Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis apa-apa dalam beberapa bulan ini. Semenjak dipindah tugaskan oleh kantor saya ke Singaraja, saya merasa mengalami “shock culture” dalam menghadapi pola hidup baru.
Bukan berarti saya lupa setiap jalan dan gang-gang kecil kota kelahiran saya, tapi saya mesti beradaptasi ulang dengan kota kelahiran saya sendiri. Sebab apa yang saya alami di rantauan kota Denpasar banyak memberi saya dampak secara laku tubuh.
Saya merasa kamus ketubuhan saya sudah menggunakan bahasa selayaknya penduduk asli kota Denpasar. Dengan pola ritme bekerja yang begitu padat, cepat dan melibas segala kayu penghalang sehingga merubah cara saya berpikir dalam memandang suatu hal.
Ketika pulang ke Singaraja, laku tubuh yang awalnya begitu tegang kemudian berubah tempo menjadi sangat melambat. Bahkan begitu nyaman dari sebelumnya, saya curiga apakah ini dampak dari bentuk struktur kerja di kota Singaraja atau memang dasarnya ingin bermalas-malasan dengan gaji yang sudah cukup.
Ah itu rasanya tidak penting, tapi laku tubuh semestinya patut dibaca ketika sedang berada pada suatu ruang atau kota. Apa dan siapa kita di kota ini?
[][][]
Akhirnya geliat saya menuliskan sesuatu kembali bergairah karena ada satu kegiatan kecil yang sangat membuat saya menyorotinya berhari-hari. Pada tanggal 10 November 2022, ada acara pameran rilisan fisik musik entah itu dalam bentuk piringan hitam (vinyl) dan kaset pita.
Acara ini diselenggarakan di Museum Soenda Ketjil, Pelabuhan Tua, Singaraja. Acara ini diinisiasi oleh sebuah kolektif budaya asal Singaraja bernama Hulutara.
Hulutara adalah salah satu kolektif budaya yang berisikan beberapa anak muda berusia di bawah 30 tahun. Hulutara diwacanakan untuk bergerak dalam membaca dari hulu hingga ke hilir khususnya Bali bagian utara.
Yang mereka coba mulai dari rilisan fisik musik, kemudian arsip-arsip itu mereka gunakan untuk membaca bagaimana arsip dan hari ini itu memliki pengaruh yang sangat baik. Mereka menamakan kolektif mereka sebagai Hulutara karena diambil dari singkatan Hulu Bali Utara yang sudah berdiri sejak tahun 2020.
Acara “Senandung Padu Irama” dari Komunitas Hulutara di Pelabuhan Tua Buleleng
Acara kemarin mereka beri judul “Senandung Padu Irama”, acara ini sekaligus acara perdana mereka untuk memulai menjalankan wacana mereka dalam membaca budaya Singaraja.
Acara ini juga didukung oleh Radio RRI Singaraja, karena beberapa arsip yang dipamerkan juga adalah koleksi yang ada di Radio RRI Singaraja. Yang mereka temukan ketika berkunjung ke sana, dari kejadian tersebut mereka memiliki keinginan untuk memamerkan arsip-arsip yang ditemukan. Sekaligus mereka juga memutarkan beberapa koleksi piringan hitam yang mereka miliki secara pribadi.
Kemudian saya mendatangi acara tersebut sekitar pukul 20.00 WITA, saya sepertinya agak terlambat datang. Karena ketika saya datang acara sudah dimulai, dan saya tidak sempat mendengarkan sharing session ketika acara dibuka. Kemudian saya masuk ke dalam Museum Soenda Ketjil untuk pertama kalinya.
Ya, ini pertama kalinya saya memasuki mesuem tersebut dari pertama kali bangunan yang berada di tengah-tengah Ex Pelabuhan ini dijadikan sebagai museum. Padahal museum tersebut berada di kampung saya sendiri, hampir setiap hari saya berada di areal Pelabuhan Tua hanya untuk bersantai menikmati matahari terbenam.
Saya tidak pernah tahu atau membayangkan bagaimana ruang yang berada di dalam museum. Akhirnya kemarin saya melihat secara langsung apa saja isi di dalamnya, ternyata banyak narasi-narasi kota Singaraja di masa lampau yang saya baru ketahui.
Sebelumnya saya hanya mendengar cerita-cerita dari orang yang saya temui tanpa menemukan narasi itu dalam bentuk utuh. Ketika mengunjungi Museum Soenda Ketjil akhirnya saya baru percaya bagaimana kejayaan kota Singaraja itu benar terjadi.
