Ketika pertama kali mendengar bahwa latihan teater cukup tujuh sampai sepuluh kali pertemuan, saya sungguh terkejut. Waktu itu, seorang mahasiswa tingkat akhir dari sebuah kampus seni yang mengatakannya kepada saya. Saya yang berasal dari kampung dan bukan anak kuliahan sungguh heran, takjub, dan terkesima demi mendengar informasi yang disampaikan dengan sangat meyakinkan dan penuh percaya diri itu.
Hebat betul kakak-kakak dari kampus seni ini. Latihan teater cukup satu atau dua minggu. Saya yang mati-matian latihan tiga bulan saja masih sering merasa kurang dan tidak percaya diri.
Itu dulu, sekitar tahun 2008. Hari ini, saya tidak lagi terkejut mendengar hal demikian. Bukan hanya mendengar, bahkan menyaksikannya sendiri. Sekali dua kali pernah juga ikut mencoba bermain dan menggarap “teater sebentar” yang mutunya bikin rasa percaya diri saya ciut.
Kali pertama bersinggungan dengan teater saya diajarkan metode akting realis. Konon, ini adalah pondasi sebelum bertualang berbagai “sekte” teater yang tak habis-habisnya diperbaharui itu. Segalanya musti detil dan terperinci ketika berhadapan dengan realis(me?). Kan “kehidupan yang dipanggungkan”. Meski sering kali tak disadari, tapi bukankah hidup juga detil dan terperinci?
Yang pertama kali dihantam adalah teks. Dibaca, dibedah, dan dipahami bahkan hingga kata per kata. Apa maksud kalimat ini? Apa motivasinya? Kepada siapa kalimat ini disampaikan? Apa maksud penulis naskah dengan mengangkat tema ini? Kapan lakon ini dibuat? Bagaimana kondisi ketika lakon ini ditulis? Siapa dan bagaimana pengarangnya? Bagaimana karakter si tokoh berdasarkan sejumlah keterangan yang tersurat dalam teks? Pertanyaan-pertanyaan serupa itu wajib tuntas sebelum melangkah lebih jauh tahap berikutnya.
Jawaban kadang kala tidak datang seketika saat teks dibedah. Kadang sehari kemudian. Seminggu. Sebulan. Beberapa pertanyaan bahkan tidak ketemu jawabannya sampai pertunjukan berakhir. Sungguh malang.
Sambil mencari jawaban, tubuh dihantam dengan berbagai teknik olah tubuh demi sesuai dengan tubuh tokoh yang dikehendaki lakon. Sebelum itu, hal-hal dasar musti tuntas dahulu: stamina, power, daya tahan, kelenturan, musikalitas tubuh, dan lain sebagainya. Singkatnya, ke-tubuh-an-ku.
Ibarat lukisan, tubuh adalah kanvas. Tubuh aktor tidak hadir bak kanvas putih, melainkan penuh bercak dan coretan. Itu adalah biografi tubuh.
Sebelum kenal tubuh tokoh, terlebih dulu saya harus kenal betul tubuh saya sendiri, luar dan dalam. Saya pernah terlibat kecelakaan lalu lintas hebat semasa sekolah. Salah satu ruas tulang saya mengalami dislokasi. Akibatnya, tinggi bahu kanan dan kiri saya tidak sama. Lengan kanan saya mudah sekali pegal jika digerakan terus menerus. Keseimbangan tubuh saya juga kurang baik. Hal-hal semacam ini saya anggap sebagai bagian dari biografi tubuh yang mustahil saya elakan.
Bau badan, alergi, penyakit kronis, postur tubuh, bentuk wajah, warna kulit, irama dan tempo tubuh, serta segala tek-tek bengek ke-tubuh-an-ku harus diketahui, dikenali, dipahami, disadari, dan diterima dengan mutlak. Aktor yang menolak tubuhnya sendiri akan repot ketika berkenalan dengan tubuh lain, termasuk tubuh tokoh.
Tubuh luar termasuk juga di dalamnya suara. Saya tahu, kenal, paham, sadar, dan menerima bahwa saya cacat nada. Sulit sekali bagi saya untuk bernyanyi dengan benar. Apalagi baik dan indah. Saya terima itu seraya mengembangkan sesuatu yang lain dari suara saya. Saya tidak bisa bernyanyi, tapi saya masih mungkin memperkuat volume, memperjelas artikulasi, melatih intonasi, teknik, dan gaya tutur, serta bermain-main dengan stilisasi suara bila diperlukan.
Tuntas dengan tubuh luar, tahap selanjutnya yang diajarkan guru-guru saya adalah mengetahui, mengenali, memahami, menyadari, dan menerima tubuh dalam. Saya menggunakan istilah tubuh dalam demi terhindar dari dikotomi tubuh-jiwa, tubuh-pikiran, jiwa-raga, lahir-batin, fisik-metafisik, dan semacamnya. Pikiran, emosi, dan spiritualitas menurut saya adalah tubuh juga. Bedanya, ketiga hal yang disebut belakangan itu tak nampak, tak terindra, seperti tubuh luar. Tapi mereka ada dalam/pada/di tubuh yang “itu-itu juga”, tubuh yang nampak, yang terindra.
Tubuh luar akan sakit ketika kejedot atau teriris pisau. Tubuh dalam juga begitu. Kalau emosinya kejedot, ya, bisa sakit juga kan? Tubuh luar bisa puas dan “gembira” ketika perut kenyang, tidur nyenyak, terangsang atau orgasme ketika berhubungan seks. Demikian pula tubuh dalam. Pikiran juga puas dan gembira, bisa terangsang dan orgasme, ketika mendapat asupan pengetahuan yang konstruktif atau informasi baru yang mencerahkan. Seperti pembuluh darah, spiritualitas juga bisa pengalami penyempitan.
Guru-guru saya mengajarkan, sebelum “mengundang” tubuh tokoh ke tubuh aktor, wajib hukumnya aktor tahu, kenal, paham, sadar, dan nrimo dengan tubuhnya sendir, luar dan dalam.
Setelah teks dan tubuh “dibongkar” sedemikian rupa, barulah tubuh tokoh dapat perlahan-lahan diundang ke tubuh aktor. Dari mana pengetahuan mengenai tubuh tokoh itu muncul? Dasarnya dari teks. Kemudian dikembangkan melalui eksplorasi berdasarkan ke-tubuh-an-ku.
Tokoh bertangan kidal, sementara saya tidak. Mau tak mau, saya harus membiasakan diri untuk kidal. Karena faktor usia dan penyakit tertentu, tokoh berjalan dengan cara menyeret kaki kirinya. Saya harus membiasakan diri dengan cara berjalan itu.
Bagaimana tokoh minum, makan, cara tidur, cara bangun dari tidur ke duduk, cara bangun dari tidur ke berdiri, cara duduk, posisi duduk, cara berdiri dari duduk, cara ngupil, cara mencungkil makanan di gigi, dan lain sebagainya. Apakah tokoh tergolong orang yang kaya akan gestur ketika berbicara? Bagaimana ia mengucapkan kata “aku”? Apakah ia tipe orang yang bibirnya optimal bergerak ketika bicara, atau sebaliknya?
Setelah segala informasi ke-tubuh-an tokoh diketahui berdasarkan teks, selanjutnya tinggal mengembangkan dan menakar agar pas dengan ke-tubuh-an-ku dan konsep sutradara. Jalannya adalah eksplorasi. Yang tak kalah penting: diskusi dengan sutradara dan sesama pemain. Terlebih lawan main. Ini penting! Sebab, aktor tidak hanya bermain untuk dan bersama dirinya sendiri, tapi juga untuk dan bersama orang lain (penonton dan lawan main).
Kendati demikian, aktor musti punya otoritas atas tubuh dan perannya. Masukan-masukan ketika diskusi tidak musti ditelan bulat sebagai perintah. Statusnya adalah asupan yang harus dicerna. Sebagaimana sesuatu yang cerna, ada yang diproses lebih lanjut menjadi energi. Ada pula yang berakhir menjadi feses.
Agar mampu mencerna dengan baik, aktor harus otonom atas tubuh dan perannya. Agar mampu otonom, aktor mustilah kokoh tubuh luar dan dalamnya serta percaya diri. Agar mampu kokoh dan percaya diri, aktor harus mau belajar agar “berisi”. Kekokohan dan rasa percaya diri yang dibangun tanpa belajar adalah palsu dan keropos.
Kira-kira, butuh waktu berapa lama untuk memproses bedah teks; tahu, kenal, sadar, paham, dan terima ke-tubuh-an-ku; dan tahu, kenal, sadar, paham, dan terima ke-tubuh-an tokoh? Lama atau sebentar? [T]