Di sebuah desa yang sejuk, hiduplah seorang petani yang sangat rajin. Ia petani yang sangat tekun menanam pohon kopi di ladangnya. Kini, kopi-kopi yang ia tanam sudah mulai tumbuh besar menjadi pohon-pohon kopi yang rindang. Pohon-pohon kopi itu sudah siap melahirkan biji-biji yang beraroma menyegarkan.
Musim berbunga telah tiba, pohon-pohon kopi memekarkan bunga-bunganya. Keharuman wewangian bunga kopi mulai menelusuri setiap sudut ladang Pak Tani itu. Wewangian yang menarik perhatian cinta kasih para sang lebah. Hati Pak Tani itu pun ikut berbunga-bunga melihat pohon-pohon kopinya berbunga lebat. Ia membayangkan setiap ranting pohon-pohon kopinya penuh dengan buah kopi. Keharuman kopi-kopi itu akan banyak dinikmati oleh para penikmat kopi di seluruh dunia.
Sang Surya di upuk timur menyambut Pak Tani yang sedang bersiap berangkat ke kebun kopinya. Ia bersemangat membayangkan dirinya disambut bunga-bunga kopi yang bermekaran diantara beberapa buah kopi mulai muncul sedikit malu-malu. Ia sampai di tengah hamparan kebun kopinya. Ia berdiri sejenak memandangi seluruh hamparan kebun kopinya, tetapi raut wajahnya berubah terlihat marah, kecewa, dan penuh kebingungan.
“Ke mana bunga-bunga kopiku? Bakal biji kopiku tak kan lahir!” Pak Tani menggerutu sendiri.
Pak Tani menelusuri dan mengamati setiap pohon kopinya. Ia mengamati dengan teliti mencari penyebab bunga-bunga kopinya menghilang.
“Ternyata kamu, Cendawan[1] yang melilit di ranting-ranting kopiku,” gumam Pak Tani melihat-lihat setiap ranting kopinya.
Pak Tani pindah dari satu pohon kopi ke pohon kopi yang lain, ”Oooh Kutu Daun! Kamu juga menyerang kopiku.”
“Lihat saja besok! Apa kalian tetap bisa menggerogoti kopiku,” gerutu Pak Tani penuh amarah.
Pak Tani, ia semakin marah. Sekali lagi, ia berkeliling menelusuri setiap pohon kopinya. Ia perhatikan dengan teliti pengganggu-peganggu bunga kopinya yang telah gagal melahirkan buah kopi.
“Lihat nanti, aku akan semprot kalian dengan racun yang sangat mematikan. Sebuah racun yang diciptakan oleh manusia-manusia genius. Dengan racun itu, pasti semua kopiku bisa berbunga lebat dan akan banyak melahirkan buah kopi,” gumam Pak Tani megalihkan amarah dan rasa kesalnya.
Pak Tani lekas pergi ke gubuknya yang terletak di tengah-tengah perkebunan kopinya. Ia mengambil rantang perbekalannya yang masih terbungkus rapi. Rantang perbekalan itu dibawa pulang begitu saja, ia sudah melupakan rasa laparnya. Ia meninggalkan perkebunan kopinya dengan kepala penuh rencana. Sebuah rencana pembasmian masal sebagai bentuk dukungan terhadap bunga-bunga kopi yang akan bisa bebas bermekaran.
Suasana amarah Pak Tani menghilang dari kebun-kebun kopi. Namun, keadaan kebun kopi menjadi bergemuruh.
“Apa yang akan terjadi denganku? Sampai kapan aku harus menelan racun-racun itu? Racun yang dipikirkan oleh manusia sebagai obat bagi tubuhku,” keluh tangis para pohon kopi.
Membayangkan yang akan terjadi, pohon-pohon kopi ketakutan akan tubuhnya yang tidak berdaya. Ia semakin sedih. Ia tidak akan lagi memiliki semangat memekarkan bunga-bunganya dengan sempurna. Para lebah akan enggan menghisap nektar di dalam bunga-bunganya.
“Apa yang kamu sedihkan? Bukannya senang dirawat oleh petani?” tegur Komandan Semut Hitam yang kebetulan lewat. Komandan Semut itu sedang memimpin pasukannya mengangkut makanan dari kebun sebelah.
“Memang aku dirawat dengan baik, tetapi aku juga harus berlatih menelan racun yang disemprotkan oleh petani. Kamu dan pasukan semut hitammu akan mati keracunan jika melewati tubuhku ataupun mencari makanan di bunga-bungaku,” ucap Pohon Kopi sedih.
“Oh, kalau begitu aku harus memperingatkan semua pasukanku agar tidak lewat ataupun mencari makanan di kebun kopi ini,” sahut Komandan Semut Hitam.
“Kumohon tolong aku! Aku tidak akan sanggup lagi terus menerus menelan racun,” pinta Pohon Kopi.
“Bagaimana kami harus menolongmu? Tidak mungkin kami harus ikut menelan racun-racun itu, kami bisa mati,” jawab Komandan Semut Hitam.
“Bukan itu yang aku maksud, tapi kamu dan semua pasukan semut hitammu mencari makanan di kebun kopi ini. Secara tidak langsung, kamu dan semua pasukan semut hitammu telah menjaga kami dari musuh seperti cendawan ataupun ulat-ulat lainnya,” terang Pohon kopi.
“Bagaimana Ketika sedang sibuk mengumpulkan makanan di kebun kopi ini, tiba-tiba kami disemprot racun oleh Pak Tani? Kami bisa mati semua di sini,” tanya Komandan Semut Hitam.
“Pak Tani tidak akan menyemprotkan racun jika kami berbunga dengan sempurna dan akhirnya berbuah lebat. Itu terjadi jika kamu dan pasukan semut hitammu bisa penyingkirkan pengganggu-pengganggu yang ada di kebun kopi ini. Kami pun bisa dengan nyaman bisa berbunga,” terang Pohon Kopi.
“Ya, kalau itu jaminanmu. Aku akan mengumpulkan semua pasukan semut hitam yang ada di daerah ini sehingga sehingga setiap pohonmu dipenuhi dengan semut hitam,” ucap Komandan Semut Hitam.
Komandan Semut Hitam meniup trompet. Para pasuka semut mulai berkumpul di kebun Pak Tani. Komandan Semut Hitam membentuk pasukan semutnya menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok bekerja di setiap satu pohon kopi.
“Pasukan semut hitam, siap?” tanya Komandan Semut Hitam.
“Siappp, Komandan!” jawab serentak pasukan semut hitam.
Komandan Semut Hitam kembali meniup trompetnya sebagai pertanda pasukan semut hitam segera bergerak bekerja mengumpulkan makanan. Suara trompet Komandan Semut Hitam terhenti, para pasukan semut hitam sudah bergerak mengumpulkan makanan di setiap pohon kopi.
“Terimakasih, Komandan Semut Hitam mau percaya dengan kami,” kata Pohon Kopi.
“Sama-sama Pohon Kopi. Aku harap keyakinanmu benar kalau Pak Tani tidak akan menyemprotkan racun mematikan itu,” sahut Komandan Semut Hitam.
***
Sampailah Pak Tani di rumah dengan penuh rasa kesal dan marah. Ia meletakkan di teras rumah. Ia duduk melepaskan sepatunya.
“Pak, menggerutu marah-marah datang dari kebun?” tanya istri Pak Tani.
“Bu, bagaimana aku tidak marah? Sampai di kebun. Bunga-bunga kopi rusak tidak bisa melahirkan buah biji kopi yang lebat. Semua akibat hama pengganggu itu,” kata Pak Tani kesal.
“Sabar Pak! Mungkin sekarang bukan rejeki kita,” kata istri Pak Tani menenangkan suaminya.
“Jika panen kali ini gagal, bagaimana kita makan nanti?” Pak Tani masih menggrutu.
“Ya Pak. Bapak mandi dulu agar tidak gatel abis datang dari kebun,” jawab istri Pak Tani.
“Bu, besok pagi Bapak akan pergi ke kota membeli racun pembasmi hama perusak kebun kopi kita. Tolong Ibu siapkan uangnya untuk membeli obat itu,” pinta Pak Tani.
Pak Tani bangun dari tempat duduknya. Ia pergi ke kamar mandi membersihkan diri. Ia beristirahat ditemani istrinya, tetapi permasahan di kebun kopi tidak membuat dirinya tenang.
Keesokannya, Pagi-pagi, Pak Tani sudah berpakaian rapi dan istrinya sudah menyiapkan sarapan singkong rebus.
“Pak, sarapan dulu sebelum barangkat ke kota!” pinta istri Pak Tani.
“Ya Bu, kita sarapan sama-sama!” kata Pak Tani.
Pak Tani menikmati singkong rebus itu dengan sedikit terburu-buru.
“Bu, Bapak berangkat sekarang ke kota,” ucap Pak Tani.
“Ya Pak, hati-hati di jalan,” jawab istri Pak Tani.
Pak Tani lekas berangkat ke kota untuk membeli racun hama untuk kebun kopi miliknya.
***
Sedangkan di kebun kopi Pak Tani, pasukan semut hitam masih sibuk bekerja di setiap pohon kopi. Pasukan semut hitam membersihkan semua pengganggu yang ada di pohon kopi.
“Poot poot poot poot poot poot,” terdengar suara terompet Komandan Semut Hitam menandakan pasukan semut hitam harus menghentikan pekerjaan mereka sejenak.
“Sudah aman semuanya?” tanya Komandan Semut Hitam.
“Amannnnnnnnnnnnnn, Komandan,” jawab pasukan semut serentak.
“Lanjutkan, tetap menjadi penjaga di pohon-pohon kopi ini,” perintah Komandan Semut Hitam.
Pasukan semut hitam Kembali bekerja mengamankan setiap pohon kopi yang ada di kebun itu. Mereka tidak membiarkan satu pun pengganggu bisa hidup di pohon kopi itu.
“Pohon kopi, kamu sudah aman dari perusak dan pengganggu. Sekarang kamu sudah bisa berbunga hingga berbuah dengan nyaman,” ucap Komandan Semut Hitam.
“Terimakasih, sekarang sudah bisa menumbuhkan bunga-bunga kami hingga melahirkan buah-buah yang lebat,” jawab Pohon Kopi.
***
Sampailah Pak Tani di kota. Ia masuk ke sebuah toko penyedia racun hama untuk petani. Toko itu merupakan toko satu-satunya yang ada di kota itu.
“Permisi Pak Tok, ada racun pemasmi hama kopi? Aku ingin menyematkan buah-buah kopiku di kebun,” ucap Pak Tani penuh harap.
“Mohon maaf Pak, racun hama kopi yang Bapak minta sudah habis. Satu bulan lagi baru ada barangnya,” jawab Pak Tok si pemilik toko.
Pemilik toko yang sudah terbiasa di panggil Pak Tok oleh para pembelinya karena nama tokonya pun diberi nama Toko Pak Tok.
“Terimakasih Pak Tok. Aku pesan dua botol. Satu bulan lagi, aku datang mengambil racun hama itu,” kata Pak Tani.
“Siap Pak,” jawab Pak Tok.
Pak Tani meninggalkan toko Pak Tok. Ia harus menunggu satu bulan lagi untuk mendapatkan racun hama itu. Ia pun pulang dengan penuh rasa kekecewaan dan penuh kekesalan.
“Pak, sudah dapat racun hama kopinya?” tanya istri Pak Tani ketika suaminya telah sampai di rumah.
“Bu, Bapak tak akan datang ke kebun kopi selama sebulan. Aku tak mau semakin kesal karena melihat kebun yang tidak berbuah bagus,” jawab Pak Tani.
“Ya sudah Pak. Kalau gitu, kita tidak usah ke kebun kopi selama sebulan ini,” ucap istri Pak Tani lebut.
Sudah mendekati satu bulan, Pak Tani tidak pergi ke kebun kopinya. Pak Tani hanya diam di rumah tanpa melakukan apa-apa. Istri Pak Tani mulai kuatir dengan keadaan kebun kopi mereka. Ia pun tidak berani meminta suaminya pergi melihat kebun kopi.
“Lebih baik aku pergi sendiri ke kebun kopi diam-diam. Jangan-jangan kebun kopi semakin rusak,” pikir istri Pak Tani.
Istri Pak Tani diam-diam pergi ke kebun kopi.
“Aku hanya sebentar melihat kebu kopi agar tidak ketahuan suamiku,” pikir istri Pak Tani.
Ketika sampai di kebun kopi, istri Pak Tani terbongong-bengong melihat keadaan kebun kopi. Ia mendekati pohon-pohon kopi itu untuk memastikan yang lihat sungguh buah-buah kopi.
“Sungguh luar biasa lebat buah pohon-pohon kopi ini. Aku harus segera memberi tahu bapak. Bapak pasti senang melihat kebun kopi ini berbuah lebat,” gumam istri Pak Tani.
Istri Pak Tani buru-buru meninggalkan kebun kopi. Ia berlari bahagia menuju rumah. Dengan napas terengah-engah, istri Pak Tani sampai di rumah.
“Ibu dari mana ini? Bapak cari-cari tidak ada.,” tanya Pak Tani.
“Pak, Ayo ikut Ibu! Ada kejutan,” ajak istri Pak Tani mengabaikan pertanyaan suaminya.
“Kemana? Tanya Pak Tani bingung.
“Ke kebun kopi, Pak,” jawab istri Pak Tani menarik tangan suaminya.
“Ah, Bapak tidak mau ke kebun kopi. Pohon-pohon kopi itu pasti tidak ada yang berbuah,” ucap Pak Tani menahan tarikan tangan istrinya.
“Bapak harus ikut! Kalau lihat kebun kopi kita sekarang, Bapak pasti terkejut dan bahagia,” ucap istri Pak Tani meyakinkan suaminya.
Pak Tani akhirnya menyerah dan mau mendengarkan perkataan istrinya. Ia mengikuti istrinya ke kebun kopi. Ia masih ragu dengan kebenaran yang dikatak oleh istrinya.
“Pak, lihat kebun kopi kita sekarang! Bapak pasti kaget?” ucap istri Pak Tani ketika baru sampai di kebun kopi.
Pak Tani tidak menanggapi ucapan istrinya. Ia benar-benar kaget bahagia melihat kebun kopinya berbuah lebat. Di setiap ranting-ranting pohon kopi, ia melihat penuh dengan buah kopi.
“Benar katamu, Bu. Kebun kopi kita benar-benar berbuah lebat,” ucap Pak Tani bahagia.
“Ya, Pak. Bapak sekarang tidak perlu lagi menyemprotkan racun hama di kebun kopi kita ini,”sahut istri Pak Tani yang juga sibuk lihat-lihat pohon kopi lebih dekat.
“Ooh ya, Bapak jadi ingat. Kemana perginya hama-hama perusak kebun kopi kita, Bu? Kok bisa hilang?” kata Pak Tani
“Ya juga Pak. Jangan-jangan semut-semut hitam ini penyebab para hama takut,” jawab istri Pak Tani menunjuk-nunjuk semut hitam yang sedang berbaris di ranting pohon kopi.
Pak Tani meperhatikan lagi setiap pohon kopi yang ada di kebun itu. Ia melihat banyak semut hitam di antara buah-buah kopi yang ada di setiap ranting pohon kopi. Ia semakin serius memperhatikan semut-semut hitam itu di setiap pohon kopi.
“Kenapa aku perhatikan, kalau ada banyak buah kopi di ranting pohon kopi ini juga ada banyak semut hitam? Pasti semua semut hitam ini menyebabkan kebun kopiku berbuah lebat,” pikir Pak Tani.
Pak Tani mendekati istrinya yang juga sedang asik melihat-lihat pohon kopi.
“Bu, ayo kita pulang! Bapak sudah tahu kalau semua semut hitam ini yang mengusir hama-hama perusak kebun kopi kita. Kita tak perlu lagi racun hama. Kita cukup membiarkan semut-semut hitam ini tetap ada di kebun kopi kita,” kata Pak Tani.
“Wow, hebat semut-semut hitam itu Pak. Kita bakal panen banyak biji kopi, Pak,” ucap istri Pak Tani.
“Ya, Bu. Terimakasih Bu. Ibu sudah memaksa Bapak ke kebun kopi kita. Kalau tidak, bapak tidak akan sebahagia ini,” ucap Pak Tani.
Pak Tani dan istrinya pulang dengan penuh kebahagiaan akan hasil panen biji kopi yang melimpah.
***
“Kalian dengar percakapan Pak Tani dengan istrinya?” tanya Komandan Semut.
“Ya, kami dengar semuanya,” jawab para pohon kopi serentak.
“Benar katamu, Pohon Kopi. Kalau kamu berbuah sangat lebat, kita tidak akan disemprot racun yang menakutkan itu,” kata Komandan Semut Hitam.
“Terimakasih Komandan dan para pasukanmu telah berhasil melindungi kami,” ucap Pohon Kopi.
“Ya, Pohon Kopi. Kita memang sudah seharusnya bekerja sama,” kata Komandan Semut Hitam.
Dari peristiwa itu, Pohon Kopi dan Komandan Semut Hitam saling berjanji saling menjaga di antara mereka. Tetapi, jika suatu hari ada Pak Tani yang menyemprotkan racun mematikan itu, para semut hitam akan pergi meninggal pohon kopi. Itulah, perjanjian mereka hingga sekarang. [T]
[1] jamur