Pada usia setengah abad, tepatnya 51 tahun, Sanggar Dewata Indonesia (SDI) memiliki pemimpin baru. Dia adalah Made Arya Palguna yang menjadi Ketua Umum Sanggar Dewata Indonesia menggantikan kepemimpinan I Wayan Sunadi. Arya Palguna akan “memerintah” pada periode 2021 sampai 2026.
Pengukuhan Arya Palguna dilakukan di studio pelukis I Made Sumadiyasa di Desa Batuan, Gianyar, 23 November 2021. Dalam kepengurusan tersebut juga dipilih I Made Aswino Aji sebagai wakil ketua, I Kadek Susila Dwiyana sebagai bendahara, I Made Kenak Dwi Adnyana sebagai sekretaris, kurator I Made Bakti Wiyasa bersama I Wayan Agus Eka Cahyadi, dan humas, I Made “KAEK” Dharma Susila, I Ketut Suwidiarta dan I Gede Made Surya Darma.
Sanggar Dewata Indonesia adalah komunitas perupa yang didirikan oleh sejumlah mahasiswa Asri Yogyakarta (sekarang Institut Seni Rupa Indonesia), seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Pande Gede Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika.
Komunitas ini didirikan pada 15 Desember 1970 dari Balai Banjar “Saraswati” di kampung Baciro. Yogyakarta. Pada awalnya, tujuan dari SDI adalah untuk mengakomodasi seniman Bali namun kemudian komunitas ini menjadi lebih dinamis dan terbuka.
Setelah terbentuk, SDI langsung mengadakan pameran perdana di Senisono, di samping Gedung Negara/Gedung Agung/Gedung Agung Yogyakarta. Lalu, dengan kelincahan Nyoman Gunarsa saat itu, bersama anggotanya, pameran pun berlanjut. Selang beberapa waktu sejak digelar pameran di Seni Sono, SDI juga melakukan pameran di LIA Jakarta yang dibuka oleh sekretaris kedutaan Amerika Serikat La Sella.
SDI berwawasan budaya dan filosofis
Sebagai komunitas dengan anggota anak rantau di Yogjakarta, lambat laun SDI memiliki identitas budaya global sebagai landasan kreatif berkesenian. Itu tentu hasil dari akulturasi kebudayaan Bali dengan kebudayaan global, juga dengan bahasa berkesenian seniman Bali di rantau, yakni di Yogyakarta.
Pada awalnya mereka melakukan proses berkesenian dari warisan sistem konsepsi budaya lokal Bali menjadi bahasa rupa universal. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, seniman-seniman SDI jarang kemudian menggunakan symbol-simbol lokalitas karena sudah membaur dengan konsep berkesenian global.
Dari penggunaan media dan teknik berkesenian pun, seniman-seniman SDI sudah menjadi universal. Ini tentu saja seakan seiring dengan visi misi SDI yang berdasarkan semangat nasionalisme kebangsaan berdasarkan Pancasila. multikultur, demi menuju kesenian internasional yang heterogen dan kompetitif.
Pita Maha
Munculnya kelompok seni rupa atau sanggar seni rupa di Bali tidak lepas dari sejarah seni rupa Bali yang diawali dengan kedatangan misionaris Herman Neubronner Van Der Tuuk pada tahun 1850, yang memiliki darah campuran Belanda dan Jerman. Ia mengoleksi hasil lukisan dari 14 seniman dari Bali untuk digunakan pada proyek ambisinya dalam pembuatan buku kamus dengan menggunakan tiga bahasa yaitu Kawi-Bali-Belanda. Dan Sembilan orang pelukis yang berasal dari Singaraja, dua orang pelukis dari Badung, dan salah satunya yang teridentifikasi bernama Ida Made Telaga, dan sisanya random dari wilayah Bali.
Dari karya karya perupa Bali yang dikoleksi oleh Vander Tuuk tersebut akhirnya menginspirasi seniman W.O.J Nieuwenkamp untuk mendatangi Bali pada tahun 1904, untuk mengabadikan alam Bali dan kehidupan masyarakatnya ke dalam lukisan, dan menjadi seniman Eropa pertama yang berkarya di Bali. Selain melukis, W.O.J Nieuwenkamp juga mengoleksi lukisan dari pelukis Bali, dan dibawanya ke Eropa.
