Seni rupa. Apa yang ada dalam bayangan Anda? Lukisan, patung, ukiran, atau sekumpulan karya seni yang terdapat di galeri-galeri seni? Tidak salah, memang. Namun seni rupa tak hanya itu saja, tetapi juga instalasi di jalan, dekorasi-dekorasi, hingga berbagai macam perabot rumah juga bisa termasuk karya seni rupa. Di Indonesia, karya seni rupa meluber saking banyaknya.
Sudah sejak zaman dulu, tepatnya pada masa zaman batu tua (phaleolitikum), manusia praaksara sudah menciptakan karya seni rupa berupa kapak batu kasar—waktu itu sepertinya tubuh manusia memang tinggi-tinggi dan besar-besar. Dalam tulisannya Melihat Indonesia Melaui Seni, Feby Anggraini mengatakan: “Seiring berkembangnya waktu manusia praaksara mulai mengenal karya seni lukis. Mereka melukis di dinding dan langit-langit gua. Hal tersebut membuktikan bahwa perkembangan zaman juga diikuti oleh perkembangan seni rupa.”
Di negara yang kita cintai ini, seni rupa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak orang yang “berlomba-lomba” menciptakan karya seni rupa, mulai dari seni pahat, seni lukis, seni patung, seni kriya, hingga seni desain dan media art. Dari banyak orang yang menciptakan karya seni rupa tentu mereka juga mempunyai tujuan masing-masing, dari yang hanya ingin namanya tenar hingga ada juga yang ingin memperkenalkan kreatifitas bangsanya kepada bangsa-bangsa lain.
Pada masa kemajuan teknologi, di tengah-tengah gelombang percepatan ilmu dan teknologi tersebut, maka terbuka pula ruang kebebasan seniman untuk berekspresi secara total, para seniman tidak terbatasi lagi oleh ruang, waktu, media, dan konsep. Seniman dapat menggelar karyanya di ruang manapun, di alam terbuka ataupun di dalam ruang galeri yang tertutup.
Dengan melimpahnya jumlah seniman seni rupa, yang benar-benar seniman atau yang hanya ngaku seniman, maka di sinilah peran tulisan ulasan seni rupa itu sangat penting.
Pembicara dan peserta foto bersama usai belajar bersama menulis ulasan seni rupa
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana menulis ulasan seni rupa, mari kita rehat sejenak, eh, maksudnya, mari kita bergeser sejenak ke acara Tatkala May May May, Kamis, 26 Mei 2022, di Rumah Belajar Mahima. Kali ini media tatkala.co menghadirkan tiga (calon) empu seni rupa Bali. Artinya, dengan kata lain, mereka ini bukan seniman jadi-jadian—atau ngaku seniman.
Pertama ada Made Susanta Dwitanaya; lalu ada Dewa Gde Purwita Sukahet; kemudian ada sosok perupa muda, Vincent Chandra. Mereka bertiga dari Gurat Institute, sebuah lembaga yang memiliki banyak program dalam pengembangan seni rupa secara luas, termasuk kuratorial, penulisan dan arsip seni rupa. Para perupa top ini diundang tatkala.co dalam diskusi yang mengambil tema “Belajar Bersama: Penulisan Seni Rupa”. Diskusi dipandu oleh tokoh kita, Made Adnyana Ole, empunya tatkala.co.
Diskusi yang berlangsung dua jam lebih ini dibuka oleh Made Susanta Dwitanaya. Susanta mengaku mulai terpantik di dunia penulisan seni rupa pada saat ia masih kuliah. “… ketika Pak Hardiman (dosen Susanta) mengajarkan kritik seni. Kok seru bisa menuliskan seni rupa. Namun sebelum mengikuti mata kuliah ini (sebenarnya) saya sudah membaca tulisan seni di koran-koran, terutama di Kompas.”
Pada akhir perkuliahannya, saat prodi Seni Rupa membuat pameran tentang bulian, dosennya yang bernama Hardiman, mengajaknya untuk menjadi asisten kurator. “Awalnya dari nulis resensi, menulis reportasi tentang seni rupa, tiba-tiba diminta untuk terlibat dalam kerja kurasi,” kata Susanta.
Dalam kerja kurasi, menurut Susanta, seorang kurator harus memiliki keahlian dalam menulis.
