SERABUT KELAPA itu disusun setengah lingkaran, serupa bulan sabit, di lantai pertunjukan. Di belakangnya, terbentang layar panjang yang menampilkan lima perempuan tua dengan pakaian adat Bali—mereka terus bernyanyi, nembang, lagu-lagu Sanghyang. Video dengan durasi cukup panjang itu mengiringi dan menyambut penonton yang datang, satu per satu, ke tempat pertunjukan. Mendengar suara kumpulan perempuan tua itu, banyak orang tampak lupa kalau sedang di Jakarta.
Di samping kanan lantai pertunjukan, di luar ‘pagar’ atau batas yang terbuat dari serabut kelapa itu, terdapat dua nyiru—atau tampah (dalam bahasa Jawa), alat rumah tangga, berbentuk bundar, dibuat dari bambu yang dianyam, gunanya untuk menampi beras dan sebagainya. Satu nyiru berisi batu kerikil. Sedang lainnya berisi bongkahan batu sebesar kepala orang dewasa dan beberapa ikat helai padi.
Sementara itu, di sebelah kiri kedua nyiru tersebut, tergeletak seekor kuda penjalin dengan surai dan ekor yang terbuat dari janur kelapa. Benar, kuda itu terbuat dari penjalin (rotan) yang dililit dan dihiasi janur kuning muda. Kuda itu mengingatkan kita pada kuda lumping atau jaran kepang di Jawa.
Dan di bagian kiri lantai pementasan, masih di dalam kalangan serabut kelapa, sebuah meja—yang sudah dihias dengan rumput plastik—dan kursi berwarna putih di letakkan. Sedangkan di belakang meja-kursi, terlihat gundukan, seperti gunung, sabut kelapa. Oh, hampir lupa, di sebelah kiri, kali ini di luar batas serabut kelapa, juga terdapat sebuah nyiru yang berisi batu kerikil.
Tepat pukul 4 sore, penonton mulai memadati ruangan pementasan. Mereka lesehan, duduk di dekat—dekat sekali malahan—lantai pertunjukan. Jarak penonton dengan lantai pertunjukan tak kurang dari sepelemparan ludah. Penonton yang duduk lesehan ini bukan tanpa alasan, tapi memang sudah betul-betul dipikirkan oleh yang punya pertunjukkan, si sutradara.
Suasana penonton pertunjukan “Membaca Sanghyang” / Foto: Dok. Amri
Dan beberapa menit sebelum video kumpulan perempuan tua yang menyanyikan lagu-lagu Sanghyang itu berakhir, dua orang pemain—Kevin Muliarta dan I Gede Artana—dalam pertunjukan itu, mulai memasuki lantai pertunjukan dan memindahkan gundukan serabut kelapa—yang seperti gunung itu—di belakang meja-kursi tadi ke sisi kanan lantai pertunjukan.
Tak lama kemudian, dua pemain lain—Wulan Dewi Saraswati dan I Nyoman Subrata—membantu mereka memindahkan serabut kelapa. Sementara Wulan dan Nyoman Subrata sibuk memindahkan serabut kelapa, Kevin dan Gede Artana mulai menyusun kembali serabut-serabut kelapa itu menjadi gundukan yang baru di tempat yang telah ditentukan. Penonton memelototi adegan tersebut dengan pertanyaan yang sama: “untuk apa gundukan serabut kelapa itu?” dan “apa yang akan terjadi selanjutnya?”
Pertanyaan di atas akhirnya terjawab lewat adegan berikutnya.
Setelah selesai membuat gundukan serabut kelapa, Kevin menempatkan dupa dan canang di atasnya. Dupa dan canang itu ia dapat dari Wulan. Sesaat setelah terdiam, Kevin mulai menari Sanghyang Jaran. Ia mengentakan kakinya yang diikat gongseng. Lalu pergi.
Para pemain “Membaca Sanghyang” sedang menyusun sabut kelapa / Foto: Dok. Amri
Sebagai seorang penari, Kevin tampil layaknya jaran (kuda) yang kesurupan—untuk tidak mengatakan gila. Ia berputar-putar, melompat, menendang, berlari, meringkik, memekik, dan mendengus. Benar-benar seperti kuda. Bahkan, kadang-kadang ia juga mengeluarkan suara desahan, dengusan, dan rintihan. Semua itu seolah dilakukannya dengan spontanitas, seperti tanpa kesadaran: kesurupan (trance), layaknya penari Sanghyang Jaran betulan. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam hal ini Kevin tidak main-main. Ia membutuhkan tenaga besar untuk melakukan adegan itu—dan latihan yang keras, tentu saja.
