas menciptakan gending iringan wayang, menciptakan pattern-pattern batel baru, phrase-phrase baru untuk mengelaborasi gending-gending iringan wayang untuk bisa menghidupkan suasana pakeliran sesuai dengan tuntutan alur dramatik.
Interaksi yang intens terus menerus memberikan pengetahuan praktik sehingga juru gender sampai menguasai ilmu pewayangan seperti bah-bangun cerita, tandak wayang, anda (kanda) atau dialog wayang, bahkan sampai hapal petikan sastra-sastra kawi (kakawin dan parwa) yang biasa dipakai oleh dalang dalam pertunjukan wayang, walaupun para master gender wayang ini tidak menjadikan dirinya seorang dalang.
Foto koleksi Nobue Tani murid Wayan Loceng dari Jepang
Seorang juru gender yang memahami dan menguasai ilmu pewayangan inilah ada yang menjadi guru dalang, artinya mampu mengajar seorang murid yang belajar mendalang sampai menjadi dalang, seperti Pekak Rajin (almarhum) dan Pekak Loceng (almarhum) dari Banjar Babakan Sukawati Gianyar.
Pekak Rajin yang memberikan pendidikan dasar-dasar pewayangan kepada dalang I Ketut Madra (almarhum), dalang yang terkenal dengan sebutan dalang jengki, dan juga dalang I Wayan Wija yang terkenal dengan kreasi Wayang Tantri-nya.
Pekak Loceng, di samping mendidik calon dalang di masyarakat juga menjadi dosen luar biasa yang memberikan pelajaran praktik padalangan dan gender wayang di Jurusan Pedalangan ASTI Denpasar (ISI Denpasar).
Salah satu murid Pekak Loceng di masyarakat adalah dalang I Gusti Made Lunga (I Gusti Mangku Desa) dari Tangkulak Kaja Kemenuh Gianyar. Pekak Loceng mendidik Gusti Made Lunga dari umur belia sehingga menjadi dalang muda yang terkenal di daerah Gianyar sekitar tahun 1970-80an.
Sekarang I Gusti Made Lunga sudah menjadi Pemangku Pura Desa di desa Tangkulak Kaja, Kemenuh Gianyar, namun masih tetap aktif sebagai dalang untuk upacara terutama pertunjukan wayang untuk ngewatekan atau otonan (sudamala) dan juga wayang sapuleger. [T]
- BACA artikel lain tentang WAYANG atau tulisan lain GUSTI PUTU SUDARTA