Sebab museum di mata orang awam, adalah suatu ruang yang begitu suci dan begitu kaku. Seolah museum dan seisinya adalah sebuah kitab yang tidak boleh kita pegang apalagi melakukan interaksi lebih jauh. Jadi tidak salah jika museum bukanlah menjadi salah satu destinasi kunjungan anak muda di jaman sekarang ini.
Kemarin saya melihat kekakuan museum itu justru patah, sejatinya sejarah itu tidak sekaku yang kita kira. Jika dibentangkan secara luas, sejatinya sejarah memiliki keterbukaan yang begitu lebar untuk kita masuki kemudian kita berikan dialektika yang baru.
Tapi seberapa banyak orang yang kemudian sadar dan terdorong untuk berangkat menjemput sejarah? Sejarah memang ditakdirkan untuk berdiam pada suata ruang dan waktu yang beku.
Suasana yang ramai dan akrab
Sejarah tidak akan bisa mendatangi hari ini, tapi hari ini yang harusnya sadar untuk menjemput sejarah dan membentangkannya secara lebar. Membaca masa yang akan datang saya rasa perlu adanya ulang-alik sejarah, sejarah itu bukan hanya berupa buku pelajaran.
Arsip juga bisa menjadi pisau bedah untuk melihat masa lampau, lapisan arsip pun memiliki banyak lembar. Mulai dari literasi tertulis, karya lukis atau patung, rilisan fisik musik, foto, bangunan kota dan bahkan cerita.
Ada banyak pisau bedah untuk mengupasn lapisan demi lapisan budaya. Apa lagi semisal mengkrucutnya jika ingin mencari tahu lebih dalam kota Singaraja masa lampau, jika berangkatnya dari rilisan musik mungkin sederhananya adalah melakukan pemetaan jejak rilisan fisik masa lampau musisi yang berasal dari kota Singaraja.
Jika ranahnya nasional mungkin saya rasa terlalu lebar, tapi sebagai pemantik acara ini sangat menarik untuk menimbulkan budaya kritis dan kreatif di kota Singaraja. Bukan hanya sekadar menikmati acara saja, tapi ada dialektika yang dibangun. Sekaligus menjadi ruang alternatif baru untuk membentuk acara musik yang berbeda.
Sekaligus menjadi ruang temu antar pecinta rilisan fisik, sekaligus juga menjadi ruang temu lintas komunitas yang berada pada irisan yang sama. Sama dalam artian ingin membaca potensi apa yang semestinya bisa dibangun di kota Singaraja.
Apalagi masalah dasar di kota Singaraja adalah memang sedikitnya ada ruang bebas akses atau ruang publik yang bisa digunakan untuk menggelar acara yang diformatkan untuk anak muda. Sekalinya ada tapi dibarengin dengan aturan atau ketentuan oleh pemerintah yang mungkin anak muda tidak sanggup atau kurang paham untuk melakukannya.
Apalagi perlu beberapa surat menyurat yang mungkin anak muda di Singaraja keburu malas dan putus asa. Akhirnya ada ruang-ruang alternatif di era trend Coffe Shop yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk acara, tapi itu tidak banyak, dan bahkan bisa dihitung dengan jari. Tapi dari event kemarin semestinya pemerintah setempat bisa melihat peluang bagaimana ruang publik bisa dimanfaat oleh anak muda asalkan dengan format yang masih dalam konteks yang sama.
Mungkin perlu adanya semacam kurator dalam hal ini. Apalagi acara kemarin juga didukung oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, ini bisa jadi tawaran baru dalam pemanfaatan ruang-ruang yang ada di kota.
[][][]
Tapi di balik semua masalah yang ada dalam pengembangan kreatif di Singaraja. Saya rasa adanya Hulutara bisa menjadi ruang baru untuk menjadi study banding dalam pergerakan lolak anak muda, bukan membandingkan secara kualitas dan kuantitas. Tapi akhirnya gerakan itu makin banyak dan beragam, hanya saja memang belum ada benang merah untuk menyambungkan satu sama lain, entah mungkin karena dengan sadar merasa berbeda atau merasa diri lebih senioritas.
