CATATAN INI bermula dari ketidaksengajaan saya membaca tulisan dua orang santri yang berusaha untuk berbicara filsafat Heidegger berikut kritiknya. Anehnya mereka sesekali menyinggung nama saya sebagai orang yang berlagak tahu soal filsafat. Bahkan, persinggungan seperti itu menuntut saya agar ikut-ikutan membahas filsafat Heidegger.
Jika boleh jujur, membedah produk filsafat Heidegger adalah pekerjaan yang begitu rumit dan tidak pernah menemukan ujung. Penyelidikan terhadap pemikiran Heidegger bakal membuat siapa saja terkantuk-kantuk dan tertidur. Salah satu alasan mengapa berjalan seperti itu di akhir penelitian, karena pembahasan filsafat Heidegger mengarah terhadap pembenaran suatu kalimat dari filsuf Rene Descrates yang berbunyi “Cogito Ergo Sum” (Ketika Aku Berpikir Maka Aku Ada).
Dua santri tersebut, Farhan dan Sururi ini mempersoalkan ke-ada-an yang ditawarkan Descrates dan dikritik oleh Heidegger. Sum (ada) itu dibedah dari beberapa cara pandang yang unik. Pandangan mereka berdua ini memperlihatkan pembacaan yang sangat masif terhadap produk Heidegger, juga Descrates. Barangkali, mereka masih bersikukuh dengan statement masing-masing yang berkesimpulan bahwa fenomenologi Heidegger justru berhasil menolak produk Descrates. Sebaliknya keberhasilan Heidegger menolak produk Descrates sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Mungkin saya bakal membuat catatan ini dalam bentuk fragmen-fragmen kecil supaya lebih mudah dipahami—tanpa bermaksud menggurui.
Bertrand Russel dalam buku Persoalan-persoalan Filsafat pernah menanyakan seperti ini: seperti apa bentuk meja? Tentu bagi kita, bentuk meja itu berbentuk bujur, berwarna cokelat, dan berkilau; jika disentuh ia halus, dingin dan keras; ketika seseorang mengetuknya, ia pasti mengeluarkan bunyi kayu. Siapapun yang pernah menyaksikan dan mengalami uraian seperti itu, pasti tidak ada keraguan yang muncul. Tapi jika kita lebih cermat sedikit, ada gangguan kecil yang mengarah pada pertanyaan semacam ini: apakah pengalaman yang kita rasakan sama halnya dengan orang lain? Bagaimana ketika seseorang memandang sudut meja dengan sisi lain sehingga menimbulkan warna berbeda?
Bagi filsafat, ada perbedaan antara “penampakan” (appearance) dan “kenyataan” (reality). Manusia seringkali ingin mengetahui secara mendalam suatu kenyataan tersebut, di luar penampakannya. Maka seseorang akan mencari jawaban tentang sifat asli meja itu. Misalnya ketika kita melihat secara telanjang pada meja, ada butiran debu yang menempel, sebaliknya, meja itu jauh kelihatan lebih mulus dan rata seandainya dilihat melalui jalur mikroskop dan itu membuat perbedaan yang tidak sama saat menggunakan mata. Dari fakta itu, muncul praduga, manakah meja yang “nyata”?
Justru perbedaan itu membuat kita tergoda untuk berasumsi bahwa apa yang dilihat melalui miskroskop jauh lebih nyata, tetapi pada gilirannya akan diubah oleh mikroskop yang lebih canggih. Jika kita tidak percaya dengan mata telanjang, mengapa kita harus mempercayai apa yang dilihat dari mikroskop?
Oleh sebab itu, kita sering menyederhanakan bahwa segala sesuatu yang kita lihat melalui indra mata adalah kenyataan. Penerimaan itu diterima secara akal sehat dan tak perlu dipersoalkan lebih jauh, sehingga kita sudah terbiasa menilai sesuatu yang benar-benar tampak itu sebagai bentuk kebenaran.
Disinilah sebenarnya letak keraguan yang ditawarkan oleh Descartes (1596-1950) pendiri filsafat modern, atas sebuah metodenya yang masih bermanfaat sampai hari ini—the method of systematic doubt; metode keraguan sistematik. Secara prinsip, metode ini berorentasi kepada keraguan terhadap segala apa pun sampai sikap ragu itu runtuh dengan sendirinya. Contohnya jika Descartes ragu, maka ia ada atau jika Descartes punya pengalaman secara utuh, ia pasti ada. Dengan demikian, keberadaan Descartes sendiri merupakan kepastian mutlak baginya.
Agaknya Sururi dalam tulisannya terlalu terburu-buru menyimpulkan Descartes sebagai penganut filsafat “ide“ plato. Sikap tergesa-gesa ini menghasilkan asumsi bahwa Descartes mengakui bahwa segala bentuk kebenaran dalam dunia ini hanyalah ada di dunia ide saja. Mari saya kutipkan pernyataannya:
Berbicara tentang cogito (berfikir) oleh Descartes dijadikan fondasi transendental tanpa menyingkap misteri ada, dimana sebenarnya bukan segala-galanya, melainkan hanyalah salah satu cara menjadikan sesuatu itu ada dan menampakkan dirinya, jadi sebuah perbicangan amat rumit kali ini. Sebab seorang Moh. Farhan Maulana telah mengupasnya dengan amat teliti, tapi melupakan konsep dasar Descartes masih berbau filsafat Plato yang di kenal dengan dunia ide. Maka pastinya sebuah materi sebagai suatu yang tampak di mata, bukan jadi perbincangan kembali atas keberadaanya, akan tetapi jadi sesuatu yang diolah untuk hal baru.
