“Ini benar-benar kejutan!” kata penyair Wayan Jengki Sunarta ketika mendengarkan buku kumpulan puisi terbarunya yang berjudul Jumantara (Pustaka Ekspresi, 2021) dinobatkan sebagai Buku Puisi Terbaik, Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia (HPI) 2021.
Jumantara menang dengan menyisihkan 160-an buku puisi yang dikirim dari berbagai pelosok Indonesia. Malam anugerah Hari Puisi Indonesia 2021 digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada hari Minggu, 28 November 2021.
“Aku kaget saat diberitahu teman lewat WA!” katanya.
Tentu saja kaget. Saat pengumuman Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia, Minggu 28 November 2021 malam yang dilaksanakan secara virtual lewat zoom dan youtube, Jengki sedang ngobrol soal keris dengan teman kuliahnya, Gentry Amalo, yang dikenal sebagai jurnalis. Selain menulis puisi, Jengki memang punya hobi koleksi keris dan barang-barang antik.
“Saat pengumuman aku didatangi Gentry Amalo, lalu asyik ngobrol soal keris. Saat ngobrol, tiba-tiba teman ngirim pesan lewat WA bahwa buku puisiku menang. Aku lalu masuk zoom, tapi acara sudah selesai,” katanya.
Dasar penyair!
“Ini benar-benar kejutan. Aku tidak menyangka buku puisi Jumantara menang,” katanya.
Jengki menuturkan, sejak 2016 ia rajin menyertakan buku puisinya dalam sayembara buku puisi yang digelar oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Namun buku puisinya tidak pernah menang. Hanya masuk nominasi, yakni buku puisi Montase (2016) dan Amor Fati (2019). Dan, pada tahun ini, kegigihan Jengki membuahkan prestasi gemilang.
“Tentu aku sangat bersyukur dan bangga dengan prestasi gemilang ini. Namun, aku juga menyadari bahwa prestasi ini menjadi cambuk bagiku untuk terus melahirkan karya-karya yang lebih bernas lagi,” ujar pegiat komunitas sastra Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) ini.
Selain buku puisi terbaik, dalam Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi Indonesia 2021 ini dewan juri yang terdiri dari Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Maman S. Mahayana, juga menentukan lima buku puisi pilihan. Buku puisi pilihan dewan juri tersebut adalah Poe karya Adri Darmadji Woko (Depok), Ibu, Kota, Kenangan karya Dedi S. Taherdi (Tasikmalaya), Suara-Suara dari Alifuru karya Oppa Rudi Fofid (Maluku), Pada Suatu Hari yang Panjang karya Tatan Daniel (Jakarta), dan Lepas Muasal karya Seiska Handayani (Medan).
Jengki mengatakan bahwa menciptakan puisi adalah proses yang tidak pernah usai. Sama halnya dengan proses belajar memaknai kehidupan dengan beragam warnanya. Sejak awal mula ia menapaki jalan puisi pada tahun 1990-an, puisi selalu memberikan banyak kemungkinan dan kejutan tak ternilai, yang membuat ia semakin memahami keberadaan diri sebagai manusia.
“Puisi adalah anugerah semesta yang memberkati pengembaraan batin aku menjelajahi rimba kehidupan,” ujarnya.
Jengki termasuk penyair produktif dan sangat rajin menerbitkan buku puisi. Pada Agustus 2021 ia menerbitkan buku puisi Jumantara. Jumantara secara harfiah berarti awang-awang, udara, langit, atau angkasa.
Jengki mengatakan Jumantara berisikan 16 puisi panjang. Membukukan puisi-puisi panjang memang menjadi keinginannya sejak lama. Tematik puisi-puisi dalam buku Jumantara melingkupi persoalan karma, takdir, reinkarnasi, spiritualitas, pengembaraan dan dialog batin.
Puisi-puisi tersebut pernah dimuat secara terpisah di beberapa buku puisi terdahulunya. Namun, dalam buku ini, puisi-puisi tersebut sebagian besar telah mengalami pengeditan ulang, terutama dalam hal diksi dan tipografi. Tiga puisi pernah bertransformasi menjadi prosa (cerpen), yakni Cakra Punarbhawa, Pengelana Tanah Timur, dan Balada Sang Putri.
Jengki termasuk penyair yang senang bereksperimen dengan tematik dan teknik penulisan puisi. Misalnya, dalam Jumantara, pembaca bisa menemukan seri puisi-prosa berjudul Igau yang belum pernah dipublikasikannya. Seri puisi-prosa ini ia tulis dengan cara mengigau mengikuti arus bawah sadar. Setelah igauan usai ditumpahkan, ia kemudian mengeditnya kembali sesuai keinginannya.
“Aku selalu beranggapan bahwa puisi-puisi yang aku ciptakan adalah anak-anak rohani. Mereka adalah bagian dari perjalanan hidup dan proses kreatifku. Untuk itu, aku berkewajiban membuatkan ruang bagi keabadiannya,” ujar Jengki.
Jengki mendedikasikan Jumantara untuk mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi yang kini berada di Ruang Sunyi. “Spirit mahaguru Umbu tetap menyala dan bercahaya dalam jiwaku. Beliau banyak mendidik aku untuk setia tanpa batas di jalur puisi. Jika kita mencintai puisi dengan serius, maka suatu saat puisi akan mencintai kita dengan cara-cara tidak terduga,” tutur penyair yang setia menjomblo ini.
Sebagai informasi, Hari Puisi Indonesia ditetapkan 26 Juli. Penentuan tanggal itu berdasarkan tanggal kelahiran Chairil Anwar. Dideklarasikan di Pekanbaru, 22 November 2012 berdasarkan kesepakatan para penyair Indonesia yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Sejak itu Hari Puisi Indonesia dirayakan setiap tahun.
Perayaan pertama Hari Puisi Indonesia (HPI) digelar di Taman Ismail Marzuki pada tahun 2013. Perayaan HPI selanjutnya terus berlangsung setiap tahun sampai perayaan kesembilan, tahun 2021. Salah satu mata acara yang selalu mendapatkan apresiasi dan antusiasme masyarakat sastra dari berbagai kalangan adalah Sayembara Buku Puisi Anugerah HPI dengan total hadiah Rp 100 juta.
Pada tahun 2021, Yayasan Hari Puisi (YHP) merayakan HPI dengan berbagai macam kegiatan, seperti Pesta Puisi Rakyat, Pembacaan Puisi, Lomba Menulis Puisi Grup FB Hari Puisi Indonesia, Lomba Baca Puisi Digital, Pemilihan Komunitas Sastra dalam Penyelenggaraan Hari Puisi Indonesia, Pekan Hari Puisi Indonesia, Seminar Internasional, termasuk Sayembara Buku Puisi Anugerah Hari Puisi. [T]