Seorang kurator secara intelektual memang harus memberikan pertanggungjwaban kepada publik mengenai karya seperti apa yang ditampilkan dan layak dibicarakan. Selain itu, ia juga harus menyebarluaskan pengetahuan mengenai benda-benda koleksi yang ditanganinya kepada khalayak umum maupun khusus melalui pameran dan penerbitan karya-karya tulis yang relevan dengan bidang yang ditanganinya. Maka benar apa kata Susanta bahwa seorang kurator harus memiliki keahlian dalam menulis.
“Sejak awal kerja seorang kurator itu menulis. Dari dunia kurasi ini saya mendapatkan pengalaman-pengalan menulis. Menulis gagasan-gagasan seniman, tema-tema kurasi, melihat berbagai persoalan seni rupa.”
Sementara itu, Dewa Gde Purwita Sukahet, menyampaikan bahwa sejak SD ia sudah suka mengarang. Dewa menekankan bahwa menulis adalah kerja membaca. “Saya kemudian merasa kalau untuk bisa menulis secara lebih gampang memang harus membaca,” kata seniman berkumis khas itu.
Sedangkan dalam konteks seni rupa, ia berpendapat, seorang penulis ulasan seni rupa tak boleh hanya membaca teks saja, tetapi juga harus membaca seni rupa itu sendiri—entah itu seni rupa secara umum maupun khusus. “Dari sanalah ketemu hal-hal unik di sekitar kita.”
Menurut Dewa, seperti disampaikan di awal tulisan ini, seni rupa tak hanya sekumpulan karya seni yang terdapat di galeri-galeri seni, tetapi juga instalasi di jalan, dekorasi-dekorasi, hingga berbagai macam perabot rumah juga bisa termasuk karya seni rupa.
Selanjutnya, perupa sekaligus penulis muda, Vincent Chandra, mengaku belajar menulis secara organik. Dorongan menulis dari teman-temannya membuatnya semakin bersemangat. Untuk menumbuhkan minat menulis ulasan seni rupa, Vencent mengatakan, “lebih banyak mengajak ngobrol supaya muncul banyak kegelisahan dan kemauan itu.”
Vincent juga mengungkapkan tentang beberapa tahapan dalam menulis ulasan seni rupa, mulai dari deskripsi, analisis, interpretasi, sampai evaluasi.
Susanta juga menyampaikan soal teknis penulisan kuratorial. Sekadar informasi, dalam workshop penulisan kuratorial pameran seni Jurusan/Program Studi Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta bersama Farah Wardani, Kurator Seni & Direktur Biennale Jakarta, pada Oktober 2020 lalu, disampaikan bahwa “teks kuratorial adalah hal penting dalam sebuah rangkaian pameran seni rupa. Banyak sekali hal dasar yang harus dimengerti dalam penulisan gagasan/ide/konsep sebuah pameran. Cara penyampaian konsep pameran agar audience mengerti salah satunya juga dengan teks kuratorial. Problematika pemilihan diksi dan tata tulis, pemilihan kalimat dan isi kuratorial menjadi masalah yang sering dihadapi oleh penulisan kuratorial.”
“Ada macam-macam pendekatan ulasan karya seni rupa. Ada analisis formal, ada aspek kesejarahan, ada konteks sosial dan lain sebagainya yang terkandung dalam karya (ulasan seni rupa) tersebut. Jadi, kalau tulisan kuratorial itu dia lebih memediasi sifatnya. Memaparkan apa gagasan dan bagaimana karya-karya seniman itu merespon tema. Prosesnya seperti itu,” jelas Susanta.
Sedangkan Dewa Gde Purwita Sukahet, dalam menulis ulasan seni rupa tak terlepas dari subjektivitas penulis, kajian seni, metode atau teori yang penulis pelajari, dan tentu saja melihat ke lapangan.
Sementara itu, sebagai penulis dan perupa muda, Vincent, berpendapat jika berhadapan dengan karya seni ia merasa berhadapan dengan dunia intuisi seniman.
Akhirnya kita mengetahui, bahwa menikmati karya seni dengan membuat ulasan seni rupa termasuk dari upaya mengapresiasi para seniman. Seni memiliki arti karya yang bermutu dan memiliki nilai. Dengan demikian apresiasi seni adalah penilaian terhadap karya seni mulai dari mengenali, memberi nilai, hingga menghargainya.
Meminjam kata Feby Anggraini: “Kemajuan bangsa juga bisa dilihat dari budayanya, salah satu di antaranya adalah karya seni.” [T]
_____
Simak video selengkapnya dan jangan lupa like dan subscribe