Dari perjalanan sejarah awal lukisan Bali ke Eropa akhirnya menginspirasi Walter Spies, seorang seniman dari Rusia berkebangsaan Jerman untuk datang ke Bali pada tahun 1927 menetap dan berkarya di Bali, bersama sahabatnya Rudolf Bonnet yang datang ke Bali pada tahun 1929. Mereka bersahabat dengan Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati, dan akhirnya mereka membentuk perkumpulan seniman bernama Pita Maha bersama seniman lokal Bali, I Gusti Nyoman Lempad, pada 29 Januari 1936.
Pita Maha bisa dianggap sebagai wadah management seni, di mana dulunya kesenian hanya digunakan untuk kegiatan ritual adat dan keagamaan, sampai menjadi karya seni yang bersifat individu yang memiliki nilai ekonomis. Dan dari managemen seni Pita Maha itu pula– yang mana Rudolf Bonnet sebagai kurator dan agent untuk karya karya perupa Bali – karya seni rupa Bali mulai diminati oleh beberapa museum di dunia.
Pada tahun 1937 karya perkumpulan seniman Pita Maha dipamerkan pada perhelatan seni tingkat dunia di Paris (Exposition Internationale des Arts et Techniques dan la Vie Moderne, yakni Pameran Seni dan Teknologi dalam kehidupan antar bangsa dalam kehidupan modern). Pameran itu juga diikuti oleh seniman Pablo Picasso. Saat itu dua seniman Pita Maha, yakni Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembeng, mendapatkan penghargaan medali.
Tata Cara Berkesenian
Dengan adanya sejarah yang demikian membuat para seniman akademisi kelahiran Bali, yang tergabung ke dalam Sanggar Dewata Indonesia. melanjutkan tata cara berkegiatan melalui kelompok SDI.
Pembentukan SDI juga tidak lepas dari munculnya sanggar, maupun kelompok kesenian yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta, seperti Perkumpulan Pelukis Rakyat yang didirikan oleh Hendra Gunawan dan Afandi pada tahun 1947 di Yogyakarta.
Pelukis Rakyat banyak melahirkan karya karya monumen seperti Tugu Muda Semarang, Patung Batu Jenderal Sudirman di Gedung DPRD DIY, dan melahirkan banyak seniman seperti Edhi Sunarso, Fadjar Sidik dan lain sebagainya. Juga ada Sanggar Bambu yang didirikan pada 1 April 1959 di Yogyakarta, oleh Soenarto, dan Kirdjomulyo, Heru Sutopo dan kawan kawan. Sanggar Bambu banyak membuat karya berupa monumen dan patung yang tersebar di Indonesia antaranya, monument Ahmad Yani (Jakarta) monumen Gatot Subroto di Purwokerto, juga memunculkan seniman di bidang musik dan perfilman seperti Putu Wijaya, Arifin C Noer, dan Ebiet G Ade.
Pembentukan SDI juga dipengaruhi oleh peristiwa kelam 1965 yang pernah melanda Indonesia juga di Bali. Traumatik tersebut membuat para tokoh tokoh SDI waktu itu mengumpulkan para mahasiswa yang kuliah di ASRI untuk fokus belajar, dan menjalin persaudaraan dan berbagi ilmu berkesenian sesama saudara rantau di Yogjakarta. Selain juga untuk mengasah bakat berkesenian dengan semangat bebanjaran, suatu manajemen masyarakat yang dibangun di di Bali, untuk kegiatan adat istiadat, dan keagamaan yang meliputi seni dan budaya
Sejak 1 Oktober 1986 SDI sudah berbadan hukum yang diberi nama Yayasan Sanggar Dewata Indonesia yang mempelopori lahirnya penghargaan yang prestisius berupa penghargaan Lempad Prize dan Cokot Prize kepada seniman/budayawan di Indonesia.