Sesaat setelah sosok Kevin yang menjelma jaran (kuda) itu menghilang dari pandangan penonton, lampu menyorot gundukan serabut kelapa yang di atasnya terdapat canang dengan dupa yang asapnya masih mengepul—meski sudah sampai pada batas nyala. Sedangkan, di layar panjang itu, muncul peta Desa Adat Geriana Kauh, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
Pada saat itu pula, Bendesa Adat Geriana, Jro I Nyoman Subrata, memasuki panggung pertunjukan. Lalu, ia bermonolog cukup panjang tentang alam, pertanian, dan ritual desa; tentang dirinya—yang lahir di Geriana tahun 1973; tentang Sanghyang yang tak lagi ditarikan.
…Setelah dua puluh tahunan Tari Sanghyang tak lagi digelar, sekitar tahun 90-an, saat saya menjabat sebagai Sekaa Yowana Desa, Tari Sanghyang kembali dimunculkan. Hal ini dikarenakan pada waktu itu pertanian di desa kami terus menerus mengalami penurunan panen.
Para penduduk percaya bahwa Sanghyang telah meninggalkan kami. Tak lagi memberikan berkah bagi padi-padi di sawah. Maka, diputuskanlah agar desa perlu untuk menggelar kembali ritual Tari Sanghyang.
Jro I Nyoman Subrata dan Wulan Dewi Saraswati saat mementaskan “Membaca Sanghyang” / Foto: Dok. Amri
Jro Bendesa duduk di atas kursi putih. Ia mulai menyusun satu per satu tangkai padi di atas meja yang telah dihiasi dengan rumput plastik. Bersamaan dengan adegan tersebut, layar memunculkan video anak-anak berhias Sanghyang. Dari sisi kanan, Wulan menari memasuki panggung. Wulan menceritakan biografi dirinya:
Saya Wulan, saya perempuan. Ibu saya berasal dari Tabanan, Bali Selatan, tempat yang terkenal akan lumbung padinya. Dulu, daerah sekitaran Tabanan dikenal banyak menggelar tarian Sanghyang. Namun kini sudah tak ada…
Pada babak keempat, I Gede Artana datang membawa nyiru berisi batu kerikil. Ia membuangnya ke topi petani yang dipegang oleh Wulan dan Kevin. Lalu, Gede Artana menyunggi—nyuwun dalam bahasa Bali—nyiru di kepala berisi beberapa ikat helai padi dan batu besar. Ia menjatuhkan batu gunung itu ke atas meja yang, sekali lagi, telah dihiasi dengan rumput plastik. Gede Artana berkata:
Ini adalah salah satu batu dari muntahan Gunung Agung yang meletus di desa kami tahun 1963.
Bapak-bapak, Ibu-ibu, coba bayangkan. Jika batu-batu ini menimpa kepala bapak-bapak dan ibu-ibu. Bagaimanakah rasanya? Apa yang akan terjadi?
Saya bersyukur. Keluarga kami tak ada yang menjadi korban letusan saat itu.
Layar memunculkan peta lahar Gunung Agung.
Adegan I Gede Artana menjatuhkan batu ke atas meja / Foto: Dok. Amri
Pada adegan ketujuh, Kevin kembali merepetisi gerak Sanghyang Jaran. Layar belakang memunculkan video Sanghyang Jaran. Kevin kembali seperti orang kesetanan. Ia melompat ke sana kemari, menendang gundukan serabut kelapa yang disusunnya—yang di atasnya terdapat canang dan dupa yang telah lama kehilangan nyala—persis seperti video di belakangnya. Serabut-serabut kelapa itu berhamburan, terlempar ke mana-mana, acak-acakan, tak beraturan, lantai pertunjukan seketika tampak berantakan seperti kontrakan mahasiswa paling malas. Gedung pertunjukkan menjadi tegang seketika.
Memasuki babak akhir, Wulan membacakan puisi yang kita tunggu pada malam hari dan Jro Bendesa membacakan nama-nama penari Sanghyang dari tahun ke tahun yang berhasil dicatat oleh Desa Adat Geriana Kauh. Begitulah pertunjukan Membaca Sanghyang karya Wayan Sumahardika menamatkan skenarionya.
Membaca Sanghyang, untuk pertama kalinya, dipentaskan di Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam program “Membaca Pakem Kuratorial Laku Hidup” di IMXR Studio (Black Box/Studio 1), Studio Produksi Film Negara, Jakarta, Sabtu, (21/10/2023) sore.
Sekadar informasi, sebelum Membaca Sanghyang, Suma telah melahirkan seni pertunjukan yang bertajuk “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung te Jung” pada tahun 2022. Dan seperti The (Famous), selain berangkat dari seni tari tradisional di Bali—Suma menyebutnya “berangkat dari lokalitas”—Membaca Sanghyang juga menggunakan arsip dan layar sebagai media pendukung pertunjukan. Jika The (Famous) menampilkan video-video arsip Igel Jongkok, Membaca Sanghyang mempertontonkan ritual Sanghyang di Desa Adat Geriana Kauh.
Adegan Kevin sedang memporak-porandakan gundukan sabut kelapa / Foto: Dok. Amri
Sebagaimana telah dinarasikan Mulawali Institute—pihak yang memproduksi pertunjukan tersebut, yang berkolaborasi dengan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha Desa Adat Geriana Kauh dan beberapa komunitas seperti Aghumi, Jelana Creative Movement, Kelompok Sekali Pentas, Napak Tuju dan Sandhikala Films—di akun media sosialnya, Membaca Sanghyang—pertunjukan yang diproduseri oleh Agus Wiratama itu—merupakan pertunjukan yang berangkat dari studi kasus ritual Sanghyang dalam hubungannya dengan kehidupan pertanian di Desa Adat Geriana Kauh.
“Saya memilih Sanghyang karena ini seolah takdir. Dalam beberapa kesempatan, saya selalu bersinggungan dengan Sanghyang,” ujar Wayan Sumahardika kepada tatkala.co, Kamis, (19/10/2023).
Tak hanya sekadar pertunjukan, lebih dari itu, Membaca Sanghyang berupaya menelusuri dinamika Sanghyang dan masyarakat penyangganya serta relasinya dengan biografi para penari dan aktor hari ini. Menyingkap berbagai isu belakang panggung Sanghyang yang umumnya tak pernah dihadirkan di ruang profan, di mana Sanghyang kerap dikreasikan sebagai tari yang umumnya dipentaskan untuk kepentingan pariwisata Bali.
Pada dekade belakangan ini, sebagaimana telah disampaikan Wulan dalam pertunjukan Membaca Sanghyang, “Sanghyang kembali hadir sebagai sorotan. Tarinya pun dihadirkan secara gamblang di panggung profan sebagai hiburan. Dimainkan oleh para penari kelas atas. Sanghyang dicabut dari desa tempat tinggalnya berada. Dimainkan begitu megah, begitu mewah. Meski, dalam konteks lain, tentu kita sangat menghargai praktik semacam ini.”
Namun, sore itu, menjelang pertunjukkan berakhir, sebagai sutradara, tampaknya Suma ingin mengajak kita semua menyelami kembali Sanghyang dari ruang dan waktu asalnya. Suma, melalui Wulan sebagai performer, mengajak penonton untuk bersama-sama menyanyikan tembang Sanghyang—nyanyian dengan bahasa sehari-hari orang Bali, yang tampak sangat dekat kaitannya dengan kenyataan padi dan sawah.
Dipandu langsung Jro I Nyoman Subrata, selaku Bendesa Adat Geriana Kauh, sore itu penonton menyanyikan tembang Sanghyang dengan khidmat dan magis.
Dan, terlepas dari itu, salah satu hal yang menarik dari proses kreatif Membaca Sanghyang adalah terlibatnya masyarakat Desa Adat Geriana Kauh dalam pertunjukan tersebut. Bayangkan, dua di antara masyarakat Geriana bahkan tidak cukup hanya sebagai informan, tapi juga performer. Ya, Jro I Nyoman Subrata dan I Gede Artana adalah penduduk asli Geriana—yang tentu notabene bukan seorang aktor. Hal ini yang membuat saya kagum dengan pola pikir Wayan Sumahardika.
Jro I Nyoman Subrata (tengah) sedang memandu penonton menyanyikan lagu Sanghyang / Foto: Dok. Amri
Jro I Nyoman Subrata adalah pemimpin Desa Adat Geriana Kauh. Sedangkan I Gede Artana merupakan sosok petani yang masih menanam dan melestarikan padi masa—padi unggul dari Geriana. Kedua sosok tersebut, meski bukan seorang aktor, tetap tampil memukau sore itu. Bahkan, Jro Nyoman, dengan usianya yang tak lagi muda, masih sanggup menghafal monolog cukup panjang tentang alam, pertanian, dan ritual desa; tentang dirinya—yang lahir di Geriana tahun 1973; tentang Sanghyang yang tak lagi ditarikan. Dan Gede Artana, juga tampil mengesahkan—meskipun ia tak mendapat banyak hafalan.
Nyoman Subrata mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya menjadi aktor. Pada awalnya ia sempat ragu, hanya saja, sebagai sutradara, Suma selalu menguatkan. “Untungnya, Pak Suma itu orangnya enak kalau menjelaskan. Dia juga tidak mengharuskan kami tampil seperti aktor beneran—yang alamiah saja, katanya. Jadi, berkat kebebasan yang diberikan Pak Suma itulah akhirnya saya dan Gede menjadi yakin dan percaya diri untuk ikut berangkat ke Jakarta,” terangnya.
Dipilihnya dua orang Geriana sebagai pelaku tamu dalam pertunjukan ini, sekali lagi, merupakan salah satu hal yang menarik sekaligus keberanian—mungkin juga eksperimen—dari sang sutradara. Namun, di situlah justru letak estetikanya. Suma mengatakan, “Estetika dalam pertunjukan ini justru terletak pada interaksi kami dengan masyarakat Geriana.” Artinya, dalam konteks ini, sebagai sutradara, Suma lebih menebalkan estetika di belakang panggung pertunjukkan Sanghyang alih-alih di depan panggung. Ini sudut pandang yang menarik.
Dengan hadirnya dua warga Geriana sebagai pelaku tamu, menurut pembacaan awam saya, menjadikan Membaca Sanghyang tak jauh dari akarnya.
Sebuah Pembacaan yang Serius
Sanghyang adalah tarian tradisional Bali yang dimaknai sebagai tari upacara untuk memohon keselamatan (menolak bala) bagi masyarakat setempat. Sebagai sebuah tari upacara, Sanghyang memiliki konsep pertunjukan yang bersifat sakral (wali). Hal itu dapat dilihat dari bentuk pertunjukan, konteks, lokasi, waktu, pelaku, proses pertunjukan, dan lain sebagainya—yang keseluruhannya itu dimaknai sebagai sebuah ritual.
Sanghyang erat kaitannya dengan masyarakat agraris di Bali. Kemunculannya dikaitkan dengan hasil panen para petani. Dalam pertunjukkan Membaca Sanghyang, Jro I Nyoman Subrata mengatakan bahwa fungsi Sanghyang bagi masyarakat Bali—khususnya Desa Adat Geriana Kauh—dianggap sebagai ritual, selain menolak bala, juga mencegah hama pertanian seperti wereng, walang sangit, burung, dll.
Namun, meski dianggap sakral, di Desa Adat Geriana Kauh, pada kenyataannya Sanghyang pernah hampir ditinggalkan. Sanghyang kembali ditarikan di Geriana pada tahun 90-an, dua puluh tahun setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Artinya, dalam konteks ini, Membaca Sanghyang bisa dikatakan sebagai pertunjukan yang tak hanya sekadar hiburan, lebih dari itu, juga mengandung muatan sejarah Sanghyang di Geriana itu sendiri. Dan, menurut awam saya, hal ini tidak akan terjadi jika Wayan Sumahardika bersama Mulawali Institute tidak melakukan pendekatan pembacaan dangan jarak sangat dekat.
Dalam telaah sastra—apakah bentuknya kita sebut “kritik sastra” atau “kajian budaya”—misalnya, sebagaimana tertulis dalam laman tengara.id, tidak cukup membutuhkan imajinasi, tetapi juga ketajaman pembacaan, kecocokan pendekatan (teoretis)—dan tidak boleh dilupakan: keterampilan menulis. Dalam konteks penciptaan karya pertunjukan, saya pikir juga demikian.
Meskipun, mungkin, terciptanya pertunjukan Membaca Sanghyang tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan pembacaan dekat. Saya rasa, sebagai sutradara, Suma tentu lebih paham soal itu. Namun, maaf jika saya salah, saya pikir Membaca Sanghyang lahir dari sebuah pembacaan yang serius.
