Waktu adalah relatif. Satu detik terasa berjam-jam saat berdiri di atas bara api, tetapi berlalu sekejap mata ketika menghabiskan waktu bersama seorang wanita cantik. Analogi tentang waktu tersebut adalah penggalan dari percakapan antara Einstein dan Roosevelt dalam tayangan Genius seri pertama, episode 9 (National Geographic, 2017).
Waktu adalah relatif. Saat ini, saya sering mengeluh tentang waktu yang berjalan amat lamban akibat menahan rindu kepada sosok wanita cantik yang telah saya peristri. Di sisi lain, secara periodik saya juga menggerutu tentang waktu yang selalu datang tergopoh-gopoh sembari bertanya “sejauh mana kemajuan risetmu?”. Begitulah hakikatnya sang waktu, tidak pernah bisa diajak kompromi.
Saya merasa tidak akur dengan waktu sejak memulai perkuliahan di kota Denpasar, 2012 silam. Saat-saat awal menjajaki bangku kuliah, waktu lamat-lamat berganti saban senin hingga jum’at. Aktivitas rutin di kampus pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore hanyalah formalitas. Kuliah pengantar di pagi hari, dilanjutkan dengan diskusi kelompok, dan diakhiri dengan dengan kuliah pleno.
Perbedaan 180 derajat terjadi saat sabtu dan minggu. Hingga akhir semester dua, saya selalu menghabiskan akhir pekan di Singaraja. Pulang kampung. Beranjak dari kamar indekos hari jum’at sore selepas kuliah. Kembali ke Denpasar saat minggu sore. Dua puluh empat jam berlalu begitu cepat. Demi menambah durasi, saya sering mencuri waktu balik ke Denpasar saat Senin subuh.
Menapaki semester demi semester, menghabiskan waktu di Denpasar perlahan semakin bermakna. Selain karena materi perkuliahan yang tambah menarik, pergaulan sehari-hari juga memberikan warna yang berbeda. Ya, biasalah. Kisah tentang cita dan cinta yang sering menjadi cerita klise para mahasiswa. Frekuensi pulang kampung juga semakin berkurang, dari seminggu sekali hingga rata-rata sebulan sekali.
Namun tetap saja menghabiskan akhir pekan di Singaraja terasa tak pernah cukup. Keengganan untuk memacu motor menuju Denpasar selalu berkecamuk, entah itu pada minggu sore atau senin pagi. Sampai kemudian terbersit ide untuk “merekam” waktu serta menjadikannya ritual wajib saat pulang kampung: berkeliling kota Singaraja dan menikmati suasananya dari atas motor.
Jalan setapak mengenang masa lalu
Ada tiga rute yang menjadi pilihan untuk mengelilingi kota, yakni timur, barat, dan selatan. Berangkat dari rumah di jalan Pahlawan, menuju arah Banyuning hingga Penarukan. Sesampainya di lampu merah perempatan SMA 3 Singaraja, berbalik arah menuju eks pelabuhan Buleleng. Kemudian kembali ke rumah via jalan Pramuka dan Ngurah Rai. Itu adalah rute timur.
Sedangkan rute selatan adalah menuju Baktiseraga, kemudian berbelok ke arah desa Panji hingga percabangan jalan Bhuana Kertha. Kemudian putar balik sebatas pura Desa Panji dan berbelok menuju Sambangan. Lalu kembali ke rumah melalui jalan Srikandi. Sebenarnya bisa saja melanjutkan dari Sambangan menuju Sangket. Kadang saya ambil rute itu, namun seringnya tidak karena Sangket adalah rute wajib yang akan dilewati saat perjalanan pulang pergi Denpasar-Singaraja.
Terakhir, rute barat merupakan perjalanan terjauh dibanding dua rute sebelumnya. Dari Baktiseraga terus lurus menuju Pemaron, Anturan, hingga Celuk Buluh. Titik baliknya adalah lampu merah di Lovina, kembali menuju kota menyusuri jalan Singaraja-Gilimanuk. Cukup sering saya menambah rute barat hingga dusun Banjar Sekar dan dusun Ambengan (jika tak salah) menuju Air Panas Banjar. Kemudian, kembali ke jalur Singaraja-Gilimanuk melalui jalur memutar via desa Dencarik.
Tentu saya hanya bisa memilih satu dari tiga rute ini saat pulang kampung. Biasanya rute yang akan diambil selalu digilir timur-barat-selatan, begitu seterusnya. Tak pernah saya mengambil dua atau bahkan tiga rute dalam sekali waktu.
Pada mulanya, saya berharap dapat merekam perubahan-perubahan yang terjadi di sepanjang jalan yang dilalui ketiga rute tersebut. Namun, tak banyak perubahan yang terjadi. Hanya yang paling mencolok adalah bangunan baru pasar Banyuasri yang cukup megah, serta Taman Bung Karno yang berlokasi di seberang jalan SPBU Sukasada. Tetapi kemudian saya menyadari, ada rasa penasaran dibalut kerinduan yang membuncah setiap menyusuri kota ini. Terutama rasa penasaran akan peristiwa-peristiwa yang saya baca di buku-buku tentang sejarah Singaraja.
Sebagai contoh, jika mengambil rute timur. Saya selalu berhenti di eks Pelabuhan Buleleng. Membayangkan bagaimana kapal-kapal Belanda membombardir puri Singaraja saat perang tahun 1840-an, hingga memaksa pusat pertahanan dipindah ke Jagaraga. Atau tentang peristiwa perusakan bendera Belanda yang hingga kini diabadikan dengan monumen Yudha Mandala Tama: sebuah patung maskulin, membawa bendera Merah Putih, dan menunjuk ke arah laut Bali.
Jika berbicara tentang rute selatan, saya selalu penasaran dengan letak daerah Gendis yang dulu dikuasai oleh Pungakan Gendis, sebelum akhirnya tewas karena kesaktian keris Ki Baru Semang. Atau tentang kisah Pura Republik (yang lebih dikenal dengan monumen Bhuana Kertha) sembari mengingat-ingat syair lagu gubahan seorang veteran (alm.) I Gede Dharna. Tak banyak yang saya ingat tentang lagu itu, selain bait pertama yaitu: tegeh nangklik//puncakne//menuding langit. Atau bagian chorus-nya yakni: Bhuana Kertha//Bhuana Kertha//tugu perjuangan//ngerebut kemerdekaan. Namun, satu yang terekam jelas adalah suasana ketika seisi kelas (SD kelas IV atau V) menyanyikannya dengan irama yang mendayu-dayu.
Perasaan berbeda terasa ketika memilih rute barat. Menyusuri tiap ruas jalan dan daerah yang dilewati rute ini adalah nostalgia. Kenangan tentang masa kecil medio dekade 2000-an saat menghabiskan liburan di rumah nenek dan kakek dari pihak Ibu. Adakah yang lebih manis daripada baluran gula merah pada jajan bali sebagai upah menemani nenek berbelanja di pasar Banjar?. Atau lebih hangat dari Air Panas Banjar pukul 7 pagi, ketika kakek hanya membayar 10 ribu rupiah kepada petugas—tanpa tiket, sehingga kami cucu-cucunya semua bisa masuk?.
Kebiasaan mengelilingi kota Singaraja adalah ikhtiar untuk merawat ingatan agar tak pudar dimakan waktu. Waktu tak pernah merangkak lambat atau berlari cepat. Ia menjadi relatif karena persepsi kita tentang peristiwa yang terlewati bersamanya. Peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam akan terasa lambat terlupakan jika kita memberikan makna terhadapnya. Sebaliknya, memori tentang masa yang relatif kini akan tergilas cepat jika kita merasa itu adalah rutinitas. Dan, dengan menyusuri setapak demi setapak ruas jalan di Singaraja, saya merasa waktu berderap lebih lambat dari biasanya.
Menyelami tulisan serta diskusi serial tatkala.co dan Komunitas Mahima
Sayangnya, saat ini terdapat bentangan jarak terlampau jauh yang menjadi pembatas antara saya dan ruas-ruas aspal kota Singaraja. Ketika pulang kampung tak bisa diwujudkan, keinginan agar waktu berganti dengan cepat adalah sebuah pengharapan. Melakukan panggilan video bersama bapak, istri, dan adik-adik semakin mempercepat tumbuhnya pengharapan itu.
Kerja-kerja laboratorium dari senin hingga jum’at adalah rutinitas hampir setahun terakhir. Pergantian waktu sabtu-minggu juga terasa cepat saat masih berkutat dengan aktivitas lab, atau plesiran mengunjungi tempat-tempat kuno yang sarat akan sejarah samurai. Meski demikian, masih ada tiga tahun lagi waktu yang harus dilewati sebelum buah dari pengharapan itu dapat dipetik seutuhnya.
Lupakan sejenak tentang rute timur, barat, dan selatan. Harus ada aktivitas pengganti yang bisa menambal kerinduan akan perubahan-perubahan kota Singaraja. Pada awalnya, saya mencoba menyelami kanal-kanal media sosial untuk mengetahui hal-hal trending tentang Singaraja. Sialnya, manusia old fashioned seperti saya memang tak di-program oleh sang pencipta agar betah berlama-lama mengamati pola interaksi dalam media sosial. Hanya aplikasi Youtube—atau dengan frekuensi yang lebih jarang, Twitter—yang saya gandrungi. Walau tak banyak konten tentang Singaraja yang dapat diperoleh dari dua aplikasi tersebut.
