PERSIS di atas dipan kayu, pemuda berambut gondrong itu terlihat duduk menjauh dari teman-temannya, sesekali ia mengembuskan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Tampak ia mencoba menerawang masa lalunya saat ia pertama kali menginjakkan kaki di Singaraja.
“Dulu, pertama kali sampai di Singaraja, aku sempat bingung dan tidak tahu harus ke mana—karena sama sekali tak mengenal satu pun orang dari Lamongan. Bahkan, aku sampai ditampung oleh teman-teman IMBIPU (Ikatan Mahasiswa Bima dan Dompu) waktu itu,” terangnya, kepada tatkala.co saat ditemui di sekretariat PMM Al-Hikmah, Rabu (18/10/23) malam.
Ia menjelaskan bahwa ketika pertama kali ke Singaraja, Bali, ia merasa gugup dan pemalu. Ia merasa tak cukup punya keberanian untuk sekadar bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya. “Selama di Lamongan, aku mondok hampir enam tahun, jadi pas di Singaraja, aku merasa bingung harus melakukan apa,” ujarnya.
“Bahkan dulu, waktu awal-awal masuk kuliah, saat seorang perempuan menepuk pundakku, seketika itu aku merasa merinding,” imbuhnya, sembari tertawa.
Dari pengalaman—yang menurutnya pengalaman paling tidak mengenakkan—itulah, ia berinisiatif mencoba mencari tahu tentang organisasi kedaerahan yang ada di Singaraja, khususnya dari Lamongan.
Sampai akhirnya, ia bertemu salah seorang teman yang sama-sama berasal dari Lamongan dan mengajaknya untuk bergabung menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Lamongan (selanjutnya di tulis IKAMALA Singaraja) agar apa yang dialaminya dahulu, tidak dialami juga oleh mahasiswa baru yang berkuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali.
Fauzi Hariri nama lengkapnya. Ia lahir di Lamongan, 23 Agustus 2003, dua puluh tahun yang lalu. Ia tercatat sebagai mahasiswa program studi Teknologi Rekayasa Penginderaan Jauh, semester lima, dan kini menjabat sebagai Ketua IKAMALA Singaraja setelah diangkat satu minggu yang lalu.
“Setelah menjadi anggota selama kurang lebih dua setengah tahun, sekarang aku menjabat sebagai ketua IKAMALA Singaraja tahun ini, baru ada semingguan. Jadinya masih banyak PR yang harus aku kerjakan agar program kerjaku nanti tepat sasaran,” terangnya.
Hariri—sebagaimana ia akrab dipanggil—menerangkan bahwa tujuan dari kiprah IKAMALA adalah untuk mempererat tali persaudaraan mahasiswa yang berasal dari Lamongan dan sekitarnya, agar menjadi satu keluarga yang mempunyai rasa saling memiliki satu sama lain di tanah rantau.
Ia berharap, melalui program kerja yang telah disiapkan, dapat menjadikan IKAMALA Singaraja bukan hanya sebatas rumah berkumpul, tetapi juga menjadi sebuah rumah tumbuh, yang bisa menumbuhkan apa saja. Dan tentu, satu hal yang terpenting, paguyuban tersebut dapat menjadi kampung halaman bagi mahasiswa Lamongan dan sekitarnya.
Sebagai seorang pemimpin, pemuda berambut panjang yang sekilas mirip Danar Widianto—pelantun lagu Dulu—itu berambisi menjadikan IKAMALA sebagai gerbong yang dapat menampung dan memberi dampak positif dan manfaat kepada siapapun, tak peduli dari Jawa, Bali, atau Islam, Hindu, Kristen, Budha, dll.
“Melalui program kerja yang sudah kami susun bersama teman-teman pengurus lainnya, nantinya IKAMALA Singaraja tidak hanya lagi peduli terhadap sesama anggotanya saja, tetapi juga diharapkan, melalui kegiatan-kegiatan sosial yang akan kami kerjakan nanti, bisa bermanfaat untuk Singaraja dan siapapun, deh,” ungkap Hariri.
Menurutnya, IKAMALA Singaraja kini tidak hanya sebatas mengayomi mahasiswa Lamongan saja. Melainkan juga mahasiswa-mahasiswa yang berada di sekitar Lamongan. “Di IKAMALA Singaraja ada sekitar 30-an lebih anggota. Anggotanya juga tidak semua dari Lamongan, ada juga dari Bojonegoro, Gresik, bahkan ada juga dari Sumatera,” akunya.
Sekadar informasi, IKAMALA merupakan organisasi eksternal kampus yang mewadahi dan menaungi mahasiswa dari Lamongan yang tinggal dalam suatu tempat, di mana pun, yang saling berinteraksi satu sama lain, saling mengenal, serta mempunyai minat dan tujuan yang sama.
IKAMALA merupakan anak cabang dari Fornasmala. Fornasmala sendiri merupakan akronim dari Forum Nasional Mahasiswa Lamongan yang berbasis di Lamongan. Tujuan dari Fornasmala adalah untuk menyatukan organisasi kedaerahan mahasiswa Lamongan yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Melalui akademisi mudanya, Fornasmala hadir dengan menyediakan ruang untuk para mahasiswa menyumbangkan gagasan serta ide demi kemajuan Lamongan, dan IKAMALA Singaraja salah satunya.
Menurut Hariri, melalui Fornasmala juga, Ikamala sering mendapatkan dana hibah. Di mana tujuan dana hibah tersebut agar dapat digunakan untuk mengembangkan organsisasi IKAMALA di setiap daerah masing-masing di seluruh Indonesia. Sehingga, kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar.
Sebagai sebuah organisasi, IKAMALA tentu memiliki AD/ART yang menjadi pedoman atau aturan-aturan yang berlaku bagi semua pengurus dan anggota dalam menjalankan kegiatannya. Sehingga, apa yang akan dijalankan tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku.
Berbagai Kegiatan
IKAMALA Singaraja bisa dikatakan sangat aktif, karena hampir setiap hari pengurus dan anggotanya selalu berkumpul di sekretariat mereka yang bertempat di Jln. Bisma Gang Mutiara Indah, Singaraja, Bali—untuk sekadar ngobrol atau berdiskusi.
“Hampir setiap hari kami di sekretariat. Kadang berdiskusi atau hanya sekadar nongkrong. Apalagi kalau setelah UTS, setiap sore kami bisa berkumpul, bermain bersama di Pantai, air terjun, dan di berbagai tempat lainnya,” ungkap Hariri.
Selain untuk menumbuhkan ilmu pengetahuan, melalui bidang Minat dan Bakat Pengembangan Seni dan Olahraga, IKAMALA Singaraja mencoba merangkul anggotanya untuk dapat mengembangkan skill-skill dan potensi yang mereka miliki. Sehingga, hal tersebut nantinya akan menjadi sebuah kebanggaan ketika membawa nama baik Lamongan di dalam sebuah perlombaan yang mereka ikuti.
“Sejak tahun 2017 sampai tahun kemarin, IKAMALA Singaraja selalu menjadi juara futsal di berbagai perlombaan, mulai dari turnaman yang diselenggarakan PMM AL-Hikmah dan IKAMSU,” tegasnya.
Dan sesaat setelah membetulkan peci hitam berlambang Nahdlatul Ulama (NU) di kepalanya, ia menambahkan, ”Sayang, di tahun ini rasanya kualitas dan kuantitas SDM kami menurun,” ratapnya penuh sesal.
Dan, melalui forum silaturahmi kemahasiswaan, IKAMALA Singaraja juga kerap melaksanakan pengajian bersama—khususnya merayakan hari-hari besar seperti Maulid Nabi, dll—di sekretariat meraka, agar hubungan yang terjalin setiap anggota menjadi lebih hangat dan harmonis.
“Kami sering ngadain yasinan setiap malam Jum’at di sekretariat, dan ketika yasinan kami patungan sepuluh ribuan per-anggota. Uangnya nanti dipakai untuk konsumsi dan sisanya dipakai untuk uang kas,” terangnya.
Berbagai kegiatan IKAMALA Singaraja juga kerap dilakukan di luar ruangan seperti camping sesama anggota, trecking ke air terjun, dan kegiatan kemanusiaan lainnya seperti penggalangan dana. Tak hanya itu, melalui program Lentera Asa Pendidikan dan Kemanusiaan, IKAMALA juga tak jarang ikut serta mengajar di panti asuhan.
Semacam Kampung Halaman
Jauh sebelum terbentuknya Ikamala, dalam perjalanan pergerakan nasional bangsa Indonesia, terkhusus sebelum Indonesia merdeka, organisasi kedaerahan muncul sebagai bentuk perhatian khusus anak bangsa terhadap penyatuan etnis mereka untuk melawan penjajahan pada masa itu. Melalui organisasi tersebut, perlawanan kerap dilakukan dalam bentuk bermacam-macam seperti pendidikan, kesenian, dan lain-lain.
Beberapa organisasi kedaerahan yang lahir pada masa itu, antara lain, Jong Java, Jong Soematra Bond, Jong Ambon, Jong Betawi, dan Jong Batak Bond. Tentu karena memiliki kesamaan etnis yang tergabung dalam satu wadah, maka tak mengherankan bahwa rasa kekeluargaan kerap muncul dan menjadi semakin akrab pada saat itu.
Jika di luar Indonesia ada organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang menjadi wadah untuk menaungi pelajar dari Indonesia yang sedang belajar di luar negara Indonesia, maka di Singaraja ada IKAMALA Singaraja, yang menjadi wadah untuk mahasiswa Lamongan yang sedang belajar di Singaraja.
Meskipun antara PPI dan IKAMALA berbeda dalam skala dan prioritasnya, namun keduanya sama-sama memiliki ikatan emosional yang terjalin sesama anggotanya. Ya, memang sepantasnya sebuah wadah haruslah mampu menampung semua jenis perasaan, agar membentuk rasa kekeluargaan di dalamnya—dan itu kerap kali hadir di kampung-kampung tempat mereka berasal.
Rasa kekeluargaan IKAMALA Singaraja terjalin dengan harmonis. Hariri mengungkapkan bahwa mereka kerap berkumpul untuk makan bersama dengan cara patungan. “Kalau ada teman yang sedang kesusahan untuk makan, biasanya kami akan patungan. Uang yang terkumpul kami belikan bahan-bahan makanan agar bisa dimasak bersama dan dapat dimakan bersama,” jelasnya.
Menurutunya, karena jarak Lamongan ke Singaraja itu jauh—bahkan ia memberikan perkiraan perjalanan memakan waktu satu hari satu malam—menjadikan IKAMALA Singaraja mempunyai tali persaudaraan yang sangat kuat. “Lamongan ke Singaraja kan jauh, jadi kalau ada mahasiswa baru dari Lamongan, otomatis akan kami rangkul biar tidak merasa kesepian. Soalnya kan sudah jauh dari orang tua,” katanya.
Hariri bercerita, “Pernah kami semua kumpul di rumah sakit karena salah satu anggota dari kami sedang dirawat di sana—kami menjaganya sampai sembuh. Kadang kami bergantian jaganya, dan kadang juga barengan, sampai sekretariat sepi tidak ada penghuninya,” pungkasnya.
Selain mempererat hubungan sesama anggota, IKAMALA Singaraja juga menjalin tali silaturahmi dengan Paguyuban Pecel Lele yang ada di Singaraja. Karena IKAMALA dan Paguyuban Pecel Lele sama-sama berasal dari daerah yang sama, yakni Lamongan. Sebab, hanya dengan menjalin silaturahmi-lah, mereka dapat menemukan kampung halaman di tanah perantauan.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya YUDI SETIAWAN
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto