MENCAPAI jiwa-jiwa Sattwika yang sesungguhnya, dalam kehidupan dunia, memerlukan perjuangan panjang, pengetahuan dan keyakinan yang benar serta kuat tentang sifat-sifat suci (Atman) yang berstana meresap dalam diri sendiri, bagi setiap insan.
Sifat suci yang menjiwai, menuntun seluruh organ dan agen penggerak indriya, pikiran, rasa napsu dan ego terkendali, menyadari hukum sebab dan akibat dalam pergulatan dualitas, lalu menempatkan “kewajiban sebagai kewajiban”.
Artinya pada tingkatan itu, tidak ada lagi ikatan terhadap hasil, tetapi memusatkan perhatian pada kualitas kerja sebagai persembahan (dhaksina=persembahan yang dijiwai kasih sayang).
Edukasi spiritual nan suci ini, memang sulit bagi kebanyakan orang di jaman Kaliyuga ini, yang digelapkan oleh kabut materialistik, membangun kebanggan semu. Sulit bukan berarti tidak bisa.
Dibalik itu semua Sinar suci Ilahi, mengetuk jiwa-jiwa yang terdidur lalap dalam kesunyian spirit yang tak disadari. Lalu keluar sebagai ragam masalah dunia, terutama persoalan materialistik yang mengoncangkan keseimbangan psikologis menjadi hidup tak berdaya.
Realitas inilah racun, bagaikan narasi cerita, Pengadukan lautan susu untuk mengembalikan keseimbangan dunia. Para Dewa dan Raksasa bekerja sama memutar gunung yang diikat oleh Naga Besuki, lalu yang keluar pertama adalah racun.
Dewa Shiva meminum racun itu demi keselamatan dunia. Itu artinya setiap pekerjaan apapun itu diawal memerlukan konsentrasi merasakan sulitnya masalah (racun), mesti ditempatkan tersendiri dengan kendali suci dan keyakinan yang kuat menembus rintangan yang ada.
Lalu bukan berebut hasil hanya untuk kesejahteraan dan nikmat sendiri saja, tetapi kesejahteraan bersama. Kelemahan sepanjang sejarah pun terjadi, semangat dan bersatu saat berjuang, tetapi berperang mati-matian saat berebut hasil yang ingin saling menguasai
Ketenggelam jiwa yang amat jauh dari kesadaran hidup bersama dan bersama-sama membangun negeri seperti realitas mendung langit Nusantara kini. Memerlukan kerja ekstra, pencerahan jiwa pengabdian (dharma) kepada Para Dharma demi tegaknya dharma di bumi.
Priotitas pendidikan karakter yang terabaikan, lalu pemutar balikan pemahaman dan pemaknaan ajaran suci, melahirkan jiwa-jiwa asura merongrong kebajikan dan pembangunan bangsa dan stabilitas sosial.
Memaknai carut marutnya situasi berkedok cerdas dan bijaksana namun, tetap busuk dalam wujud lain (jiwa-jiwa) Rajasika dan Tamasika merajalela didongkrak oleh kekuatan politik asura. Itu artinya bahwa gelombang jaman Kaliyuga sedang berada dipuncak.
Sesuai narasi putaran alam semesta, segelap apapun di malam hari pasti ada secercah sinar bintang yang menerangi. Itu artinya sinar suci Ilahi tidak pernah padam.
Memuja dan memuliakan-Nya dibalik kegelapan seperti ini memang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Cercaan, hinaan, bahkan memarginalkan adalah realitas yang terjadi (racun), sesungguhnya adalah penguatan keyakinan yang benar-benar tulus dalam penyerahan diri (pembebasan).
Membangkitkan, memelihara dan menguatkan keyakinan inilah tugas dan kewajiban tersembunyi, hanya dirasakan bergelora di dalam diri. Dari gelora ini orang-orang disadarkan dan tervibrasi Kasih Suci-Nya perlahan menjadi jiwa-jiwa Sattwika, siap mengabdi dharma sejati.
Menumbuh jiwa-jiwa Sattwika adalah kesadaran. Kesadaran adalah sifat suci Atman, yang telah diberkati energi suci penyadaran oleh Paramaattman, menjadi Dura Dharsana, Dura Srawana dan Duratmaka.
Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi [T]