FRASE terkenal ini telah menunjukkan, masyarakat Indonesia sangat kreatif dan mampu memanfaatkan banyak hal sebagai ilham.
Ungkapan “Pinjam dulu seratus” ini bahkan ikut diviralkan sejumlah pesohor seperti vokalis band papan atas dunia Coldplay, Chris Martin. Saat kosernya yang begitu fantastik di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, untuk memberi kejutan kepada puluhan ribu penggemarnya, ia mengucapkan sebuah pantun tak terduga, “Hari Selasa ujian fisika, giat belajar biar lulus. Apa kabar kota Jakarta? Boleh dong pinjam seratus?”
Karuan saja pantun yang diucapkannya dalam bahasa Indonesia itu membuat seisi stadion gemuruh oleh tawa penonton konser.
Sebelumnya, para pembalap MotoGP yang mengikuti balapan di sirkuit Mandalika yaitu Francesco Bagnaia, dari tim Ducati, lewat akun medsosnya berguarau, “Biar balapan mulus, pinjam dulu seratus.”
Sedangkan pebalap dari tim Aprilia, Maverick Vinales, turut mengunggah kelakar “Halo Indonesia, boleh pinjam seratus? Bercanda.”
Rasanya kita tak harus memikirkan atau membahas terlalu serius fenomena yang lagi viral ini. Kenapa? Ya karena cuma seratus ribuan. Bukan 8 triliunan, seperti jumlah uang yang dikorupsi gerombolan kasus mega korupsi BTS (Base Tranceiver Station) di kementerian kominfo.
Apalah artinya duit seratus ribuan? Paling-paling buat makan siang dan sebungkus rokok atau isi bensin sepeda motor secukupnya, sisanya buat isi ulang kuota smartphone biar terus bisa bermedsos ria.
Tapi hebatnya, selembar uang kertas rupiah berwarna merah itu telah menginspirasi tak hanya warga di tanah air. Pun sejumlah selebriti dunia tak mau ketinggalan ikut mengutip lalu memviralkannya.
Tak penting juga dipastikan, bagaimana mereka mendapatkan ungkapan menggelitik tersebut. Dan apa pula motifnya dengan mengunggah pada akun medsos mereka atau pada interaksi luring seperti yang dilakukan Chris Martin.
Yang jelas, semua peristiwa tersebut telah membuat kita semua sedikit terhibur.
Satire, sepertinya tak semua telah diciptakan dalam sebuah kesadaran. Mungkin dapat lahir begitu saja dari alam bawah sadar yang telah sekian lama dihimpit dan dijejali oleh keresahan. Keresahan jurang sosiologis yang semakin menganga antara penguasa dan rakyat kecil yang pada akhirnya menciptakan sikap apatis dan tak mau ambil pusing.
Jika hal-hal besar dan penting telah diabaikan dan dianggap sepele oleh penguasa, seperti berkarung-karung uang bernilai 8 triliun, maka yang tersisa bagi rakyat jelata adalah hal-hal kecil dan remeh yang dirias untuk dapat menghibur.
Dalam kesulitan dan ketidakpastian yang entah kapan ujungnya, mereka harus menciptakan panggung dan dramanya sendiri. Maka apa pun boleh memberi ilham. Bahkan uang seratus ribuan yang sejujurnya lebih sering menciptakan tragedi, karena bakal tak dikembalikan oleh peminjamnya, telah diolah menjadi komedi.
Komedi yang membuat kita tersenyum masam, ya sebuah komedi tragedi.
“Pinjam dulu seratus!” telah mengembalikan kesadaran kolektif kita, betapa beruntungnya menjadi rakyat biasa. Bukanlah hal sulit untuk mendapat pinjaman duit seratus ribu rupiah, walau sering kali sangat sulit untuk mengembalikannya. Tentu saja ini sebuah dosa.
Namun dosa yang lebih sering lagi, akan menjadi ilham untuk menciptakan komedi sosial. Alih-alih membuat permusuhan, sebaliknya dosa itu diplesetkan akan menjaga silaturahmi antara peminjam dan korbannya.
Rakyat biasa takkan pernah mendapat peluang merampok uang senilai triliunan rupiah dan itu takkan pernah dpat memberi ilham untuk menciptakan sebuah komedi, semata hanyalah tragedi belaka.
Fenomena ini telah memberi pesan kepada kita, untuk selalu bisa menghargai hal-hal kecil.
Sastrawan masyur Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, “Betapa sederhana hidup ini. Sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirnya.”
Menjadi rakyat biasa adalah sebuah kesempatan untuk menghargai hal-hal kecil yang selalu menyembunyikan ilham untuk ditemukan.
Namun ada ilham yang mudah ditemukan dalam tulisan ini yaitu, kalau pinjam duit, meskipun cuma seratus, jangan lupa dikembalikan ya, hahaha! [T]
- Klik BACA untuk melihat esai dan cerpen dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA