SAYA dan pacar saya tiba di Singaraja pada tanggal 29 September 2023, tepat di puncak hari. Minggu-minggu itu—bahkan sampai kalimat ini ditulis—memang sedang
panas-panasnya. Sembari meneguk air mineral yang sudah tidak dingin, saya dan kesayangan saya masuk ke Gedong Kirtya. Hari pertama Singaraja Literary Festival 2023 sedang bergulir. Kami kemudian berkeliling, menyaksikan forum-forum kecil membincangkan sastra dan kepenulisan. Kami memutuskan masuk mengelilingi museum dan mengomentari dokumentasi serta artefak.
Menurut rundown festival, kami baru saja melewati Lomba Baca Puisi Tingkat SD se-Bali. “Yah, sayang sekali…” ujar kekasih saya, “tidak bisa lihat anak-anak berpuisi.”
“Nanti malam ada upacara pembuka resminya, mau ke situ nggak nanti?” tawar saya. “Tentu!”
Kemudian kami ke hotel, mengistirahatkan diri sembari bersih-bersih. Rupanya, perjalanan hampir tiga jam menggunakan sepeda motor matic membuat kami terlelap sesudahnya.
Sementara kami terbenam dalam bantal, acara terus bergulir. Ada setidaknya lima lokakarya yang digelar sejak siang hingga sore hari. Tiga dari lima lokakarya tersebut melibatkan tulis menulis, dua lainnya merupakan permainan anak dan alih wahana tulisan ke seni pertunjukan. Guru, anak-anak, dan publik kena bagi ruang untuk belajar menulis.
Sugi Lanus memberikan kuliah umum dalam Singaraja Literary Festival | Foto: Dok Singaraja Literary Festival/Omen
Selain lokakarya, bedah buku, diskusi, dan kuliah umum digelar pula. Buku yang dibedah pada hari itu adalah buku dari seorang penulis dengan penjualan terbaik, Henry Manampiring. Bedah buku kemudian dilanjut dengan diskusi soal teks tubuh-lalu dan kini, yang membicarakan badan sebagai teks spasial dan temporal, digawangi oleh Carma Citrawati dan Suka Ardiyasa. Kuliah umum sendiri disampaikan oleh Sugi Lanus, ahli naskah lontar Bali dan Kawi.
Kami tiba ketika langit sudah mulai gelap di Gedong Kirtya, memirsakan upacara pembukaan secara resmi. Sembari mendengar sambutan-sambutan, dari Direktur Singaraja Literary Festival, Kadek Sonia Piscayanti hingga Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, S.Sos.,M.Si, kami menikmati sajian seni di sela-selanya.
Saya terngiang pernyataan yang terlontar malam itu, “Mengingat Singaraja menjadi tempat lahirnya banyak institusi dan infrastruktur literasi pertama bagi Indonesia, tepat belaka adanya gelaran Singaraja Literary Festival ini. Untuk menggaungkan kembali, literasi dan sastra geliatnya hidup di kota ini.” Bagi saya, fakta tersebut meneguhkan bahwa kata kembali merumah di Singaraja.
Sajian seni yang ditampilkan malam itu beragam macam. Ada sajian musik tradisional dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja, hingga sandiwara oleh murid-murid SDN 3 Banjar Jawa, membawakan lakon Ayam Hitam. Penampilan yang terakhir disebut, adalah apa yang paling berkesan bagi kami. “Sayang, apakah pentas barusan cukup menuntaskan dahaga karena hajat melihat anak-anak berpuisi?” tanya saya ke adinda pacar.
“Lucu-lucu, ya, mereka!”
***
30 September 2023, pagi-pagi saya dan kekasih saya memutuskan untuk mandi di Air Terjun Sekumpul. Dua puluh kilometer dari tempat kami mandi, hari kedua Singaraja Literary Festival 2023 digelar. Lokakarya dan bedah buku tergelar sering dan berlanjut. Lomba puisi hari ini dipesertakan oleh remaja-remaja tanggung usia SMP.
Saya kemudian datang ke Gedong Kirtya sore harinya. Sendirian, kekasih sedang tidak kenan ke festival. Baiklah. Saya lompat dari diskusi ke diskusi yang tergelar di tiga sudut. Saya melihat kawan saya, Juli Sastrawan, memoderatori perbincangan dengan Gde Aryantha Soethama dan Made Sujaya tentang hikayat-hikayat dari Singaraja.
Jika berkenan, kamu bisa membaca apa-apa yang mereka diskusikan dalam antologi Singa Raja Berkisah (Mahima, 2023). Kemudian saya melompat ke diskusi soal alih wahana teks lama ke medium modern bernama film, yang dipantik oleh Made Suarbawa dan Maria Eka Risti. Aku mendengar Birus, panggilan Made Suarbawa, berbicara soal ambisinya untuk mengolah kembali cerita-cerita lama dan persisiannya dengan konteks kiwari.
Sonia Piscayanti (tengah) dan Henry Manampiring (kanan) dalam bedah buku Filosofi Teras di Singaraja Literary Festival | Foto: Dok. Singaraja Literary Festival/Omen
Selain kedua diskusi tadi, saya juga sempat menguping sebentar diskusi soal rempah dan kecantikan serta ihwal arsip dan pengembangan kesenian. Hari kedua saya juga bertemu rekan-rekan dari Balebengong yang habis pulang melali. Wajah-wajah familiar lainnya dan wajah baru juga terhampir, bercengkerama semenjana. Hari bergerak malam, saya mengecek gawai dan mendapati pacar menitip beli vitamin rambut berwarna hitam-merah muda. “Pokoknya harus black-pink!” tegasnya dalam pesan. Baiklah, saya mengeluarkan motor saya dari parkiran.
***
Saya dan pacar saya tiba di Gedong Kirtya pada tanggal 1 Oktober 2023, tepat di puncak hari. Minggu-minggu itu—bahkan sampai kalimat ini ditulis—memang sedang
panas-panasnya. Festival tentu saja akan terbantu jika ada yang berkenan menyumbangkan tenda atau—paling tidak, kipas dengan fitur embun. Sembari meneguk air mineral yang masih dingin, saya dan kesayangan saya masuk ke wahana festival. Hari terakhir Singaraja Literary Festival 2023 tengah bergulir.
Hari itu, gelaran lomba baca puisi diwarnai oleh jegeg dan bagus berusia SMA. Lokakarya tidak banyak digelar, namun diskusi sungguh padat dilaksanakan. Pementasan puncak juga digelar: mulai dari pembacaan dramatis satua-satua I Nengah Tinggen, hingga hasil-hasil lokakarya. Pengumuman juara juga diumumkan pada sore harinya, disambung dengan pementasan wayang kulit oleh Dalang Sembroli. Sayang, hari itu saya tidak bisa menghadiri semuanya.
Saya datang ke Gedong Kirtya untuk berpamitan kepada teman-teman yang hadir, sembari berharap semoga tahun depan ada gelaran Singaraja Literary Festival lagi. [T]