Sampai pada akhirnya algoritma Youtube memunculkan video diskusi dengan narasumber mbok Saras Dewi pada akun Komunitas Mahima. Barangkali karena saya sering memutar lagu Lembayung Bali sehingga algoritma Youtube merekomendasikan video itu. Entahlah. Saya mengetahui Mahima karena dikelola satu atap dengan tatkala.co. Beberapa artikel saya tentang Covid-19 sempat dimuat pada laman Tatkala. Singkatnya, saya menyimak habis diskusi Saras Dewi, juga satu diskusi lain dengan narasumber Guru Sugi Lanus dalam rangkaian acara Mahima #MarchMarchMarch.
Dari algoritma Youtube itu akhirnya saya teringat kembali akan Tatkala. Saban hari saya selalu mengunjungi laman ini dan menikmati tiap artikel yang dihasilkan oleh penulis dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tidak hanya melulu tentang Singaraja, banyak pengetahuan baru yang tak kalah menarik tentang daerah lokal lain seperti Batur dan Nusa Penida. Atau tentang fenomena umum yang menyangkut dinamika sosial masyarakat Bali, tentang budaya dan kesusastraan, juga kesenian.
Kembali tentang Saras Dewi dan Sugi Lanus. Ada titik temu yang identik dengan gagasan-gagasan dari keduanya, yakni filsafat. Meski saya tak mengerti tentang dunia filsafat, namun, kolom-kolom Saras Dewi yang dimuat pada media nasional, atau catatan harian Sugi Lanus pada laman Tatkala, memaksa saya untuk menyesap dalam-dalam saripati tulisan-tulisan mereka berdua. Segala aktivitas yang memaksa untuk berpikir lebih dalam, untuk mengkaji dari sudut pandang yang lebih luas, menurut hemat saya, masuk dalam ranah filsafat.
Saras Dewi barangkali memiliki asosiasi yang kuat dengan dunia filsafat karena latar belakang akademis dan karier profesionalnya. Saya mengagumi alam pikirnya yang sering beririsan dengan lingkungan hidup, terutama ketika ia merefleksikan laku filsafatnya pada lingkungan hidup di Bali. Contoh konkretnya adalah pidato kebudayaan yang ia sampaikan di Jakarta, tahun 2018 silam. Saya menyimak dengan saksama pidato itu melalui rekaman video di Youtube.
Lain halnya dengan seorang Sugi Lanus. Meski tak memiliki portofolio akademik yang rigid dalam dunia filsafat, tetapi ia mempunyai akses dan kapabilitas untuk menelaah sumber-sumber filsafat India kuno yang berpangkal pada Weda. Selama dunia filsafat bukanlah domain ekslusif bagi para pemikir Yunani atau kaum terdidik dari Eropa. Maka, tidak ada salahnya jika saya menganggap orang yang menggandrungi Weda atau filsafat Jawa kuno—termasuk kesusastraan dan kesenian Bali, sebagai seorang filsuf. Dan, Sugi Lanus adalah salah satu diantaranya. Juga Pak Ole (Made Adnyana Ole) dan Bu Sonia (Kadek Sonia Piscayanti), serta tentu saja dr. Arya Nugraha. Dokter Arya adalah orang yang pertama kali memperkenalkan saya pada Tatkala.
Tak berlebihan jika melabeli semua penulis Tatkala sebagai seorang filsuf. Sebelum menuliskan gagasannya, para penulis dari beragam profesi ini pastilah telah berpikir masak-masak, dengan pemahamannya yang luas dan mumpuni. Menyelami tiap-tiap tulisan yang ada bagaikan menyusuri ruas-ruas jalan Singaraja. Pun, jika tidak ada artikel-artikel baru, masih ada banyak diskusi serangkaian acara Mahima #MarchMarchMarch—dan yang terbaru Tatkala #MayMayMay—menunggu untuk disimak hingga tuntas.
Apakah saya seorang filsuf? Barangkali. Filsuf yang tak memahami ontologi, aksiologi, epistemiologi, atau kata-kata kunci dunia filsafat, seperti yang disampaikan Saras Dewi dalam diskusinya. Jika dengan berfilsafat dan merenung dapat membuat waktu berderap lebih cepat, maka dengan senang hati akan saya lakukan. Melalui perantara artikel-artikel Tatkala sebagai pemantik perenungan, sekaligus penawar rasa rindu akan dinamika kampung halaman.
Setidaknya, hingga selesainya masa studi ini. Hingga saya dapat berjumpa dan menyapa kembali Kapten Muka, Mayor Metra, dan Letkol Wisnu. Walaupun ketiganya tak akan pernah membalas sapaan basa basi dari saya. [T]