Pada tahun 1990-an Sanggar Dewata Indonesia sudah melakukan kerjasama dengan lembaga kebudayaan di Swiss Basel, dengan melakukan kegiatan pertukaran seniman Indonesia dengan seniman Swiss, berkat persahabatan seniman I Wayan Sika dengan peneliti seni dan kebudayaan Dr. Urs Ramseyer.
Kerja sama pertukaran seniman tersebut diawali dengan kunjungan seniman I Wayan Sika pada tahun 1991 dengan melakukan kegiatan pameran di museum Volkerkunde di Swiss Basel. Dan generasi berikutnya seniman Heri Dono, dengan melakukan pameran Unknown Dimensions, Museum Der Kulturen, Basel, Switzerland. Setelah mengikuti pameran bersama dengan Sanggar Dewata Indonesia di Taman Budaya Bali, dan pada tahun 1992 dilanjutkan dengan pengiriman tiga seniman Sanggar Dewata Indonesia untuk melakukan kegiatan kesenian di di museum Fur Volkerkunde di Basel Swiss seperti Made Djirna, Made Budiana dan Kedol Subrata.
Pada tahun 1995 tiga seniman SDI diundang lagi untuk mengikuti kegiatan seni museum Fur Volkerkunde di Swiss, Basel yaitu Nyoman Erawan, Made Budiana, dan Made Djirna. Pada tahun 1996 Seniman Yanuar Ernawati berasal dari Padang Sumatera diundang untuk melakukan kegiatan Museum Fuer Volkerkunde, Basel, Switzerland.
Pada tahun 2001 pertukaran seniman ini dilanjutkan dengan pengiriman Putu Sutawijaya bersama Pande Ketut Taman untuk melakukan kegiatan artist in Residency selama 5 bulan dan melakukan pameran bertajuk “2 Pelukis “DER MENSCH ALS MASS” di Der Kulturen Museum Basel, Switzerland.
Kerja sama Sanggar Dewata Indonesia di Bali juga bersinergi dengan museum di Bali, yang berperan sangat penting di dalam kemajuan seniman SDI, seperti Agung Rai Museum, Neka Museum, Museum Rudana. Juga persahabatan seniman SDI dengan para pemilik museum seperti Agung Rai, Pande Suteja Neka, Nyoman Rudana, yang selalu mensuport dan mengkritik karya-karya perupa SDI demi kemajuan seni dan kebudayaan bersama, dan mereka juga menjadi saksi hidup mengenai sejarah Sanggar Dewata Indonesia.
Begitu juga kedekatan dengan beberapa pencinta seni yang ada di Indonesia dan beberapa negara di dunia, yang selalu memberi kritikan dan masukan untuk kemajuan dalam olah kreatif berksenian.
Di tahun 2000 seniman SDI lintas generasi melakukan pameran 12 painter Sanggar Dewata Indonesia di Hotel Padma Legian Bali, Adapun seniman yang ikut waktu itu adalah Nyoman Gunarsa, Wayan Sika, Pande Supada, Made Djirna, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Made Sudibya, Nyoman Sukari, Wayan Sunadi, Made Wiradana, I Ketut Tenang dan Putu Sutawijaya, psmeran ini mencoba mengnalkan karya seni rupa Sanggar Dewata Indonesia, yang biasanya di pamerkan di museum dan gallery seni, namun disini mencoba untuk mensinergikan karya seni dengan kehidupan pariwisata di Bali, di dalam venue hotel di Bali.
Di tahun ini Pula SDI melakukan pameran besar dengan tema pameran Milenium Sanggar Dewata Indonesia. dengan bekerja sama dengan tiga museum sebagai venue pameran seperti : ARMA Museum, Neka Museum, dan Rudana Museum.
Di tahun 2013 pameran yang mencoba mengkritisi pariwisata Bali dengan tema Ironi in Paradise, sebagai otokritik dari orang Bali mengkritisi dampak dari Pariwisata yang di timbulkan, di dalam kepemimpinan I Wayan Sunadi, dan menjadi ketua pameran I Gede Made Surya Darma.