Saya tidak perlu panjang lebar soal itu. Masalah Ide yang coba ditampilkan oleh Sururi sebenarnya tidak punya dasar sama sekali, bahkan gagasan itu telah mengaburkan fakta bahwa bentuk filsafat dari Descartes adalah Primas Cogitans. Primas Cogitans ala Cartesian yang kita kenal sejauh ini hanyalah cart Claire et distincta (jelas dan terpilah-pilah).
Dalam pengertian, sebelum memasuki area cogito, terlebih dahulu Descartes membagi suatu keadaan ke bentuk yang jelas dan terpilah-pilah. Contoh sederhana dari warna merah pensil. Pensil yang berwarna merah tidak bisa menjelaskan dirinya secara jelas karena warna pensil dapat berganti-ganti. Namun diri pensil tetap menjadi pensil.
Dari primas ini, setidaknya Descartes menawarkan proposisi baru: segala bentuk benda apapun justru punya ukuran sendiri, sehingga ia secara tidak langsung menolak kebenaran plato terhadap dunia ide. Penolakan ini yang belum dijelaskan oleh Sururi dan pada akhirnya memberikan informasi keliru pada kita.
Lebih keliru lagi dari gagasan Farhan. Saya kira Farhan akan melakukan teropong lebih jauh dan berupaya semaksimal mungkin menemukan kesalahan dari filsafat Descartes. Justru yang kita dapat—sama sepeti Sururi—penyimpulan terlalu dini dan bahkan terkesan gegabah. Misalnya di kalimat ini:
Melalui Cartesian lalu hadir method of doubt yang kemudian mengerucut pada lahirnya cogito ergo sum, dari situlah kemudian Heidegger melalui fenomenologi meruntuhkan posisi cogito yang transendental di dalamnya. Berbeda dari Descartes yang menyakini kesadaran akan aku adalah sama dengan adaku, Heidegger menawarkan strategi baru melalui fenomenologi (fenomen) : membuka diri selebar lebar-lebarnya dan mencandra realitas sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri ada (Heideger dan Mistik Keseharian Sebuah Pengantar Menuju Sein und Zeit. 2020:37), tak menampik, proposisi atau strategi di dalam proposisi tersabet yang menjadi hal baru.
Anggapan munculnya fenomenologi Heidegger mampu meruntuhkan posisi cogito itu ilusi belaka. Saya mencoba menawarkan apa yang dipikirkan oleh Descartes tentang kesadaran agar penyimpulan ini tidak terlalu norak.
Bagi kalian yang masih belum membaca buku atau ulasan Meditations on First Philosophy (Pencerahan/Meditasi Pertama Filsafat) Rene Descartes, di sana dijelaskan bahwa manusia punya kesadaran dalam ruang seluas-luasnya sekalipun mereka terjebak kepada ketidakpastian atau ilusi:
“Manusia boleh tertipu oleh berbagai ketidakpastian ilusif persepsi, namun satu-satunya hal yang pasti adalah ia sedang menyadari ketidakpastian itu atau setidaknya menyadari satu hal kendai pun sebuah persepsi tidak dianggap sebagai ketidakpastian.”
Descartes menganggap aspek kesadaran itu adalah meragukan, memahami, menyatakan, menolak, berkehendak, berimajinasi dsbt. Oleh sebab itu menganggap proposisi Heidegger mampu menolak sepenuhnya Cogito karena berangkat dari radikalisasi atas fenomenologi Husserl adalah bukti pemahaman yang salah.
Mungkin Farhan belum tahu, Edmund Husserl adalah filsuf yang sama sekali tidak melanjutkan tradisi dari Rene Descartes maupun tradisi sebelumnya. Ia hanya menyarankan sebuah sikap yang nantinya bakal dikenal sebagai dasar dari fenomenologi : Zuruck zu den Sachen selbst (kembali pada fenomena itu sendiri).
Saran itu malah ditolak oleh Heidegger dan bahkan ia merombak total Primas Cogitans. Perombakan ini terbilang hanya mengubah sistem yang menurut Heidegger, Descartes gagal menyentuh keberadaan dalam ruang. Tetapi, perubahan yang dilakukan Heidegger sebenarnya memperluas sedikit saja atas Primas Cogitans itu sendiri. Sehingga muncul pertanyaan benarkah filsafat Heidegger tersebut?
Tentu jawabannya tidak. Perluasaan dari yang ada (being) ketika dipecah menjadi dua bagian, yakni yang ontis dan yang ontologis hanya mengakusisi keangkuhan Heidegger untuk menabrak tradisi sebelumnya. Maka Heidegger membikin tandingan soal jadi diri manusia itu sebenarnya penampakan saja. Penampakan itu belum bisa menjelaskan secara kenyataan apa itu sebenarnya being.
Justru Bertrand Russel punya prosisi yang tidak langsung mampu mendeskripsikan pengalaman seseorang menuju kebenaran yang hakiki. Ia meyakini bahwa manusia memiliki perkenalan (acquaintance) dengan apa pun yang ia sadari secara langsung, tanpa perantara proses kesimpulan atau pengetahuan apa pun tentang kebenaran. Proses ini menghantarkan kita untuk yakin menjadi orang yang sama hari ini seperti kita kemarin. Dengan menemukan metode skeptis, dan menunjukkan hal-hal subjektif adalah pasti, Descartes bisa melayani metode filsafat yang sampai saat ini tetap digunakan oleh manusia. [T]