Maka saya rasa dalam membangun ekosistem yang baik ke depannya egosentris itu semestinya diletakkan dahulu. Bagaimana kita harus mulai menyadari pentingnya berkoneksi satu sama lain, sebuah kolektif atau komunitas semestinya saling berkoneksi meski formatnya berbeda. Karena dalam prakteknya masalah yang dihadapi juga sama saja.
Akhirnya ketika bertemu dan saling berdiskusi keresehan tersebut bisa membuka ruang kemungkinan untuk menciptakan daya baru yang dihasilkan oleh bersama. Misalkan komunitas musik dan literasi, jika kedua tersebut dipandang secara bentuk yang dihasilkan sudah jelas berbeda.
Tapi pada kemungkinan yang lain, lintas disiplin tersebut bisa saling menguatkan dan menguntungkan. Apalagi dalam sebuah komunitas tersebut latar belakang lintas disiplin ilmu yang beragam. Lagi pula untuk apa menutup pagar rapat-rapat jika membangun komunitas? Bukankah komunitas terbentuk karena adanya kesepakatan berpikir dan tukar dialektika antar individu? Saya rasa komunitas-komunitas di Singaraja harus mulai membuat peta mereka masing-masing untuk wacana gerekan mereka.
[][][]
Dengan adanya acara “Senandung Padu Irama Vol. 1” yang diinisiasi oleh Hulutara saya rasa sudah menjadi loncatan awal untuk kita membuka mata lebih lebar lagi dalam memproyeksikan diri melihat fenomena membangun ekosistem kreatif yang lebih mapan.
Bermusik bukan hanya menciptakan lirik dan aransemen nada yang kemudian direkam dan dirilis setelah itu selesai. Ada banyak hal-hal di luar proses kreatif yang tidak kita jangkau untuk diketahui, termasuk pengarsipan. Mencari dan mengarsipkan karya-karya sendiri saya rasa juga hal yang mesti disadari dengan sadar.
Bukan hanya pengarsipan secara fisik tapi juga jejak literasi yang baik. Sebab sejarah sering kali dikatakan dibuat oleh para pemenang, pemenang adalah orang yang lebih dulu sadar dan kemudian mengambil langkah untuk melakukannya. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama, jika tidak bisa mengerjakannya sendiri maka saling berjejaring menjadi alternatif lain untuk membuka proyeksi baru.
Hulutara bisa menjadi contoh bagaimana memulai hal yang begitu kaku kemudian dikemas menjadi sebuah hiburan. Acara kemarin membuat saya membayangkan kembali bagaimana kota Singaraja begitu hingar bingar. Melihat Museum Soenda Ketjil ramai olah anak muda membuat saya kagum dan bergumam dalam hati. Sekaligus tidak percaya bahwa ruang tersebut bisa diisi oleh anak-anak muda yang ramai, bersenang-senang bersama dan menjadi ruang bertemu yang hangat dan intim.
Orang bisa melihat kembali pita kaset dan piringan hitam yang sudah tua di Pelabuhan Tua Buleleng
Pelabuhan Tua (biasa disebut ex Pelabuhan Buleleng) yang sehari-hari jika malam tiba begitu gelap tapi pada acara kemarin seperti memiliki suasana berbeda. Terang lampu yang keluar dari museum seolah memberikan pesan bahwa ruang tersebut terbuka untuk siapa saja dan dari kalangan usia berapa saja.
Lalu saya berpikir sebelum meninggalkan acara kemarin, apa yang bisa saya berikan untuk acara tersebut agar tidak hanya sekedar menjadi pengunjung biasa. Saya rasa jawabannya adalah ulasan ini, sekaligus bisa menjadi catatan kita bersama untuk beberapa point yang bisa kita diskusikan bersama sambal ngopi ala-ala anak gaul jaman sekarang.
Yang terpenting kita sadar bahwa hari ini kota Singaraja bukan lagi sebagai kota pusat, kita tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang intervensi ibu kota. Maka sebagai kota kecil kita harus lebih sadar dalam mengadaptasi budaya ibu kota untuk kita kemas kembali menjadi identitas dan kemudian menjadi budaya kita ke depan kelak.
Saya rasa sudah terlalu banyak ngalur ngidul yang sudah tersampaikan. Sampai saya teringat bahwa ada hal yang lebih penting dari membayangkan kota ini maju, yaitu perut saya yang sudah mulai kroncongan. Ya, saya harus lebih realistis berpikir soal masa depan dan cita-cita. Mari kita hadapi arus terjangnya meramaikan kota Singaraja, meski sambil saling mengejek sedikit. Salam. [T]