Pameran tersebut dibuka oleh Oei Hong Djien dan kegiatan sarasehan seni dengan pembicara Chris Dharmawan pemilik Gallery Semarang mengenai karya perupa Sanggar Dewata Indonesia, merespon tema pariwisata. juga diskusi mengenai perkembangan seni kontemporer di Indonesia.
Kelompok-kelompok Kecil
Di dalam Sanggar Dewata itu sendiri juga terdapat kelompok kelompok kecil, di bawah naungan SDI yang terlahir dari perangkatan mahasiswa Asri maupun lintas generasi seperti Kelompok 9 SDI, yang merupakan gabungan dari generasi angkatan seperti angkatan 1977 Sutjipto Adi, angkatan 1978 yakni I Gusti Nengah Nurata (ketua), Made Djirna dan Yohanes Jenar. Angkatan 1979 Made Budhiana dan Nyoman Erawan. Angkatan 80-an Nyoman Wibawa, Bendi Yudha dan Rutha.
Semenjak dibentuknya kelompok tersebut, mereka berpameran di Dewan Kesenian Surabaya, dan melakukan diskusi seni. I Gusti Nengah Nurata menjadi pembicara/nara sumber didampingi oleh teman-teman kelompok 9 SDI, dan ditanggapi oleh Krisna Mustajab (budayawan-seniman pendiri AKSERA Surabaya), Rudi Isbandi (budayawan-seniman), Amang Rahman (pelukis), O.H Supono (pelukis), Ruslan (pelukis), Tedja Suminar dan istrinya Muntiyah (pelukis), Daryono (pelukis dan pematung, Nuzurlis Coto (pelukis dan pematung), dan pelukis lainnya seperti Setyoko, Hariadji, Dwidjo, Wadji, Asri Nugroho, Lini Natalini Widiasi dll, serta pemerhati seni, seniman dan budayawan lainnya.
Di generasi ini memunculkan karya berkesenian surealisme, dan abstrak yang mengangkat kehidupan ritual dan mistik budaya Bali. Salah satu dari seniman tersebut Nyoman Erawan menjadi pemenang kompetisi seni rupa yang bergengsi yaitu Philip Morris Art Award.
Seniman SDI pada tahun 1990-an yang memilih hijrah ke Bali juga membentuk Kelompok 7, yang meliputi Bendi Yuda, I Nyoman Wibawa, Made Budiana, I Made Rute, I Nyoman Erawan, I Made Djirna dan I Made Sudibya. Pada generasi berikutnya Kelompok 11, adapun seniman yang tergabung dalam kelompok tersebut seperti I Nyoman Sukari.
Wiradana, Pande Ketut Tenang, Teguh Ritma Iman, Ida Bagus Krisna, Putu Sutawijaya, Made Sumadiyasa, Pande Ketut Taman, Dewa kompyang, Mangku Mahendra, pada generasi ini memunculkan gerakan corak berkesenian abstrak impresionisme, juga dipadukan dengan mitologi Bali. Selain itu juga terinspirasi oleh karya lukisan purba dan rerajahan, yakni karya seni ritual yang berbau mistik untuk kebutuhan ritual keagamaan di Bali, juga explorasi tarian barong dan sanghyang sebagai ide penciptaan karya seni. Ini tampak jelas pada karya awal Putu Sutawijaya, apalagi dipadukan dengan budaya universal. Karya ini menggemparkan kancah kesenian di Indonesia waktu itu. Beberapa tahun kemudian Putu Sutawijaya membuat ruang berkesenian yang diberi nama Sangkring Art Space, untuk kemajuan seni dan kebudayaan di Indonesia.
Pada angkatan tahun 1993 dengan nama kelompok 7, beranggota Mantra (I Nyoman Putra Ardana), I Nyoman Masriadi, I Wayan Arnata, I Wayan Danu, I Wayan Gede Santiyasa, Alpha Tejo Purnomo, Darmawan Indra Budi, di kelompok ini melahirkan perupa yang fenomenal seperti Nyoman Masriadi, juga ke khasan Idealisme berkesenian I Wayan Danu, juga explorasi media dengan karya seni menggunakan teknologi computer khas karya multi media art Nyoman Putra Ardana.
