KEHIDUPAN ZAMAN sekarang sudah amat-amat sangat modern. Kenapa aku bisa mengatakan seperti itu?
Lihatlah bagaimana manusia hidup dengan sangat mudah di zaman sekarang ini. Orang-orang yang ingin bepergian tinggal menancap gas untuk berjalan dan tinggal menginjak rem untuk berhenti.
Tidak seperti dulu, orang-orang yang hendak bepergian harus melangkahkan kakinya beribu ribu langkah dan menempuh jarak berkilo kilometer untuk sampai di tujuan yang disertai dengan cucuran keringat di dahinya. Bayangkan saja bagaimana pegalnya kaki mereka dan bagaimana lelahnya perjalanan tersebut.
Zaman dulu jika orang ingin menggunakan air mereka harus mengambil di sungai atau menimba di sumur. Tentu tidak dengan kehidupan sekarang, jika orang ingin menggunakan air, ya tinggal menghidupkan keran saja.
Kapankah kehidupan zaman dulu yang dimaksud tersebut? Apakah pada saat dinosaurus masih hidup di bumi ini? Atau pada saat manusia purba masih beraktivitas di dunia ini? Ataukah pada saat masa reformasi?
Jika kehidupan zaman dulu yang dimaksud adalah kehidupn ketika masa reformasi, maka kehidupan modern yang dimaksud adalah masa saat pascareformasi. Dengan adanya kehidupan modernisme tentu semua kehidupan manusia mulai berubah. Tidak hanya tingkah laku dan gaya hidup manusia, melainkan pemikiran manusia memandang suatu hal juga berbeda.
Salah satu hal yang menjadi pembeda modernisme dan pascamodernisme adalah pandangan akan kebenaran. Dalam modernisme, kebenaran bersifat tunggal, mono, sedangkan dalam pasca modernisme kebenaran bersifat plural.
Sebagai konsekuensi logisnya, modernitas memiliki kecenderungan mengabaikan liyan, sedangkan pascamodernitas merangkul keberagaman.
Jika berbicara tentang kehidupan yang modern, seketika aku teringat dengan penggalan cerita dalam Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.
Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami menceritakan tentang perjalanan kisah persahabatan tiga remaja yaitu Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja Manjali yang juga di antara persabahatan mereka ada cinta segitiga.
Sandi Yuda adalah pemuda yang mempunyai hoby memanjat tebing, ia adalah sosok yang sangat tidak mempercayai adanya mitos dan takhayul karena ia memiliki pemikiran modernisme.
Kemudian Ayu Utami menghadirkan sosok Parang Jati yang merupakan penduduk Watugunung yaitu tempat Sandi Yuda memanjat bersama teman-temannya.
Sandi Yuda yang memiliki pemikiran modernisme dan tidak percaya takhayul akhirnya berubah ketika ia bertemu dengan sosok Parang Jati. Semua berawal ketika ia kalah taruhan dengan Parang Jati, Yuda yang biasanya selalu menang taruhan kini ia kalah. Dan kekalahan taruhan itu membuat ia harus berpindah agama menjadi “clean climbing”.
Dan saat itu ia menyadari bahwa ia bukanlah pemanjat sejati, ia masih menggunakan paku, bor, gantungan dan alat-alat untuk memanjat tebing. Secara tidak langsung, Parang Jati memberi pelajaran kepada pembaca untuk tidak merusak alam. Maka dari itu ia meminta Sandi Yuda untuk menjadi pemanjat yang bersih.
Dalam novel itu Ayu Utami menjelaskan bahwa orang-orang di desa itu masih sangat percaya terhadap takhayul. Ini terbukti ketika seorang warga desa bernama Kabur bin Sasus meninggal karena digigit anjing liar. Namun pada saat pemakaman, seorang pemuda desa bernama Kupu Kupu sangat tidak setuju jika Kabur bin Sasus dimakamkan secara wajar. Hal ini karena semasa hidupnya, Kabur bin Sasus sering melakukan sesajenan untuk menyembah setan. Hal inipun dianggap musyrik oleh pemuda tersebut.
Akhirnya semua warga setuju dan Kabur bin Sasus dimakamkan di tanah yang jauh dari desa. Lantas apakah mitos mitos tersebut benar adanya? Tentu kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini sendiri. Karena ini berdasarkan pendapat dan kepercayaan.
Jika kita percaya terhadap mitos tersebut, maka mitos mitos itu benar adanya. Namun, jika kita tidak percaya dengan mitos, maka hal itu hanyalah sebuah takhayul. Melalui novel ini kita tahu dan bisa merasakan bagaimana kondisi Indonesia saat itu.
Dalam novel ini diceritakan kisah politik di Indonesia yang dimana saat itu Indonesia mengalami “Krisis Moneter” yang terjadi pada tahun 1998,yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Pada saat krisis moneter harga barang sangat melambung sedangkan pendapatan masyarakat sangat minim. Saat itu juga diktator yang telah memerintah selama 32 tahun turun dari kepresidenan yaitu Jenderal Soeharto. Ini terjadi karena mahasiswa mendemo dan kabinet mogok. Peristiwa ini dikenal dengan “Lengser Keprabon”, kemudian B.J. Habibie naik menjadi presiden pada saat itu.
Dan pada saat itulah disebut masa pascareformasi. Semenjak adanya peristiwa lengser keprabon tersebut banyak kekerasan terjadi, kerusuhan antar suku, kerusuhan antar agama, juga hal-hal mengerikan yang terjadi di pasar, maling dibakar hidup-hidup.
Dalam suasana kekerasan ini, ada satu gejala yang mencekang. Ialah serentetan pembunuhan misterius terhadap orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet. Kerusuhan itu diteror oleh sekelompok ninja yang memburu para tetua agama. Meski sudah dicegah, ternyata tetua agama tetap berhasil dibunuh oleh kelompok misterius tersebut. Mayat yang dikubur pun mendadak ikut menghilang, menambah nuansa mencekam di antara penduduk desa.
Ya, begitulah kehidupan modernisme, walaupun kehidupan menjadi lebih mudah namun banyak masalah yang menghampiri. Kota juga bisa membuktikannya pada kehidupan sekarang.
Dalam novel ini juga diceritakan dalam menyelamatkan kawasan karst di bukit watugunung, yuda bersama parang jati dan juga marja membuat strategi budaya yang dimana mereka memiliki harapan strategi tersebut dapat menyelamatkan kawasan karst di bukit watugunung akibat perusahaan batu kapur setempat.
Dalam menyiapkan strategi budaya mereka melalui banyak peristiwa dan kendala, salah satunya bentrok polri dan TNI akibat rebutan wewenang. Dalam usahanya mempertahankan kawasan karst bukit warugunung parang jati juga membuat aliran baru yaitu kejawan Baru yang dimana sudah berhasil diregistrasikan di departeman kebudayaan.
Melalui Bilangan Fu, Ayu Utami secara keras menentang pertambangan besar-besaran yang menguntungkan sebelah pihak, yang tidak mempertimbangkan bahkan memberikan solusi untuk kebaikan masyarakat sekitar perbukitan yang ditambangi. Bukti bahwa kegiatan penambangan besar-besaran berdampak buruk pada masyarakat terdapat pada kutipan berikut,
“Jika karst dikelola dengan salah, hal itu dapat mengakibatkan kekeringan, konflik sosial budaya, dan kehilangan biodivitas unik yang belum diteliti. Jika terus dibiarkan, dampaknya yang cukup serius dalam pertambangan karst akan terjadi, terutama bagi petani yang mengandalkan pengairan melalui sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan karst”
Pada pernyatan tersebut jelas bahwa penambangan kapur yang dilakukan secara besar-besaran, akan berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Dalam suasana ekonomi dan politik yang masih labil ini, banyak peristiwa peristiwa yang tak terduga. Pak penghulu yang sering disebut semar oleh yuda tewas terbunuh di rumahnya setelah kembali dari padepokan suhubudi bapak angkat dari Parang Jati. Yuda dan parang jati terdiam merasakn kekosongan yang mengerikan itu.
Setelah kejadian itu, Parang Jati menulis sebuah tulisan yang berjudul “3M” yang berpotensi merusak bumi yaitu Modernisme, Militerisme, Monoteisme. Yang dimana dalam tulisannya itu menceritakan kekerasan dalam reformasi dalam bentuk penjarahan alam, juga kekerasan dalam dengan latar suku agama, di balik kekerasan itu diduga ada peran militer. Indikasinya : operasi yang sangat terencana, dan di beberapa kasus, adanya pasokan senjata. [T]