AKU HANYA INGIN tersenyum dan bersyukur menjalani hidup, sebab perihal menangis, air mataku sudah hampir habis. Aku sudah terlalu banyak meneteskan air mata untuk setiap cobaan yang memporak-porandakan hidupku.
Aku seorang mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi yang baru saja menginjak semester 4 di salah satu kampus negeri di Bali Utara.
Usiaku masih muda, masih sama seperti anak-anak muda lain yang ingin nongkrong di coffee shop, yang ingin nyunset disore hari, yang ingin merasakan dinginnya udara pagi saat glamping, dan masih banyak lagi.
Aku bisa saja melakukan itu semua karena aku bekerja dan punya penghasilan sendiri.
Lalu, mengapa aku lebih memilih untuk tidak melakukan itu? Bukan aku tidak mau, tapi tidak bisa.
Pundi-pundi rupiah yang kuraup dari hasil jerih payahku sendiri harus aku gunakan untuk keperluan yang lebih penting, seperti biaya kuliah, membantu orang tua, dan membayar hutang.
Miris ya? Masih muda tapi beban dan tanggungannya seperti orang sudah berumah tangga.
Hutang apa? Kenapa masih muda sudah punya hutang? Orang yang hidupnya bergelimang harta tidak akan paham rasanya. Haha, bukan hutang foya-foya untuk terlihat hedon ya. Ada cicilan motor yang harus dilunasi, ada biaya kuliah sehari-hari yang harus kucukupi.
Ayahku sudah kembali ke pangkuan sang pemilik kehidupan. Jauh dan tidak akan bisa kulihat lagi. Melihat saja sudah tidak bisa, apalagi bersenda gurau,berbagi keluh kesah seperti anak lainnya.
Terlahir sebagai anak perempuan pertama dari tiga bersaudara membuatku harus berjuang keras menghadapi kerasnya hidup, terlebih aku anak yatim sekarang.
Aku harus bisa memastikan bahwa ibu dan adik-adikku selalu dalam keadaaan tercukupi. Meski aku tak bisa membantu banyak secara materi, namun nama mereka selalu kusebut dalam setiap lantunan doaku.
Sejak ayah pergi, keadaan memaksaku tumbuh menjadi wanita mandiri yang harus mengusahakan segala sesuatunya sendiri termasuk dalam hal pendidikan. Aku tahu, doa ibuku selalu mengiringi setiap langkahku, tapi aku tidak mau membebani ibu.
Aku sedih, kecewa,dan marah dengan keadaan. Batinku memberontak, kenapa dunia ini sangat tidak adil pada takdir hidupku. Mengapa di saat anak-anak lain beranjak dewasa, mereka ditemani orang tua yang lengkap dalam berproses? Mengapa aku tidak?
Aku ingin berdamai dengan keadaan, aku tidak mau terus menjalani hidup bergandengan dengan rasa marah, sedih,dan kecewa. Aku melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya.
Aku adalah anak spesial yang dipilih Tuhan untuk menerima ujian berat sebab Tuhan tahu aku mampu. Aku melihat orang-orang di luar sana dengan berbagai masalah yang dihadapi seperti anak-anak broken home, atau orang-orang dengan masalah ekonomi dan masih banyak lagi. Ada yang memilih mengakhiri hidup, ada yang memilih bertahan melanjutkan hidup dan berdamai dengan kenyataan.
Aku tahu aku harus bertahan untuk selempang wisudaku, untuk ice cream coklat kesukaanku, untuk jus alpukat yang menjadi pelepas dahagaku, untuk foto prewedding dengan pasanganku, untuk senyum bahagia keluargaku melihat kesuksesanku, dan masih banyak lagi.
Maka dari itu, aku memilih untuk tetap hidup dan menikmati sukacitanya.
Bagaimana aku bisa bertahan? Bagaimana aku bisa kuat?
Pertama, aku meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja, semua badai akan berlalu.
Kedua, aku belajar tidak berekspektasi tinggi terhadap siapapun dalam menjalani hidup, aku harus belajar kuat sendirian saat tak ada satupun tempat untuk memohon pertolongan kecuali Tuhan dan semua rencana-rencana baik-Nya.
Ketiga, aku mencoba berdamai dengan diri sendiri, menerima takdirku dan melihat sisi positif dari setiap masalah yang terjadi. Aku tidak mau hidup dipenuhi dengan penyesalan dan amarah yang justru akan menyakiti diriku sendiri.
Bagaimana aku bisa mengatakan ketiga hal itu? Karena aku mengalaminya sendiri, membuktikannya sendiri. Setelah berdamai dengan keadaan dan bersujud pada Beliau, hidupku menjadi lebih baik. Seberat apapun masalah ekonomi, keluarga, percintaan,pertemanan, atau pekerjaan sekalipun pasti akan terlewati.
Berdamailah, bersahabatlah dengan masalah-masalah itu, iringi doa dalam setiap penyelesaiannya, rasakan betapa tentramnya hati bisa melewati segala ujian tanpa harus menyalahkan keadaan. [T]