Di Angkatan 1994 melahirkan kelompok Dimensi 6 yang beranggotakan Dewa Mustika, Made Diana,Put Ery K, Nyoman Darya,Wayan Sudarna Putra dan Antonius Widodo. Seniman di angkatan ini menghasilkan kekayaan yang beraneka ragam seperti abstrak impresionis, lukisan mistis terinspirasi oleh ritual dan rerajahan, dan mempopulerkan kembali karya pop realisme dan seni instalasi lingkungan. Seperti lukisan yang dihasilkan ala Sudarna Putra yang awalnya kental dengan karya sarkasme dengan figur badut, belakangan ini banyak mengeksplorasi dengan bahan instalasi bambu, seni dengan lingkungan yang dipamerkan di beberapa hotel dan beach club yang bergengsi di Bali. Salah satu angkatan ini juga masih tinggal di Yogjakarta aktif dalam kegiatan kemanusian. juga membuat ruang berkesenian Indie Art House kepunyaan I Nyoman Darya.
Angkatan 1995 lahir kelompok 9 beranggotakan I Wayan Wirawan, Pande Wayan Mataram, Putu wirantawan, Putu Winata, Nyoman Triarta A.P, Adi Gunawan, Ida Bagus Wiradnyana, I Kadek Arnawa, Nyoman Winarsa. Seniman Angkatan ini yang banyak mengeksplorasi karya peralihan karya dari abstrak impresionis ke karya figurative juga eksplorasi karya patung, bergaya kontemporer, yang sudah susah dibedakan dengan kekhasan karya seni patung tradisional Bali.
Angkatan 1996 membentuk kelompok yang bernama Benang Benang 96. Para seniman yang tergabung dalam kelompok tersebut seperti : Made A. Palguna, Made Aswino Aji, I Nyoman Suyasa, I Gusti Ngurah Udiantara ( Tantin ) Made Suarimbawa Dalbo, Komang Teja Mulya, Alit Setiawan, Nengah Sujena, Made Rai Alit Sujana, I Kadek Susila Dwiyana, Ida Bagus Komang Dharmaputra, Gek Mang, Ketut Anggreni,alm. Made Suparta. Di angkatan ini, pada awalnya sangat menonjol sekali mempopulerkan karya karya figurative. Beberapa seniman tersebut terinspirasi oleh, Pablo Picasso, Marc Chagall, Henri Rousseau, Joan Miro, dan Pop Art Andy Warhol
Angkatan 1997 lahir Nuansa 8 dengan anggota I Putu Bambang Juliart, Nyoman Adiana, Made Sadnyana, I Ketut Gede Parwita, I Nyoman Sudarsana, Wayan Guswar, Wayan Sukanada, I Made Asri. Adiana, dan Megasari. Dalam angkatan ini seniman berkarya dengan berbagai macam aliran gaya lukisan seperti abstrak impresionis, figurative, dan pop realis. Juga ada eksplorasi media oleh Nyoman Adiana, dengan patung logam dan gaya lukisan realisme pop.
Begitu juga karya Made Sadnyana dengan karya figurative yang banyak menyuarakan suara petani, yang berada di daerah pariwisata tempat dia tinggal, terinspirasi dari profesi orang tuanya yang sebagai saudagar padi, dan sering diajak mengunjungi beberapa subak di Bali oleh ibunya dalam menjalani profesinya.
Angkatan 1998 menamai kelompoknya Tempera. Adapun seniman yang tergabung seperti Made Bakti Wiyasa, I Ketut Suwidiarta, I Made Wirata, I Ketut Darmawan (Dil), I dewa padang, I Gusti Ngurah Marutama, (Coy), Nyoman Adi Tiaga, Ni Luh Ayu Sukma Dewi.
Angkatan 1999 dengan kelompok Tanda 99 dengan anggota seperti I Gede Suanda Sayur, Arya Sucitra, Putu Suardana, Dewa Jody Saputra, Wayan Widiyanta, Komang Rai Kastawan ,Wayan Gawiarta, Komang Rajendra, Kadek Suadnyana, Kadek Primayudi, Ni Made Prima Suwari.
