“NANTI saya akan datang dengan cara yang berbeda,” kataku ketika ayah mengirimkan foto riuhnya Kota Jakarta. Ada rasa bangga dan iri ketika ayah lebih dulu memijakkan kaki di sana. Kala itu hanya sebuah perbincangan kecil yang aku pikir tak bisa tercipta dalam waktu dekat.
Ya, hanya sekadar membawanya pada jurnal penuh impian saja. Maksudnya, mencatat setiap tempat yang mungkin bisa dikunjungi, membawa setiap mimpi yang pastinya sesuai dengan inginku, dan berkelana dengan pikiran yang penuh imajinasi. Rasanya sulit untuk beranjak dari tanah kelahiran sebab aku harus menelurkan mimpi tanpa campur tangan mereka. Itu sudah menjadi keputusan maka aku harus mencari kesempatan.
Apa yang selanjutnya aku lakukan? Tidak ada. Aku hanya mencatatnya dalam jurnal tanpa pernah membukanya kembali. Kalau bisa ke sana maka caranya berbeda—aku tidak ingin datang jika hanya menjadi wisatawan.
Kotaku sudah indah, tempat rantauku juga megah, dengan penghuni yang ramah. Untuk berpijak sebentar dengan pengalaman melihat gedung tinggi rasanya bukan perihal yang unik. Maka dari itu, aku harus mencari memori yang kekal. Bagiku, kesempatan akan datang saat aku sudah siap menjalaninya, meskipun nantinya banyak hantaman yang perlu aku lawan atau telan.
Gedung-gedung dan suasana jalanan di Jakarta / Foto: Putri Santiadi
Ternyata kalimat itu salah, suatu waktu aku dihubungi oleh seseorang untuk kembali terlibat dalam pertunjukan yang berjudul “Mlancaran ka Sasak” di Komunitas Mahima. Aku menolak karena menyadari keberadaanku bisa diganti oleh siapa pun. Ya, menyerah dikala garis finish setengah hasta. Tetapi ternyata tidak mudah untuk mengatakan jangan sertakan aku, sebab rasanya senang berada di tengah-tengah mereka
Belum sampai beberapa hari, seseorang yang berbeda menghubungiku tengah malam, dengan bicara, “Jangan pikirkan orang lain, kamu berhak ada di sini.” Betapa bimbangnya aku karena segala alasan tidak masuk akal sudah aku ciptakan dan terbaca olehnya. Tanpa berpikir panjang, kembali aku uraikan niat awal kepadanya. Kalian tahu? Mereka menerimaku kembali bahkan melontarkan rencana baru setelah pementasan selesai.
Aku pun kembali berada dalam satu kelompok manusia yang penuh dengan pikiran-pikiran akan kesenian. Kalau dibandingkan dengan mereka, tentu aku tidak ada apa-apanya. Aku hanya gadis kecil yang kalau kata pepatah diketok palu baru jalan. Namun, seiring berjalan waktu aku sadar bahwa tak semua orang harus berkembang dengan seni. Sebab keberadaanku telah menjadi pelengkap, pikirku.
Setelah pementasan itu, goresan pada jurnal terwujud dengan cara berbeda. Apa? Kesempatan pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta? Rasanya baru satu minggu yang lalu aku mengatakan impian ini pada ayah. Ternyata benar, semua yang sudah tertakar tidak akan tertukar.
Tetapi tidak begitu saja percaya. Berhari-hari aku merasa kesempatan ini belum pantas, aku belum siap, dan ragu menyelimuti setiap waktu berdentang. Pikiran kacau tapi tubuh tetap bergerak untuk berlatih bahkan berusaha meyakini diri bahwa aku tidak kecil. Kalau tidak sekarang maka tidak ada kesempatan lagi, pikirku. Sampai akhirnya aku dan rekan-rekan lain berangkat ke Jakarta. Mengudara yang jauh dengan doa. Jangan takut, kata Ibu.
***
Pada 9 Desember 2023, aku sampai di Jakarta. Aku melihat gedung yang menjulang tinggi dengan suasana riuhnya kota, begitu banyak manusia yang berjalan, bercengkrama, bahkan hanya sekadar duduk di bahu jalan. Ternyata Kota Jakarta tidak memiliki bintang, itu kalimat pertama yang aku tanyakan pada sopir taxi yang mengantarkanku ke tempat penginapan.
Sebenarnya tidak penting dan tidak membutuhkan jawaban, tapi lidahku begitu lincah mengatakannya. Terlihat dari kaca spion, sepertinya ia sedikit kesal karena aku merasa bahagia berada di padatnya jalan Jakarta sedangkan ia harus melanjutkan perjalanan yang melelahkan.
Pementasan “Rwa” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta / Foto: Ole
Kalau dipikir-pikir, aku seperti manusia yang baru bangun dari tidur panjang. Heboh. Kepala bergerak kanan-kiri-kanan-kiri, begitu terus hingga aku melupakan keadaan mabuk perjalanan.
Rasa lelah pun sirna, mungkin terbang bersama dengan angan-anganku. Entahlah, semua itu seperti mimpi.
Dan aku juga tidak menyangkan pada 11 Desember 2023, bersama teman-teman Komunitas Mahima, aku bisa ada di atas kemegahan panggung teater Taman Ismail Marzuki, Jakarta—bahkan ditonton oleh banyak orang dan mungkin salah satu dari mereka adalah sastrawan terkemuka di Tanah Air.
Ya, seni pertunjukan (teater wayang) berjudul “Rwa” karya Made Adnyana Ole, yang dipentaskan dalam acara “Pentas Karya Komunitas Sastra” persembahan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu, membawaku pada pengelanaan yang sesuai dengan inginku. Rasa bangga dan haru menyelimuti setiap sela tubuh.
Tim Komunitas Mahima saat pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta / Foto: Mahima
Saat itu, aku melihat panggung TIM begitu sakral dan mempesona. Suara lantunan kidung, narasi, musik, dan gender begitu selaras dipadukan dengan tarian-tarian dan pantulan cahaya dari kain putih yang menciptakan siluet-siluet para pemegang cerita.
Ada lagi, aku bisa berbagi cerita dengan mereka yang berbeda daerah, mengenal budaya lain, bahkan menyaksikan langsung kehebatan-kehebatan mereka. Lebih senang lagi, aku bertemu dengan sastrawan Indonesia, salah satunya Putu Wijaya. Mengenal beliau adalah salah satu impianku dan itu terwujud.
Sudah berapa banyak keberuntunganku? Tak terhitung, bukan? Berawal dari rasa tak percaya, tapi berakhir dengan takjub. Hanya satu, yakinlah tulisan bukan hanya goresan tangan, tapi sebuah mimpi yang bisa terwujud pada waktu yang tepat. Tulis, tulis, dan ciptakan keemasannya.
Terima kasih telah membawaku, membagi cerita, dan menemani setiap prosesku. Semua adalah asa yang terwujud menjadi rasa.[T]