YANG TERASA amat menggugah saya sejak semula adalah narasi seorang wartawan magang bernama Made Segara dari Kusamba yang rela menyeberangi lautan dengan menggunakan jukung bersama bapaknya—yang seorang nelayan—untuk meliput berita ke Nusa Penida demi dedikasi—sikap yang nyaris lenyap dalam diri kuli tinta hari ini.
Namun, kemudian, badai, monolog melodramatik, pergolakan pemikiran, dialog-dialog filosofis yang campur aduk dengan bahasa kekinian—juga puisi-puisi yang dibacakan—dan ending yang mengejutkan membuat saya perlahan-lahan terdesak oleh tenaga campur aduk antara bersedih, mengumpat, sekaligus tertawa.
Demikianlah pentas teater Nguber Berita ka Nusa menamatkan kisahnya. Pentas teater tentang kisah seorang wartawan magang yang melaksanakan tugas peliputan ke Nusa Penida ini dipentaskan Kelompok Wartawan Budaya Bali yang berkolaborasi dengan Sanggar Seni Kalingga dalam agenda Selebrasi Bahari Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2023 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali (Art Center), Bali, Jumat, 28 Juli 2023. Putu Supartika, wartawan muda cum sastrawan, bersama Agus Wiratama, pegiat teater, menyutradarai pentas ini berdasarkan naskah gubahan I Made Adnyana Ole dan I Made Sujaya.
Saya kira, soal penting pertama pada pentas ini adalah naskah yang ditulis dengan menggunakan pendekatan penulisan cerpen (sastra). Alur cerita dilukiskan mengalir dengan ending yang mengejutkan. Dan soal penting kedua adalah hadirnya realita dunia jurnalisme kita hari ini yang memang sedang dihadapkan dengan berbagai masalah yang kompleks.
Gabungan Sastra dan Realita
Jika kita ikuti pentas teater ini dari awal, kita akan bertemu dengan wajah suram dunia jurnalisme kita hari ini. Hal ini tak mengherankan sebenarnya, sebab penulis naskan memang seorang wartawan yang sudah lama berkecimbung dan malang-melintang dalam dunia kuli tinta.
Sejak awal, kisah tentang jurnalisme sudah terasa saat para aktor—Dede Satria Aditya, Amrita Dharma Darsanam, I Putu Made Manipuspaka, dan Ingga—memasuki panggung dengan gumam—dengan bahasa sastra penuh metafor—yang dirapalkan seperti mantra.
Pak, kabar bukanlah dusta di tengah bingkai kaca. Seperti kutukan yang kita syukuri. Hari ini bukanlah hari baik. Tak ada kabar baik hari ini, Pak. Aku akan berangkat ke tempat paling asing.
Dede Satria Aditya (bapak) dan I Putu Made Manipuspaka (Made Segara) saat beradu peran dalam Nguber Berita ka Nusa / Foto: Dok. Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali
Selanjutnya adalah dialog antara Made dengan bapaknya. Dan bagian ini adalah bagian terpenting sebab berfungsi sebagai semacam pengantar untuk memasuki pintu gerbang kisah Nguber Berita ka Nusa. Terlambat sedikit, kita akan kebingungan mengikuti fragmen selanjutnya. Berikut dialognya:
BAPAK: Jadi kamu akan Nusa?
MADE: Iya, Pak. Redaktur menugaskan saya untuk menulis tentang apa yang ada di Nusa Penida.
BAPAK: Kamu tahu Nusa itu di mana?
MADE: Tahu. Di situ—di seberang lautan, kan?
BAPAK: Iya, kita akan menyeberang laut. Jauh itu.
MADE: Iya, Pak.
BAPAK: Apa yang ingin kamu buktikan? Setatusmu masih wartawan magang, belum dapat gaji. Sebaiknya cukup mencari berita di sekitar rumah saja, tak perlu sampai menyeberang laut.
MADE: Justru karena saya masih magang, saya harus menunjukkan bahwa saya bekerja seperti wartawan profesional. Lautan adalah ujian bagi siapapun yang mau bergerak dan mau bekerja, Pak.
BAPAK: Baiklah, kalau begitu bapak ikut kamu ke Nusa.
MADE: Tak usah! Bapak tak usah mengantar saya. Biar saya sendiri!
BAPAK: Bapak bukan mengantar. Bapak ingin melihatmu bekerja.
Made Adnyana Ole dan Made Sujaya saya kira tak sekadar asal menulis dialog tersebut. Sebab, saat saya mendengar dialog itu, saya teringat bapak di rumah. Ya, setiap kali mengetahui saya akan kembali pergi jauh, doa bapak selalu lebih panjang dari biasanya. Saya tahu, sebagian hatinya ingin saya tak pergi. Setiap saya hendak kembali ke Singaraja, ia akan menatap saya seakan saya hartanya yang paling berharga—seakan Singaraja akan merampas saya darinya. Dialog di atas membuat dada saya bergemuruh dan mata yang tiba-tiba panas. Dan begitulah bapak di seluruh dunia, saya kira.