Di Angkatan ini explorasi karya seni seperti seni Patung yang tidak lazim digunakan pematung lainya, dengan bahan karung Goni, tali tambang, dllnya dan bahan alam lainya Nampak jelas dengan Karya Karya I Wayan Gawiarta, yang sempat mengalami pro kontra dalam penggunaan bahan di dalam ia menyelesaikan lukisannya. Begitu juga I Gede Suanda Sayur yang memunculkan gaya bisa di bilang post tradisional Bali di dunia kontemporer dengan merespon kejadian kekinian dengan bersikap kritis dengan dunia pariwisata di Ubud. Dengan gaya lukisannya yang jenaka, yang mewakili kehidupan masyarakat Ubud di dunia pariwisata tempat Gede Suanda dilahirkan.
Angkatan tahun 2000 ada kelompok Kakul, yang meliputi seniman I Gede Made Surya Darma, AT Sitompul, I Gusti Ngurah Arjawa, I Gusti Ngurah Udianata , Yoga Tri Semarawima, I Putu Dita Astagiri, I Made Widya Diputra (Lampung), I Made Adinata Mahendra, I Gede Putu Suastika.
Generasi milenial yang dihadapkan dengan jaman disruption, beberapa seniman disini sudah mulai berkarya dan membangun pergaulan berkesenian dengan dunia internasional. Ini berkat perkembangan teknologi berkesenian, salah satunya mereka mulai mengeksplorasi karya seni dengan media patung dari bahan ramah lingkungan yaitu anyaman bambu dengan ukuran raksasa dengan sering viral di Bali. Seperti karya patung I Gusti Ngurah Udiantara, begitu juga karya I Made Widya Diputra dengan konsep patung kontemporer dengan mengeksplorasi media yang tidak lazim digunakan di pematung tradisional Bali, dengan bahan fiberglass, batu, logam, yang bisa memanipulasi mata untuk memandangnya.
Juga melakukan kegiatan seni di dunia Internasional, secara individu oleh seniman I Gede Made Surya Darma. dalam kegiatan festival seni internasional dan melakukan kegiatan artist in residency dan kunjungan dan pameran seni di Jerman, Jepang, Filipina,China Myanmar dan India.
Di generasi tahun 2001 bernama kelompok Jejak yang beranggotakan I Kadek Dedy Sumantra Yasa, I Made Wiguna Valasara, I Wayan Upadana, I Nyoman Wahyudi, I Wayan Patra, dengan karya karya inovasi terbarunya melalui explorasi media. Pada angkatan ini sangat kental sekali explorasi media dalam pembuatan karya seni seperti karya Made Wiguna Valasara. Dalam pembuatan ide karya lukisan tiga dimensi dengan memakai bahan dakron dan kain kanvas, memanfaatkan efek timbul dari media, yang digunakan untuk mendapatkan efek gelap terangnya dalam bahasa ungkap berkesenian. Begitu juga karya patung I Wayan Upadana, dengan bahasa ungkap dengan karya multimedia, juga karya patung dan lukisan I Kadek Dedy Sumantra Yasa.
Generasi 2002 bernawa kelompok Kayon, beranggotakan Budi Agung Kuswara, Kadek Agus Ardika, Agus Eka Cahyadi, Wayan Legianta, Tjokorda Bagus Wiratmaja, A.A Surya Wijaya, Gede made Putra, Riri Prabandari. Pada angkatan ini juga sangat kental dengan explorasi media baru dalam pembuatan karya seni lukis dan seni patung, Nampak menonjol dari karya lukisan Budi Agung Kuswara, dan I Kadek Agus Ardika, begitu juga kekhasan efek gesture karya karya Ida Bagus Wiratmaja, juga karya experiment Gede Made Putra.
Generasi 2003. Kelompok Pilar, yang beranggotakan Putu Aan Juniarta, Ida Bagus Shindu Putra, Agus Putu Suyadnya, Komang Agus Wijaya, Widhi Kerta Semadi, Ida Bagus Wisnu.
