Ni Pollok. Buku ini saya baca untuk pertama kalinya baru-baru ini. Sebelum itu saya hanya mendengar potongan-potongan kisah mengenai Ni Pollok.
Cerita Ni Pollok menurut saya penuh dengan konflik. Soal kehidupan berumah tangga serta cinta seorang seniman.
Ni Pollok adalah seniman tari. Ia dipersunting seniman Belgia, pelukis Le Mayeur. Pertemuan keduanya bisa dikatakan sangat normal dan tidak terjadi lika-liku yang berat.
Justru cobaan berat datang ketika mereka telah hidup bersama.
Cerita ini menarik. Saya yang membaca dari halaman pertama menduga-duga cerita ini adalah hasil wawancara. Dan kecurigaan saya benar, buku yang ditulis oleh Yati Maryati Wiharja itu adalah data nyata kemudian disajikan dalam bentuk cerita dengan gaya jurnalisme sastra.
Setelah membaca buku itu saya merenungkan banyak hal, terutama tentang perempuan, cinta, kesetiaan, dan kemalangan serta kebahagiaan.
Ni Pollok, perempuan yang katanya memiliki tubuh aduhai itu saya renungkan sebagai perempuan yang tidak lebih dari sekadar objek.
Tubuhnya yang nyaris sempurna sebagai perempuan dan penari adalah modalnya untuk bekerja. Dia hanya objek lukisan suaminya.
Sebagai perempuan saya, entah kenapa, merasa gelisah dan memikirkan perlakuan Le Mayeur terhadap Pollok.
Dari sisi mana cinta itu jika hanya menempatkan perempuan sebagai objek?
Bicara soal cinta. Katanya Le Mayeur sangat mencintai istrinya itu, Pollok. Sangat diratukan hingga tidak melakukan apapun demi menjaga Pollok tetap sehat, tetap cantik dan terawat.
Tapi ya itu tadi, semua itu hanya demi kepentingan pekerjaannya sebagai pelukis. Mungkin semua perempuan akan menginginkan perlakuan Le Mayeur sebagai laki-laki yang menghormati istri. Saya pun setuju. Tapi bila perempuan diratukan dan dipandang sebagai objek, itu namanya egois.
Untuk apa diperistri? Lebih baik dipajang dalam rak kaca lalu dipandang karena keindahannya, rasanya lebih adil. Itu pendapat saya. Entah bagaimana dengan perempuan lain, mungkin juga tidak sependapat dengan saya.
Hanya saja jika membaca buku itu, kalian juga akan berpikir dua kali bila menemukan sosok laki-laki dengan karakter yang sama. Tapi semua tergantung selera.
Menikah dengan Le Mayeur, Ni Pollok diceritakan hidup makmur dan tidak kekurangan. Tapi, dibalik kemakmuran itu, sebenarnya sosok Pollok saya bayangkan punya nasib malang. Saya bisa merasakan kesedihannya dan kesepian tokoh Pollok.
Saya salut atas pengorbanannya mencintai laki-laki yang ia cintai. Meski terkadang ada rasa yang bergejolak ingin menolak dan memberontak, Pollok lebih memilih diam untuk menghormati suaminya itu.
Jika saya ada pada posisi Pollok, mungkin saya sudah kabur duluan. Sosok Pollok benar-benar perempuan hebat.
Cara Pollok menguasai diri dari cerita itu digambarkan dengan halus dan menyentuh. Bagi yang sudah membaca mungkin merasakan hal yang sama atau juga berbeda.
Emosi saya turut bermain seakan saya adalah Pollok. Meski harus bekerja keras dan menuruti keinginan suaminya, cinta Pollok sangat besar. Begitu juga cinta suaminya. Banyak kemalangan yang dialami Pollok banyak juga kebahagiaan-kebahagiaan yang diterimanya.
Saya pun sesekali tersenyum sendiri saat membacanya. Rasanya seperti dipermainkan oleh penulis. Keresahan terhadap tokoh Le Mayeur seolah lenyap setelah membaca kalimat-kalimat manis yang ditujukan kepada Pollok.
Sesaat kemudian rasa resah dan gelisah itu muncul lagi. Kalimat yang dilontarkan untuk Pollok itu seakan saya ingin sekali mengajak Tuan Le Mayeur itu untuk berdebat.
Selain menempatkan Pollok sebagai objek, apakah Pollok adalah pelariannya?
Ahh, Pollok! Sosok yang setia, sosok yang malang, sosok yang bahagia. [T]