Amrita Dharma Darsanam dan Ingga saat berperan sebagai teman Made Segara dalam Nguber Berita ka Nusa / Foto: Dok. Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali
Dan tengoklah dialog yang menggelikan sekaligus memprihatinkan saat dua teman si tokoh utama—Made, wartawan magang—ikut dalam percakapan. Dua temannya itu mengajukan diri untuk ikut berangkat ke Nusa Penida.
PEREMPUAN: Kita bisa mencari berita bersama-sama, kan?
MADE: Tumben? Biasanya kalian minta.
WAYAN: Ya minta sedikit. Itung-itung melali—jalan-jalan.
Dialog di atas disambung dengan suara-suara demotivasi yang membujuk Made untuk mengurungkan niatnya berangkat ke Nusa Penida.
Tak usah berangkat Made! Minta saja berita dengan temanmu. Ya berangkatlah! Masa berita minta-minta? Nggak usah pergi Made! Wartawan kan Cuma bisa menulis berita yang buruk-buruk aja. Nulis berita itu yang baik-baik Bos! Masa yang buruk-buruk saja ditulis? Merusak citra pariwisata saja. Gini nih kalau nggak pernah baca berita.
Bagian ini saya anggap sebagai kritik atas dunia realita jurnalisme kita hari ini. Memang begitu adanya, dalam menulis berita, banyak wartawan hanya bermodalkan minta-minta, tak mau terjun ke lapangan sendiri—yang lebih miris kadang hanya diganti judulnya saja, isinya sama. Seorang teman saya yang baru saja menjadi wartawan TV di Jawa Timur kaget saat orang-orang yang sudah lama menjadi wartawan meminta berita kepadanya, tak hanya sekali, tapi hampir setiap hari.
Bukan hanya soal meminta berita, hari ini juga marak jurnalisme salon yang yang kerap memberi ruang pada orang-orang besar untuk membela diri dari berbagai masalah yang menimpa mereka. Orang-orang besar itu juga kerap—kadang dengan sesuka hati dan semena-mena—mengendalikan dan mengontrol media untuk menulis yang baik-baik saja. Lo punya uang, lo punya kuasa. Atau betapa tradisi amplop kepada wartawan seolah sudah menjadi hal yang biasa, mendarah daging di mana-mana. Yang terakhir ini memang sulit untuk dihilangkan.
Dan persis apa kata Dea Anugrah, ada banyak wartawan sekarang yang tak sanggup menatap masa depan. Sehari harus menulis belasan berita, gaji jauh di bawah rata-rata, tekanan tinggi, dan bahkan liputan ke luar kota tanpa diberi uang bensin. Ini masalah. Wartawan harus gigit kuat kode etik dan prinsip, sementara di sisi lain ada kebutuhan dasar yang tak terpenuhi dengan layak. Maka jadi wajar kalau sampai ada yang memaklumi “ucapan terima kasih”—menerima amplop dari narasumber atau dari siapapun—sebagai upaya bertahan hidup.
Sampai di sini, tampaknya, sebagai wartawan senior, Made Adnyana Ole dan Made Sujaya sedang menyuarakan keprihatin sekaligus kritiknya terhadap dunia jurnalisme kita melalui dialog-dialog dalam drama teater Nguber Berita ka Nusa. Dua wartawan yang juga bergelut di dunia sastra dan budaya itu berhasil menghadirkan realitas jurnalisme di atas panggung Ayodya.
Tetapi memang begitulah seharusnya. Dalam bukunya Sembilan Lima Empat (2021) Zen Hae menulis, panggung diterima oleh penonton sebagai miniatur dunia nyata. Tidak dalam kesemestaannya, tetapi hanya bagian-bagiannya saja, dalam fragmen-fragmen. Jika dalam sastra representasi melulu bertumpu pada bahasa, sementara pada seni lainnya, seperti seni rupa atau film, citra visual dan aural justru hadir setelah dipahami dan diuraikan oleh mata dan telinga, maka teater menggabungkan semuanya. Ia adalah peristiwa. Dan Nguber Berita ka Nusa adalah gabungan antara sastra dan realita dalam panggung pertunjukan.
Ya, di sela pertunjukan, ditampilkan pembacaan puisi dari beberapa karya penyair seperti puisi berjudul Kusamba karya Wayan Suartha; geguritan Pianak Bendega oleh Arta Negara; Sang Bendega oleh Erkaja Pamungsu; Malam Laut oleh Toto Sudarto Bachtiar; Ombak Penida oleh Raka Kusuma; dan Pasisi oleh I Ketut Rida, yang dibacakan secara bergantian oleh Putu Supartika dan IK Eriadi Ariana.
