SUATU KETIKA, seorang lelaki melintas di depan rumah tetangganya yang sedang mencuci mobil di depan garasi rumah. Lelaki itu bertanya: “Nyuci mobil nih, Pak..?” Tetangganya menjawab: “Iya, Pak, habis kehujanan, kotor..”.
Saat yang lain, seorang ibu membawa tas plastik berisi sayur-mayur hasil belanja berpapasan dengan ibu tetangga di sebuah gang pemukiman. Tegur sapa pun terjadi. “Baru belanja, Bu..?”, tanya tetangganya. “Iya, Bu”, jawab ibu yang baru saja selesai belanja di warung.
Seorang pekerja kantor sedang asyik mengerjakan sesuatu di laptopnya. Teman sekantornya melintas, sambil berkata: “Wah sibuk banget nih..”. Pekerja itu hanya menjawab: “Ah.. enggak, biasa aja kok..”.
Begitulah percakapan yang sering ditemui dalam interaksi sehari-hari. Orang sering menyapa orang lain, bertanya pada orang lain, dan saling menyatakan sesuatu. Percakapan semacam itu biasa disebut sebagai komunikasi fatis (Phatic Communication).
Komunikasi fatis diperkenalkan oleh Bronislaw Malinowski, seorang antropolog Polandia pada awal abad ke-20. Komunikasi fatis adalah komunikasi yang tidak intensional, tidak memiliki tujuan khusus. Komunikasi yang dilakukan hanya sekadar basa-basi antara satu orang dengan yang lain.
Fungsi Sosial
Komunikasi fatis bukanlah komunikasi yang bernilai informatif, karena tak ada sesuatu yang serius hendak disampaikan. Jika seseorang bertanya tentang apa yang sedang dikerjakan seseorang, sesungguhnya ia tidak ingin tahu betul yang dilakukan orang itu. Pertanyaan itu pun tidak begitu penting, karena si penanya sebenarnya sudah tahu yang dikerjakan orang lain.
Begitulah komunikasi fatis. Fungsi sosial dari komunikasi ini lebih menonjol dibanding fungsi informasinya. Oleh sebab itu, komunikasi fatis sering disebut sebagai non referential language; yaitu penggunaan bahasa yang tidak menujukkan sesuatu yang berarti. Komunikasi fatis tidak bertujuan menunjukkan gagasan tertentu, namun lebih untuk menjaga hubungan sosial.
Hampir semua masyarakat di dunia memiliki bentuk komunikasi fatis masing-masing. Biasanya bentuknya semacam small talk, yaitu percakapan kecil tentang apa saja. Percakapan tentang kesehatan seseorang, cuaca saat ini, sampai masalah keluarga bisa menjadi bagian dari small talk dalam komunikasi fatis. Dimensi komunikasi fatis sangat kultural dan kontekstual. Setiap masyarakat suatu negara memiliki karakteristik komunikasi fatis masing-masing.
Indonesia termasuk negara dengan masyarakat yang mempunyai tipikal komunikasi fatis heboh. Apa saja bisa menjadi perbincangan basa-basi. Tidak heran jika pertanyaan tentang apakah sudah makan, apakah sudah mandi, dan apakah sudah menikah menjadi basa-basi komunikasi fatis di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut justru dianggap sensitif dan tidak layak diajukan dalam percakapan pada orang-orang Eropa dan Amerika.
Tipe Komunikasi
Komunikasi fatis tak ayal menjadi bagian dari kehidupan manusia. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang dikenal ramah-tamah, basa-basi—dan komunikasi fatis menjadi bagian tak terpisahkan dalam interaksi sosial. Sapaan dan teguran adalah bentuk kesopanan. Tidak menyapa dan tidak menegur saat berjumpa teman atau tetangga justru dianggap tidak sosial.
Beberapa tipe komunikasi fatis diungkapkan Almut Koester (dalam StudySmarter, 2004). Pertama, apa yang disebut starting a conversation, yaitu ungkapan yang digunakan untuk mengawali percakapan, hanya untuk saying hello. Misalnya, saling menanyakan kabar anak dan istri masing-masing.
Kedua, breaking a silence. Komunikasi fatis ini bertujuan untuk menghindari atau mengurangi kecanggungan dalam interaksi interpersonal. “Udaranya sangat dingin ya.. Sepertinya sudah akan masuk musim kemarau”. Pernyataan itu bukan sebuah informasi, tetapi sekadar obrolan untuk mengurangi kecanggungan.
Ketiga, basa-basi untuk lebih mengakrabkan diri dan meningkatkan hubungan atau making small talk. Contohnya, percakapan seseorang dengan temannya: “Aku lihat postingan fotomu di Facebook. Habis liburan ya..?”
Keempat, membicarakan tentang sesuatu di sekeliling atau di circle sosialnya, yang disebut gossiping. Banyak gosip yang biasa menjadi perbincangan di Indonesia, mulai dari kehidupan teman, tetangga, rekan kerja, maupun kawin-cerai selebriti Tanah Air.
Kelima, expressing solidarity; menunjukkan kepada seseorang bawa kita sepakat atau mendukungnya. Ungapan seperti saya sepakat, saya sangat mendukung, saya setuju seratus persen; merupakan komunikasi fatis berupa dukungan solidaritas.
Keenam, kadangkala perbincangan antara satu orang dengan orang lain terganggu oleh suasana tempat atau ruangan yang berantakan. Untuk lebih membuat suasana nyaman dalam berkomunikasi, orang akan mengajak pindah tempat atau posisi. Tipe basa-basi ini disebut creating comfort.
Ketujuh, expressing empathy; komunikasi fatis yang bertujuan mengungkan empati seseorang pada keadaan orang lain. Ketika seorang teman akan menjalani operasi karena penyakit yang dideritanya, orang akan berkata:”Semoga operasi berjalan lancar. Jangan segan hubungi saya jika ada yang bisa saya bantu”.
Masih ada beberapa tipe komunikasi fatis yang diungkapkan Almut Koester. Semua mengarah pada upaya untuk menjaga agar komunikasi lebih menyenangkan, meski sekadar basa-basi. Namun basa-basi itu akan sangat bernilai bagi orang lain jika diucapkan dengan ketulusan.
Indonesia sangat kaya dengan ragam komunikasi fatis. Salah satu tipikal komunikasi fatis yang digemari orang Indonesia adalah gosip. Bahkan gosip menjadi bagian dari industri hiburan di media massa. Tak heran bila penulis Polandia, Joseph Conrad mengatakan, gosip adalah sesuatu yang diklaim tidak disukai banyak orang, tetapi dinikmati semua orang.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU