Bima hidup lagi ketika keluarga dan warga hendak menguburkannya. Keluarga dan warga pun kaget dan bingung. Mereka tak siap dengan keadaan bahwa Bima yang sudah terbujur dalam peti, hidup lagi. Bima dianggap merusak tatanan, merusak harmoni. Kalau mati, ya mati saja, jangan hidup lagi. Bikin susah.
Itulah inti dari cerita GERR yang dipentas Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya dalam hajatan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Provinsi Bali, Sabtu (30/10/2021).
Naskah GERR mungkin sudah dipentaskan ratusan kali, atau ribuan kali, selain oleh Teater Mandiri, juga oleh teater-teater lain di Indonesia termasuk Bali. Usia naskah itu sudah 40 tahun, ditulis oleh Putu Wijaya di Jakarta. Banyak dramawan di Indonesia, bahkan dramawan-dramawan muda hapal naskah itu di luar kepala, saking terkenalnya, dan saking sering dipentaskan.
Teater Mandiri sendiri sudah sering membawakan naskah GERR, tentu saja dengan berbagai versi, bahkan dengan perubahan naskah yang disesuaikan dengan keadaan. Putu Wijaya memang selalu sukses menerapkan konsep desa, kala, patra dalam setiap pementasannya. Ia selalu bertolak dari apa yang ada, maka tidaklah tabu bagi dia untuk menyesuaikan naskah sekaligus juga menyesuaikan pakem-pakem pementasan Teater Mandiri sebelum-sebelumnya.
Mungkin itulah yang membuat Teater Mandiri hidup terus. Bima mati, hidup lagi, mati lagi dalam pementasan lain, hidup lagi, dan Teater Mandiri hidup terus-menerus.
GERR memang banyak memberikan banyak kisah moral kehidupan manusia. Ketika Bima mati, keluarganya meratap histeris tiga hari tiga malam. Namun ketika Bima hidup lagi, sulit buat mereka menerima sejarah dibatalkan.
Sebab semuanya sudah diselenggarakan dengan khidmat, rapi sesuai dengan prosedur yang galib dilaksanakan . Lebih afdol buat mereka untuk melanjutkan upacara sampai tuntas, daripada membatalkannya. Untung ada saran yang tepat dari kedua Penggali Kubur yang membantu upacara 3 itu, sehingga kepanikan berakhir damai bagi semua pihak.
Putu Wijaya mengatakan, melalui pergelaran GERR ini, dirinya ingin menyampaikan manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk individu selalu terjadi masalah dalam kehidupanya. Mahluk sosial, menginginkan agar mahluk individu itu tunduk kepada mereka, tetapi mahluk individu memerlukan udara yang bebas, sehingga terjadi konflik.
Maka, konflik ini harus didamaikan dengan cara saling pengertian. Harus semuanya saling mengerti “take end give” karena semuanya kadang-kadang separo-separo, seperti suami istri. Kadang-kadang sepertiga, dua pertiga tergantung dari kemampuannya. “Rumusnya tidak ada yang penting selain pemberian secara iklas,” kata Putu Wijaya.
Individu, kalau ingin tenteram dalam sebagai mahluk sosial, ia harus ikut dengan apa yang dikatakan komunitasnya. Tetapi, komunitas yang baik harus bisa menerima ekspresi individu, jangan sampai dirubah, sehinga menjadi kehilangan. Jangan sampai seperti Bima untuk bisa berekpresi secara individu harus mengganti nama, ganti kulit, dan segala macam, sehingga dia tidak menjadi dirinya.
“Usahakanlah agar komunitas itu menampung individu-individu itu agar mereka tetap murni dan tidak lebur. Sama dengan negara kesatuan kita. Disetiap daerah masih tetap memiliki kedaerahannya, namun muncul sebagai kesatuan untuk menghadapi sesuatu yang dilakukan bersama,” paparnya.
Teater itu bukan hanya hiburan. Teater itu adalah suara dan pengalaman batin untuk dikomunikaskan kepada masyarakat. Karena dia merupakan dorongan batin, maka dia tidak bisa ditahan oleh apapun, sensor, masalah kekurangan dana, sarana, yang semua itu akan dilawan dengan kreativitas. Meskipun pandemic menyebabkan kita sulit mengumpulkan orang, sulit untuk berlatih, tetapi ada saja jalan karena adanya keinginan kita untuk berbicara berembug dengan masyarakat. Di masa pandemic, tidak menyulitkan orang untuk berkesenian, seperti ajang Festival Seni Bali Jani ini.
“Saya rasa disetiap kemalangan, kegagalan, dan disetiap kesusahan selalu ada janji kalau kita mau mencoba untuk menghidupkan kreativitas kita,” ujarnya.
Lalu untuk perkembangan teater Bali, Putu Wijaya kemudian berharap, semua cabang kesenian itu manfaatnya besar sekali bukan hanya untuk hiburan. Lukisan misalnya bukan untuk hiasan saja, tetapi untuk keseimbangan bathin. Teater Mandiri juga memiliki macam-macam aspek, seperti pendidikan disiplin, etos kerja, dan tolerasnsi semua ada didalamnya. Kalau semua itu diterangkan maka, menjadi sebuah pembelajaran yang bagus.
“Karena bukan hanya menghaval teks, bukan cuma membuat orang senang tertawa, tetapi membuat orang berdisiplinh, mengerti berbicara dengan baik, dan paham kapan harus diam, dan kapan harus berbicara,” paparnya.
Manfaat yang paling penting, bisa bekerja dalam satu tim, seperti namanya Teater Mandiri adalah independen. Artinya orang itu sanggup berdiri sendiri, juga cakap bekerja dengan orang lain, sehingga tidak individualistic, tetapi juga tidak nunut, seperti bebek. Itulah yang diupayakan dengan teater itu.
“Ketika teater menjadi kurikulum sekolah itu menarik sekali. Sayang sekali, kalau itu dilupakan lagi. Sebaiknya itu tetap dilaksanakan. Asal sekarang digali, apa sebetulnya makna pembelajaran seni, pembelajaran teater,” terang Putu Wijaya. [T]