DENPASAR | TATKALA.CO — Seni musikalisasi puisi, setidaknya di Bali, kini telah berkembang jauh dari sejak awal jenis kesenian itu dikenal sekitar tahun 1980-an. Perkembangan tampak dari segi garapan maupun dari segi pemilihan genre musik yang digunakan untuk memusikkan puisi.
Alat musik yang digunakan juga berkembang. Dulu mungkin hanya gitar bolong dan jembe, tapi kini alat musik apa pun bisa dieksplorasi untuk memberi kekuatan pada “tampilan” puisi.
Jadi, terdengar agak aneh jika pada lomba musikalisasi puisi serangkaian dengan acara Bulan Bahasa Bali V Tahun 2023 ini, alat musik yang digunakan oleh peserta lomba musikalisasi puisi terkesan dibatasi. Salah satu pembatasannya: hanya boleh menggunakan alat musik akustik.
Heri Windi Anggara, salah seorang pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi, atau musik puisi, atau pusi-musik, di Bali, termasuk salah satu pegiat musikalisasi puisi yang tidak setuju dengan pembatasan itu.
Dalam acara Kriyaloka (Workshop) Musikalisasi Puisi Bali serangkaian pelaksanaan Bulan Bahasa Bali ke-5 di Kalangan Ayodra, Taman Budaua Provinsi Bali, Jumat 3 Pebruari 2023, Heri Windi Anggara mengatakan, memaksakan alat akustik dalam lomba musikalisasi puisi , justru mempersempit ruang kreativitas dalam memperkenalkan jenis nkesenian yang memang sedang berkembang itu..
Kriyaloka (Workshop) Musikalisasi Puisi Bali serangkaian pelaksanaan Bulan Bahasa Bali ke-5 di Kalangan Ayodra, Taman Budaua Provinsi Bali
Workshop itu sendiri dibuka Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali, Drs. AA Ngurah Bagawinata,MM. Workshop menghadirkan dua narasumber, yakni I Komang Darmayuda, S,Sn dan Drs. I Made Suarsa.
Darmayuda yang menanggapi pertanyaan itu mengatakan, musikalisasi puisi merupakan dua perkawinan antara puisi dan musik yang ditafsirkan secara bebas, tidak ada aturan yang mengatur.
Tetapi, dalam lomba ini, memakai aturan yang umum, baik ditingkat daerah dan nasional dengan menggunakam alat akustik.
“Memang ada kebebasan dalam mengolah puisi menjadi musikalisasi puisi, tertapi untuk lomba nanti dibatasi dengan kreateria yang memakai alat akustik. Artinya, alat musik itu mengeluarkan suara akustik,” paparnya.
Di sisi lain, Heri Windi Anggara mengatakan, sejauh ini unsur-undur akustik itu belum dimiliki, seperti gedung atau alat yang benar-benar akustik. Akustik itu sudah rancu. Selain itu, penonton yang paham terhadap akustik juga belum jelas, akhirnya rancu dan tidak imbang.
“Dalam kreteria, gitar akustik semi elektrik dibolehkan, tetapi bunyi piano dengan membawa keyboard tidak dibolehkan. Kalau memaksakan membawa piano, perlu dana besar, grand piano dipindah butuh disetem (tuning) ulang, dan harga grand piano mahal banget, sehingga memberatkan peserta, bukan memudahkan. Hasilnya, peserta justru sibuk mikiran alat bukan proses penciptaan itu,” katanya.
Evaluasi
I Made Suarsa selaku narasumber memaparkan hal-hal umum tentang musikalisasi puisi. Menurutnya, musikalisasi puisi itu ada, karena adanya proses dari fine art (seni murni) kepada performing art (seni pertunjukan).
Puisi itu termasuk seni murni yang tidak terikat pada ruang dan waktu. Sedangkan musikalisasi puisi itu terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada tempat untuk berproses.
“Dalam musikalisasi itu, semua unsur (puisi dengan musik) penting, tetapi bagaimana cara mengolah agar seimbang dan tidak saling menggungguli,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali AA Ngurah Bagawinata mengatakan, kegiatan workshop musikalisasi puisi ini untuk menggali potensi masyarakat berkaitan dengan paduan antara musik dan puisi dengan penggunaan aksara, bahasa dan sastra Bali.
“Hal ini perlu diberikan penekanan kepada masyarakat, bagaimana kita mencari bibit-bibit unggul yang berkaitan keluaran lomba Musikalisasi Puisi yang akan digelar pada tanggal 10-11 Pebruari 2023 bertempat di Gedung Ksirarnawa.ini nantinya,” ujarnya.
Melalui workshop ini, diharapkan menghasilkan kesepakatam yang betul betul menjadi rambu-rambu atau uger-uger yang dipersiapkan di dalam lomba nantinya. Dengan begitu, masyarakat betul-betul mengetahui aturan yang diberlakukan, sehingga lomba menjadi fair.
“Dengan begitu, kopetensi lomba betul-betul kelihatan, dan kita tidak salah memberikan jayanti (juara) kepada mereka yang memang sudah diberikan uger-uger yang baik,” jelasnya.
Sekarang ini, antosias peserta lomba Musikalisasi Puisi cukup tinggi, dan pertanyanya betul-betul menyentuh. Dengan begitu kedepan, mereka betul-betul bisa mempersiapkan lomba ini.
Apalagi sekarang lomba Musikalisasi Puisi dilaksanakan di belakang atau setelah workshop ini. Dengan begitu masyarakat bisa mengubah keinginannya sesuai dengan uger-uger yang berlaku.
“Anak-anak sekarang sudah mempersiapkan diri, sehingga masyarakat kita khususnya di Provinsi Bali ini memang betul-betul menyiapkan diri tentu dengan menggunakan aksara, bahasa dan sastra Bali yang baik dan benar,” katanya. [T][Pan]