Seekor laba-laba bernama Luba. Luba adalah laba-laba yang beranjak remaja. Laba-laba yang beranjak remaja harus mampu membuat sarang di tempat yang paling aman. Sebab, sarang tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai jebakan mangsa laba-laba. Keberhasilan membuat sarang yang kuat adalah kebanggaan bagi laba-laba untuk bertahan hidup.
Luba mengawali harinya menjelajah mencari-cari pohon yang layak tempat mendirikan sarang. Luba memilih pohon kelapa sebagai tempat memulai membuat sarang.
“Pohon kelapa ini sangat tinggi, pasti sangat aman membuat sarang di sini. Tak ada manusia pengganggu yang bisa naik ke sini,” pikir Luba.
Luba naik ke pohon kelapa itu. Ia berdiri di antara daun-daun kelapa yang masih mudah. Ia mulai mengeluarkan benang dari pantat dan mengikatnya di daun kelapa. Ia menarik-narik benang dan menyusunnya menjadi kerangka yang membentuk seperti lingkaran. Ia terus merangkai-rangkai benang yang keluar dari pantatnya, lama-kelamaan sarang mulai terlihat terbentuk seperti jaring-jaring.
“Akhirnya, selesai juga sarangku. Lega rasanya. Sekarang waktunya menunjukkan sarangku kepada laba-laba lainnya,” gumam Luba senang.
Luba turun dari pohon kelapa meninggalkan sarangnya. Ia berkeliling menemui laba-laba lainnya dengan penuh rasa kebanggaan.
“Datang ya, melihat sarang baruku!” pinta Luba.
Laba-laba lainnya hanya mengangguk tidak bersemangat atas keberhasilan Luba membuat sarang. Laba-laba lainnya terlihat tidak percaya Luba bisa membuat sarang yang kuat. Mereka akan percaya jika ada laba-laba remaja di antara mereka yang mampu membuat sarang di sebuah pohon ajaib. Konon, hanya kakek buyutnya Luba yang mampu melakukan itu. Selain itu, tidak ada lagi yang bisa membuat sarang di pohon ajaib itu.
Luba terlihat kecewa karena merasakan laba-laba yang lainnya tidak percaya bahwa ia mampu membuat sarang yang kuat. Ia dengan perasaan lesu pulang menuju sarang barunya. Namun, sesampainya di depan pohon kelapa itu, ia menghentikan langkahnya karena merasa ada yang mengikutinya.
Memang benar, para laba-laba lainnya mengikuti Luba. “Ada apa ini? Mengapa kalian mengikutiku?” tanya Luba terheran.
“Kami hanya ingin tahu, apa sarangmu benar-benar aman?” jawab salah satu laba-laba lainnya.
“Ayo naik! Sarangku ada di atas pohon kelapa ini,” ucap Luba senang.
Luba bersemangat menuntun laba-laba lainnya menuju ke sarangnya.
Sesampainya di atas pohon kelapa, Luba sontak kaget melihat-lihat di sekeliling daun-daun kelapa.
“Kemana sarangku? Apakah aku salah tempat? Mungkin sarangku tidak di pohon kelapa ini,” pikir Luba yang masih terkejut.
“Mana sarangnya? Kata Luba sudah buat sarang yang kuat. Tapi, di sini aku tak lihat ada sarang Luba,” ucap salah satu laba-laba yang berada di tengah rombongan.
“Sudah seperti yang aku pikirkan. Luba pasti tidak akan mampu membuat sarang yang kuat seperti kakeknya dulu. Apalagi Luba memilih buat sarang di pohon kelapa ini,” sahut salah satu laba-laba lainnya.
Para laba-laba itu meninggalkan Luba sendiri yang masih bengong termangu. Luba masih belum percaya bahwa sarangnya lenyap begitu saja.
“Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Apa salahnya membuat sarang di pohon kelapa?”pikir Luba masih tak percaya.
Luba berkeliling di setiap daun pelepah kelapa. Ia mencari keanehan-keanehan yang ada di pohon kelapa itu. Ia terkejut yang dilihatnya.
“Ini kok ada jejak mahkluk raksasa memetik buah kelapa ini? Jangan-jangan karena inilah sarangku jadi lenyap?” pikir Luba bertanya pada dirinya sendiri.
Luba mengalihkan pandangannya ke pohon-pohon kelapa lainnya. Ia mencari-cari sosok mahkluk besar itu.
“Siapa sebenarnya mahkluk itu? Jangan-jangan itu yang dimaksud oleh para laba-laba. Mengapa tidak bagus membuat sarang di pohon kelapa?” gumam Luba.
Luba terus menunggu dan memperhatikan setiap pohon kelapa yang ada di tempat itu. Sampai keesokan harinya, Luba tak juga melihat kemunculan sosok mahkluk raksasa itu. Luba mulai menyerah. Ia tidak lagi berharap bisa melihat sosok mahkluk raksasa itu.
“Lebih baik aku pergi dari pohon kelapa ini. Mungkin aku ditakdirkan tak bisa membuat sarang yang kuat di tempat aman,” keluh Luba.
Luba turun dari pohon kelapa itu. Ia pergi tanpa tujuan. Ia hanya menyusuri jalan yang ada di hadapannya. Namun, langkahnya terhenti oleh pohon besar nan rindang. Pohon itu memiliki ranting-ranting yang lebat sehingga pohon itu terlihat seperti payung.
“Oh, ternyata ada pohon besar di sini. Lebih baik aku diam di pohon ini,” pikir Luba.
Luba naik ke pohon itu. Ia duduk diam termenung memperhatikan setiap ranting pohon itu. Ia merasakan sudah lama mengenal pohon itu walaupun ia tidak pernah melihat pohon itu selama hidupnya.
“Ada apa dengan diriku ini? Mengapa begitu nyaman berada di sini? Aku merasakan kedamaian,” gumam Luba.
Luba mulai beranjak dari duduknya. Ia mulai berkeliling di antara ranting-ranting pohon itu. Ia ingin melihat semua ranting-ranting pohon itu lebih dekat.
“Wah, mungkin di pohon ini adalah tempat yang cocok untuk sarangku. Sepertinya di pohon ini, sarangku akan lebih aman dan semakin kuat,” pikir Luba bersemangat.
Karena sudah menemukan kedamaian, Luba lupa akan masalahnya yang terjadi di pohon kelapa. Luba mengeluarkan benang-benang dari pantatnya dengan penuh semangat. Ia mulai membuat sarang di pohon itu diantara ranting-rantingnya. Ia membuat sarang yang lebih besar dari yang dibuat sebelumnya.
“Jika pohon ini tempat yang paling aman, aku buat sarang yang paling besar. Sarang yang bisa menangkap makanan yang sangat banyak. Tak akan ada di sarang laba-laba lainnya,” pikir Luba ingin cepat membuktikan diri.
Luba dengan ketekunan siang malam terus merangkai-rangkai benangnya menjadi sarang yang semakin luas. Sarang itu terangkai membentuk jaring-jaring perangkap yang sangat besar.
“Hah, akhirnya selesai juga sarang ini. Aku harap sarang ini menjadi yang paling kuat dan beruntung di pohon ini,” ucap Luba berharap.
Karena sudah lelah menyelesaikan sarangnya siang dan malam, Luba tidur pulas di pojok sarangnya sepanjang hari.
***
Suatu sore, seekor laba-laba penyendiri jalan-jalan ke arah pohon tempat Luba membuat sarang. Ia bernama Uba. Uba tidak suka membuat sarang di pohon, tetapi ia suka memperhatikan sarang para laba-laba lainnya yang ada di pohon. Ia suka membuat sarang di dalam tanah dengan melobangi tanah.
“Wow, terlihat ada sarang laba-laba di pohon ajaib itu!” seru Uba terheran.
Uba mendekati pohon ajaib itu.
“Ooh, benar itu sarang laba-laba! Tapi, siapa itu yang tertidur lelap?” gumam Uba.
Namun, Uba membuang rasa ingin tahunya. Ia berlari mencari para laba-laba lainnya.
“Ada bisa buat sarang di pohon ajaib!” teriak Uba mengagetkan para laba-laba yang sedang berkumpul.
“Siapa yang bisa buat sarang di pohon ajaib?” tanya para laba-laba.
“Aku tidak tahu siapa dia. Aku belum pernah melihatnya,” jawab Uba penuh semangat.