Adegan saat para aktor menyusun properti menjadi Jukung Kusumba / Foto: Dok. Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali
Dan jangan lupa, pertunjukan ini juga tak terlepas dari kerja keras para aktor. Keempat aktor tampak begitu menghayati perannya. Suka duka pekerjaan jurnalis magang itu disampaikan dalam kisah ini. Dedikasi, keberanian, hingga profesionalitas dalam bekerja meliput peristiwa hadis dengan jelas dalam narasi-narasi indahnya—meski Dede Satria Aditya yang berperan sebagai bapak sepertinya agak terbebani dengan monolog melodrama panjang tentang jukung Kusamba yang sudah mulai ditinggalkan.
Sedangkan Putu Supartika dan Agus Wiratama, sebagai sutradara, tak hanya tepat dalam memilih aktor, tapi juga berhasil dalam membuat gerakan-gerakan eksploratif yang membangun suasana panggung menjadi hidup. Seni pementasan teater memang menampilkan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting. Jarak yang jauh antara panggung dan penonton, membuat aktor teater harus memiliki gerak badan yang enerjik dan lugas, selain suara yang jelas dan lantang. Dan gerakan-gerakan dalam Nguber Berita ka Nusa cukup membantu kita untuk memahami situasi yang sedang terjadi dalam cerita.
Dialog Kekinian yang Mendekatkan dan Komedi yang Menyegarkan
Narasi-narasi dalam teater Nguber Berita ka Nusa sarat akan muatan sastra. Banyak kata-kata filosofis yang dalam maknanya—dan beberapa memerlukan jeda sekian detik untuk memahaminya. Untungnya, tak semua narasi menggunakan bahasa tingkat tinggi. Ada beberapa dialog kekinian seperti “si paling berita”, “nanti trending”, “ nanti viral, loh”, dan “si paling bijak”. Bahasa-bahasa semacam itu membuat pertunjukan terasa lebih dekat dengan keadaan sosial dewasa ini.
Dan ini tak kalah penting. Yang membuat adegan demi adegan dalam pertunjukan Nguber Berita ka Nusa tidak membosankan—pertunjukan ini berdurasi hampir 35 menit—meski sarat dengan bahasa metafor dan kritik adalah: adegan di bungkus rapi dengan komedi yang menyegarkan. Pada bagian ini, menurut saya, Amrita Dharma Darsanam yang berperan sebagai Wayan menjadi penting sebab gerak karikatural dan kelakar-kelakarnya memang membuat penonton tertawa terbahak-bahak, apalagi saat di penghujung cerita.
I Putu Made Manipuspaka yang berperan sebagai Made Segara dalam Nguber Berita ka Nusa / Foto: Dok. Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali
Dengan durasi yang lumayan panjang, memasukkan unsur komedi menjadi pilihan bijak dan cerdas. Perhatikan dialog setelah jukung mereka dihantam badai di tengah laut dan kemudian, tanpa sadar, mereka sudah mendarat di Nusa Penida, berikut ini:
WAYAN: Wahhh… indah sekali. Kita sudah di surga, ya? Akhirnya kita mati. Yeee, kita mati. Kita mati.
BAPAK: Aku nggak mau satu surga denganmu.
PEREMPUAN: Tapi aku belum menikah. Aku tak ingin mati. Aku mau menikah.
MADE: Woi, kita belum mati. Kita sudah sampai.
WAYAN: Kita belum mati, ya?
PEREMPUAN: Wah, akhirnya aku bisa menikah. Yeee, aku bisa menikah.
Dialog-dialog di atas membuat tawa penonton meledak dan kembali menyegarkan suasana. Tak berhenti di situ, ending cerita yang mengejutkan membuat penonton tertawa tak henti-henti sambil kagum karena tak dapat menebak endingnya.
Para aktor, sutradara, dan tim yang terlibat foto bersama sebelum pementasan / Foto: Dok. Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali
Ending cerita membuat saya mengumpat sambil tak bisa menahan tawa. Bagaimana tidak, setelah mengalami pergolakan filosofis saat diterjang badai di tengah laut dan mampu melaluinya; saat mereka berhasil mendarat di Nusa Penida dengan selamat, alih-alih disamput warga, mereka justru diusir Pecalang.
Usut punya usut, pada hari itu, dikisahkan, ternyata krama adat di Nusa Penida sedang melaksanakan Nyepi Segara atau Nyepi Laut, yang melarang siapapun untuk beraktivitas di laut, termasuk nelayan dan wisatawan—atau siapapun. Tak ayal, penolakan Pecalang terhadap rombongan Made yang datang setelah melewati badai di tengah laut ini menjadi klimaks cerita dan disambut riuh tepuk tangan penonton. Ya, ini ending khas cerpen yang mengejutkan.[T]