Pada kenyataannya Membaca Sanghyang dapat mengungkap dan menyampaikan banyak hal tentang Sanghyang dan kaitanya dengan laku hidup masyarakat di Geriana Kauh—yang mungkin selama ini luput dari pandangan atau pembacaan kita. Melalui pertunjukkan tersebut, sebagai penonton, kita menjadi tahu bahwa pada tahun 2003 Sanghyang sempat kembali tak digelar lantaran tak ada anak perempuan yang lahir. Dalam hal ini, dalam konteks masyarakat patriarki, betapa perempuan memiliki posisi dan peranan sangat penting.
Melalui pembacaan yang serius, Membaca Sanghyang juga menyampaikan bahwa bagi masyarakat Adat Geriana, Sanghyang itu bukan hanya soal debus, menendang api atau kerasukan saja. Bukan, lebih dari itu, Sanghyang adalah cara masyarakat Geriana untuk menghubungkan diri dengan alam dan keseharian masyarakat di sana; menghubungkan diri dengan padi-padi masa yang tumbuh dengan subur—dengan hutan bambu yang begitu banyak tumbuh di desa tersebut; dengan pohon salak, yang semuanya ini menjadi sarana ritual desa menggelar Sanghyang.
“Jadi ada semacam perputaran siklus di sana. Di mana alam kami rawat, memberikan kami kehidupan, lalu kami memanen dan menggelar ritual sebagai persembahan syukur kepada alam. Semuanya dilakukan melalui tarian Sanghyang ini,” ujar Jro Bendesa dalam pertunjukkan.
Tak hanya itu, melalui pertunjukan ini pula, kita dapat mengetahui bahwa di Desa Adat Geriana Kauh, tercatat ada tiga Tari Sanghyang: Sanghyang Dedari, Jaran Gading, dan Jaran Putih. Sayangnya, sebagaimana yang dikatakan Jro Bendesa, yang masih ada sampai sekarang hanya tinggal dua, yaitu Sanghyang Dedari dan Jaran Gading. “Sementara Sanghyang Jaran Putih sudah tidak bisa ditarikan lagi karena sekitaran tahun 90-an, penari dan jro gendingnya sudah meninggal dan tak sempat diwariskan pada generasi muda kami,” ujar Jro I Nyoman Subrata.
Adegan Kevin menarikan Sanghyang Jaran menggunakan kuda dari rotan yang dihias janur kelapa / Foto: Dok. Amri
Sampai di sini, menurut Suma, selain menciptakan seni pertunjukan, sebenarnya Mulawali Institute juga sedang melakukan pemetaan tentang ekosistem Sanghyang di Desa Adat Geriana Kauh. Dalam proses penciptaan Membaca Sanghyang, selain menggali informasi dari literatur, ia juga melakukan wawancara dengan tokoh dan masyarakat di Geriana. “Karena bagi saya, informasi dari arsip hidup itu juga penting,” jelas Suma.
Arsip. Ya, Membaca Sanghyang, selain memanfaatkan arsip sebagai sumber penciptaan, juga melakukan kerja pengarsipan. Video panjang yang menampilkan lima perempuan tua dengan pakaian adat Bali yang menyanyikan lagu-lagu Sanghyang, adalah bentuk nyata kerja pengarsipan. Suma seolah tak mau mengulangi kejadian yang menimpa Tari Sanghyang Jaran Putih. Selain itu, pencatatan nama-nama penari Sanghyang dari tahun ke tahun, adalah langkah yang patut diapresiasi.
Membaca Sanghyang semakin menguatkan betapa pentingnya kerja pengarsipan. Sebab memori manusia itu rapuh, mudah diubah, dan mudah dibentuk; maka manusia akhirnya menciptakan pengganti yang dapat menyimpan dan menyediakan media memori ke bentuk yang tidak berubah.
Memang, kerja-kerja pengarsipan di negara ini tampak tidak lebih penting dan populer dari membersihkan sampah di pantai dan di sungai. Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Politik Tanpa Dokumen (2018) menyebut “Indonesia bangsa perusak. Bangsa yang tak punya mental merawat. Apa pun akan dirusaknya jika itu tak memberi keuntungan pragmatis. Tak peduli, bahkan milik berharga Proklamator Indonesia. Dua warisan dari dua bapak pendiri bangsa itu, sepanjang reformasi, terkubur satu-satu.”