“Jangan-jangan itu Luba,” celetuk salah satu laba-laba yang ada di tempat berkumpul itu.
“Tidak mungkin itu Luba,” ucap para laba-laba yang menjadi riuh.
Tentu para laba-laba yang ada di sana tidak percaya dengan Luba. Apa lagi semenjak kegagalan Luba membuat sarang di pohon kelapa. Mereka sulit mempercayai kemampuan Luba.
“Sudahlah! Ayo kita lihat ke pohon ajaib itu! Siapa sebenarnya yang bisa membuat sarang di sana?” kata Ubah tak sabar.
“Mana mungkin sekarang bisa melihat sarang itu. Sekarang sudah mulai gelap,” seru para laba-laba.
“Benar juga sekarang sudah mulai gelap. Besok saja menjelang sore kita ke pohon ajaib itu,” jawab Uba.
Mereka membubarkan diri dan kembali ke sarang masing-masing dengan pikiran yang penuh tanda tanya, ”Siapa yang bisa membuat sarang di pohon ajaib itu?”
Mereka tahu kalau pohon ajaib itu hanya bisa terlihat tatkala sang Mentari berada di barat. Terkadang para laba-laba menyebutnya sebagai Pohon Senja karena hanya bisa dilihat tatkala senja.
Keesokan sorenya, para laba-laba sudah turun dari sarang masing-masing bersiap pergi ke Pohon Senja. Begitu juga dengan Uba, ia sudah keluar dari sarang lubang tanahnya. Mereka berkumpul akan menuju ke Pohon Senja itu.
“Ayo kita berangkat sekarang! Hari sudah menjelang sore, Pohon Senja akan terlihat kembali. Kita harus tahu siapa yang bisa membuat sarang di sana,” kata Uba penuh semangat.
“Ayo berangkat!” jawab para laba-laba serempak.
Sampailah mereka di pohon ajaib itu, yakni Pohon Senja. Mereka mengelilingi pohon ajaib itu. Mereka terkesima dan takjub melihat sarang yang begitu besar di Pohon Senja diantara ranting-rantingnya. Tapi, mereka tidak bisa naik ke Pohon Senja untuk melihat sarang besar itu lebih dekat. Mereka tahu bahwa hanya laba-laba yang dipilih oleh Pohon Senja itulah mampu naik dan tinggal di sana. Mereka sudah perna mencoba, tetapi gagal naik ke pohon ajaib itu.
“Mengapa di sarang itu seperti tidak ada siapa-siapa? Jangan-jangan itu sarang lama yang dimunculkan pohon ajaib agar kita berkumpul di sini. Uba Pasti bohong,” kata salah satu laba-laba di sana.
“Aku tidak bohong. Kemarin sore jelas aku lihat ada laba-laba yang sedang tidur di sarangnya,” jawab Uba.
Di tempat itu, suasana semakin gemuruh. Karena rasa kagum melihat sarang yang besar, mereka tidak menyadari di sarang itu tidak ada siapa-siapa. Mereka berusaha semakin mendekat di bawah Pohon Senja itu untuk melihat, “Apakah ada penghuni di sarang itu?”
“Yaaa, di sarang itu memang tidak ada siapa-siapa,” kata para laba-laba bergemuruh protes.
Uba hanya bisa diam mendengarkan para laba-laba lainnya meminta penjelasan. Uba tidak bisa berbuat apa-apa karena laba-laba itu sudah tidak ada di sarang itu.
“Ada apa ini? Mengapa kalian berkumpul di dekat sarangku?” tanya Luba yang terheran dengan para laba-laba yang berkumpul di sekitar sarangnya.
Para laba-laba yang ada di sana mendadak terdiam memandangi Luba. Mereka soalah-olah tidak percaya bahwa Luba mampu membuat sarang di Pohon Senja.
“Luba, kamu yang buat sarang besar di pohon ajaib ini?” tanya Uba.
“Ya, aku yang buat di pohon ini. Tapi aku bingung. Mengapa kamu bilang pohon ini pohon ajaib?” ucap Luba yang belum mengerti perkataan Uba.
“Oh, Luba belum tahu ini pohon ajaib? Kamu belum dengar cerita dari para laba-laba ini?” kata Uba terheran.
“Aku tak pernah dengar cerita pohon ini adalah pohon ajaib. Aku hanya tahu, dulu, kakek adalah satu-satunya yang bisa membuat sarang di pohon ajaib. Apalagi semenjak sarangku di poho kelapa telah rusak, aku semakin dijauhi oleh mereka,” jawab Luba.
Para laba-laba hanya tertunduk malu mendengar perkataan Luba. Mereka menyadari telah meremehkan kemampuan Luba.
“Oh begitu, Luba! Baik, aku akan menceritakan tentang pohon ini. Aku tidak tahu mengalami masalah ini,” kata Uba menghibur Luba.
Uba duduk di bawah Pohon Senja. Ia menceritakan semuanya tentang pohon ajaib itu kepada Luba. Luba termenung memikirkan kakeknya ketika mendengarkan cerita Uba. Sedangkan para laba-laba masih tertunduk diam tidak berani meminta maaf kepada Luba.
“Mungkin benar, kemampuan kakek leluhurku baru menurun ke diriku,” pikir Luba.
“Luba, aku minta maaf atas perlakuan mereka kepadamu. Semoga kamu tidak dendam kepada mereka,” pinta Uba ketika sudah selesai menceritakan tentang Pohon Senja.
Para laba-laba sontak kaget dan semakin malu mendengar permohonan Uba kepada Luba.
“Luba, mohon maafkan aku yang telah berpikir buruk tentang dirimu. Aku telah salah meremehkanmu,” ucap salah satu laba-laba yang berada diantara para laba-laba yang ada di sana.
Para laba-laba lainnya yang ada di sana tersadar dengan apa yang harus mereka lakukan. Para laba-laba memandang Luba yang masih tetap berada di dekat Uba. Satu persatu para laba-laba yang ada di sana mendekati Luba. Mereka meminta maaf dan memeluk Luba.
Luba dengan bahagia telah memaafkan para laba-laba.
“Sudah, lupakan yang sudah terjadi! Ayo naik ke atas pohon ajaib ini melihat lebih dekat sarangku!” ajak Luba penuh kebahagiaan.
“Apakah kami bisa naik ke pohon ajaib ini? Kamu sudah tahu kalua hanya laba-laba yang terpilih yang bisa naik ,” ucap Uba mempertegas.
Luba terdiam mendengar perkataan Uba. Karena terlalu senang, Luba lupa akan cerita pohon ajaib itu.
“Coba kita bergandengan tangan. Aku di depan menuntun naik ke Pohon Senja ini hingga sampai ke sarangku. Siapa tahu berhasil karena aku sebagai laba-laba yang terpilih,” ucap Luba menyampaikan idenya.
“Benar itu, kita coba saja,” sahut Uba mendukung idenya Luba.
“Ayo kita coba sekarang.” Para laba-laba setuju.
Luba mulai menggandeng Uba dan diikuti oleh para laba-laba. Mereka membentuk barisan yang panjang dengan Luba berada di barisan terdepan sebagai pemimpin. Luba mulai berjalan menaiki batang Pohon Senja itu diikuti oleh Uba dan para laba-laba lainnya dengan tetap saling berpegangan erat. Mereka terus naik sampai mendekati ranting tempat sarang Luba berada.
“Luba, kita berhasil naik. Tidak terjadi apa-apa pada kami,” kata Uba senang.
“Benar, tidak terjadi apa-apa pada kalian. Ayo masuk ke sarangku,” kata Luba bangga.
Para laba-laba sudah berada di sarang luba. Mereka tidak lagi bergandengan dengan Luba seolah-olah sudah disetujui oleh Pohon Senja berada di sana. Mereka semakin takjub berada di sarang Luba. Mereka mulai mengelilingi setiap sudut sarang Luba. Mereka merasakan ketenangan seperti yang dirasakan oleh Luba ketika pertama kali berada di Pohon Senja itu.
Semenjak kejadian itu, setiap sore, para laba-laba selalu berkumpul di sarang Luba di Pohon Senja. Mereka menikmati kedamaian di poho ajaib itu. Luba pun menjadi seekor laba-laba yang paling dihormati diantara laba-laba lainnya. [T]