Di kelompok Pilar sendiri, sangat kental dengan gaya lukisan Pop Realism, kemunculan karya lukisan mereka banyak menonjol pada bombing seni rupa China, dengan gaya Pop Realisme ketika bombing seni rupa 2006- 2008 di Indonesia.
Generasi 2004 melahirkan kelompok Segi Lima, yang beranggotakan I Made Kenak Dwi Adnyana, abstrak Putu Suarjana, Kadek Yudi Astawa, dengan karya lukisan Teknik kerok Jerami, Pande Nyoman Wijaya Suta, karya naif Wayan Sandika. Dengan memilih lukisan tradisi dengan teknik modern.
Dalam Angkatan 2005 Nama kelompok “Kotak” dengan em[at anggota; I Made Budi.a.ka.Tomblos, I Gusti Ketut Adi Dewantara , I Putu Gde Padma Sumardiana, I Wayan Adi Putra (alm). Pada angkatan ini sangat menonjol karya dari I Gusti Ketut Adi Dewantara, yang coba gaya baru dengan mengambil gaya pop realisme
Angkatan 2006 ada kelompok Linuh dengan karya Agus Mediana (Cupruk) yang memadukan karya teknik las ke media kanvas, Wayan Karyasa (Conk ), mural art project, I Made Sukamerta Aboet dengan mengangkat tema robot ke dalam lukisan.
Angkatan 2008 ada Daksina, dengan Putu Pageh yang membuat karya mural ruang publik dengan memadukan digital art. Wayan Agus Novianta dengan karya naif, Ketut Suryawan eksplorasi wayang dengan kekinian.
Angkatan 2009 dengan nama kelompok Mata Angin dengan seniman yang terlibat Oka Astawa menyuarakan pertanian di dalam gempuran pariwisata di Bali, dengan gerakan lingkungan melalui karya seni instalasi, stensil dan branding produk pertanian di karung beras menyuarakan jeritan petani dengan projek yang terkenal yaitu projek darurat agraria.
Ada juga I Gusti Agung Agus Ari Maruta, dengan karya lukisan tradisional Bali dikemas dengan corak kontemporer, dengan merespon kehidupan sekarang. Kadek Suardana, dengan flora fauna dengan Teknik decorative, mulai lagi dimunculkan ornamen Bali di dalam seni lukis.
Angkatan 2010 dengan nama kelompok Nine yang beranggotakan I Putu Sastra Wibawa anak dari pelukis Nyoman Erawan, dengan gaya optical art Kadek Kariada, dengan karya seni patung di ruang public, dengan proyek monumental dengan ayahnya seorang pematung I Nyoman Winten, yang banyak menghasilkan karya patung monumental di Bali.
Para Anggota Sanggar Dewata seperti Alm. Nyoman Gunarsa juga berperan penting di dalam penyelamatan aset seni dan kebudayaan dengan membangun Museum Nyoman Gunarsa di Yogja dan Bali. Begitu juga I Wayan Sika, untuk mempromosikan karya seni dengan membangun Sika Contemporary Art Gallery. Juga Made Kaek Dharmasusila dengan di bangunnya Rumah Paros untuk memberi ruang seniman untuk melakukan kegiatan seni. Begitu juga Sangkring Art Space kepunyaan Putu Sutawijaya, dan Indie Art House I Made Darya. Juga semangat juang I Made Arya Dedok, untuk pembuatan dokumentasi kegiatan SDI.
Jaga Warisan dengan Rasa Persaudaraan
Pada acara pengukuhan Arya Palguna sebagai ketua SDI yang baru, seniman Made Djirna mewakili seniman generasi pendahulu SDI yang turut hadir dalam rapat tersebut, berharap dengan kepemimpinan yang baru ini warisan SDI perlu dijaga dengan rasa persaudaraan dan ketekunan berkreativitas.
“Ke depanya bisa dengan harapan generasi muda bisa mengemban warisan Sanggar Dewata Indonesia, mampu berkebang dengan perubahan jaman menyesuaikan dengan situasi berkesenian di jaman sekarang melestarikan dari nilai adiluhung dan bisa bersaing di kancah seni rupa global,” kata Jirna. [T]