Banyak dari kita yang memandang arsip bukanlah barang yang menghasilkan keuntungan materi atau bukan barang yang memiliki timbal balik. Sehingga, arsip mendapat posisi antrean paling belakang. Arsip, sebagaimana telah tertulis di lama Era.id, dianggap benda mati semata. Tidak hidup dan menghidupi. Sesuai pendapat Muhidin, bahwa “Arsip bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.”
Di sebuah acara, Pramoedya Ananta Toer mengatakan tentang pentingnya mengarsip atau mendokumentasi. “Andai anak-anak remaja itu punya kebiasaan mengkliping pastilah mereka tak bisa dibohongi karena tahu masalah sampai akar-akarnya. Sayang sekali pendidikan Indonesia tak pernah mendidik muridnya tekun menggali fakta,” ujarnya.
Pertanian dan Patriarki
Sebagai sebuah pertunjukan yang dipentaskan di panggung prestisius seperti Pekan Kebudaayan Nasional, Membaca Sanghyang memuat isu yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan—meski sebenarnya sudah pasaran. Tetapi, meski sudah berserakan di mana-mana, bukan berarti isu tentang pertanian dan patriarki sudah selesai begitu saja. Selama persoalannya masih rumit untuk dipecahkan, dua isu tersebut akan tetap menarik untuk dibicarakan.
Seperti yang sudah disampaikan di awal, Sanghyang erat kaitannya dengan masyarakat agraris di Bali. Kemunculannya bahkan dikaitkan dengan hasil panen para petani. Tahun 90-an, bapak-bapak di Desa Adat Geriana Kauh kian resah karena padi tak kunjung berbuah. Sanghyang diingat-ingat. Bapak-bapak mulai memanggil Sanghyang turun ke Bumi.
Pada 2019, menurut catatan Kementerian Pertanian, Bali memiliki luas baku sawah (LBS) 70.996 ha. Sedangkan kebutuhan lahan untuk pangan masyarakat Bali pada tahun 2019 idealnya seluas 81.195 ha, angka ini diperhitungkan meningkat menjadi 87.639 ha pada 2025, naik lagi menjadi 93.541 ha pada 2030, dan menjadi 99.981 ha pada tahun 2035.
Kevin merepetisi gerakan Sanghyang / Foto: Dok. Amri
Dengan perhitungan seperti ini, neraca kebutuhan lahan pangan di Bali mulai tahun 2019 sudah mengalami defisit. Untuk mengatasi hal ini, sekaligus tak hanya menggantungkan perekonomian kepada sektor pariwisata, pemerintah Bali berkomitmen untuk meningkatkan luas baku sawah (LBS) untuk LP2B dengan mencetak sawah baru di Buleleng dan Karangasem seiring selesainya pembangunan bendungan di kedua kabupaten tersebut.
Seorang Analis Pengendalian Lahan Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian, Budi Saputro, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Penetapan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan (LP2B) dalam Perda RTRW/LP2B Kabupaten/Kota, Rabu, (25/8/2021), mengingatkan alasan utama perlunya melindungi lahan pangan adalah tidak semua lahan cocok untuk pangan.
Lahan yang cocok untuk pangan biasanya disiapkan sudah sejak lama. Karena itu, dalam penataan ruang, kebijakan daerah dan nasional, perlu memprioritaskan untuk melindungi lahan pangan. “Lahan-lahan yang saat ini sudah cocok dan berproduksi untuk pangan jangan dialihfungsikan,” kata Budi.
Saya masih ingat, menanggapi persoalan ini, pada dialog Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2021 yang diselenggarakan KNPI di Amisewaka di Desa Les, Tejakula, mantan Wakil Gubernur Bali, Prof. Dr. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), mendorong upaya penguatan sektor pertanian. Menurut Cok Ace, pada saat Covid-19 Bali mengalami kontraksi ekonomi paling hebat jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Kenapa? “Karena kita sangat tergantung pada sektor pariwisata,” katanya.
Memang benar, sektor pariwisata telah menyumbang 54% PDRB, sehingga di masa pandemi, Bali kehilangan devisa hingga 9,7 triliun rupiah setiap bulan. Maka dari itu, lanjut Cok Ace, “Bali harus segera menggenjot sektor alternatif selain periwisata” untuk menumbuhkan kembali perekonomian. Dan salah satu alternatif yang harus segera digarap menurutnya adalah sektor pertanian. Ke depan, ia berharap sektor pertanian bisa memberi kontribusi sama besarnya dengan pariwisata. Namun, rasanya itu seperti jauh panggang dari api.
Pada kenyataannya, sampai saat ini, berdasarkan laporan Bisnis.com, setiap tahun, 600 hektare hingga 1000 hektare lahan pertanian Bali beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran maupun bangunan lain yang menopang industri pariwisata dan industri lainnya. Dampak dari itu, tidak ada petani di Bali yang memiliki lahan yang luas. Akibatnya, seperti yang dikhawatirkan Jro I Nyoman Subrata, jika sawah dan petani punah, Sanghyang akan menghilang. Membaca Sanghyang, secara tidak langsung, hendak menyuarakan betapa krusialnya masalah pertanian.
Selain isu agraris, melalui Wulan, Membaca Sanghyang juga menyuarakan posisi perempuan dalam masyarakat Bali. Wulan, dalam monolognya, dengan jelas, tanpa tedeng aling-aling, mengungkapkan bahwa perempuan di Bali, dalam beberapa hal, masih dinomorduakan.
Tak ada lelaki yang lahir dari rahim ibu saya yang seorang perempuan. Ya. Adik saya pun, juga adalah perempuan. Kami adalah perempuan yang tak punya hak untuk memiliki lahan tanah warisan.
Padahal, dari puja-puji kepada Dewi Sri, Wulan “tahu perempuan dan laki-laki sesungguhnya berada pada posisi dan kedudukan yang setara di tengah sawah. Laki-laki membibit padi, perempuan juga membibit padi. Laki-laki menanam padi, perempuan juga demikian. Laki-laki memanen padi, pun juga perempuan. Demikian bapak mengajari saya bahwa laki-laki dan perempuan tak ada bedanya. Semuanya sama di mata padi. Semua sama-sama makan nasi.”
Dalam hal ini, I Gusti Made Arya Suta Wirawan dalam esainya Melampaui Domestikasi Perempuan (2017) memberikan uraian menarik. Tidak bisa dimungkiri, katanya, bahwa sejarah peradaban manusia didominasi oleh peradaban patriarki. Peradaban ini telah menggiring dan menjadikan perempuan tak ubahnya sebuah properti.
Sebagai sebuah properti kebudayaan, perempuan “dituntut” agar tumbuh berkembang sesuai kehendak laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki otoritas mutlak dalam menentukan spesifikasi terhadap pembentukan fisik dan moral perempuan. Hal tersebut seolah-olah mengisyaratkan perempuan sebagai sosok yang tidak mampu membentuk kebudayaannya sendiri.
Yang lebih mengerikan, lanjutnya, peradaban menganggap bahwa kesadaran perempuan tidak lebih dari kesadaran laki-laki itu sendiri. Sebuah kesadaran yang telah—meminjam istilah Arya Suta—“terkamuflase” baik secara kognitif maupun psikologis.
“Dengan kata lain, ketika perempuan dianggap mampu mendefinisikan dirinya, baik itu sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai seorang gadis anggun yang lihai dan sopa bertutur kata, berbusana tertutup, dan segala hal tentang dirinya, ternyata tidak lebih dari hasil konstruksi dan konsensus peradaban patriarki,” kata Arya dalam esainya.
Kaum feminis mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah laki-laki. Semua basis kehidupan dibentuk lewat fondasi maskulinisme. Sebagaimana Aristoteles menyebut perempuan sebagai “laki-laki yang tidak lengkap”. Publik adalah muara laki-laki.
Menurut Arya Suta, segala hal yang publik bisa mengintervensi yang domestik, tetapi tidak sebaliknya, dan prinsip ini menjadi dasar berpikir laki-laki dalam menempatkan perempuan sebagai gender nomor dua—atau yang oleh Simon de Beauvoir disebut dengan istilah The Second Sex.
Pada akhirnya, Membaca Sanghyang adalah usaha sungguh-sungguh untuk mengungkap, menyuarakan, menyadarkan, dan memperjuangkan banyak hal. Sebuah pertunjukan yang menarasikan tradisi dengan cara kontemporer ala Wayan Sumahardika. Dan mengutip Michael H.B. Raditya, “Hasil dari riset yang panjang tidak pernah ingkar.”[T]