Pekan-pekan ini, perhatian warga Eropa telah beralih dari pandemi Covid-19 kepada perhelatan turnamen sepak bola terpopuler kedua dunia, Euro 2020. Tentu saja semua kita penggemar bola tak mau ketinggalan ikut menikmatinya meski harus begadang di depan layar televisi atau dari aplikasi smart phone. Satu hal yang sangat berbeda bagi kita jika dibandingkan dengan ajang Euro sebelum-sebelumnya adalah, kita tak lagi bisa nonton bareng (nobar) pada Euro kali ini.
Saat ini di Indonesia dan beberapa negara lain di Asia (India) dan Amerika Latin (Brazilia), kasus Covid-19 dan penyebarannya tak juga mau mengendor sehingga acara-acara kerumunan masa secara resmi masih tetap dilarang. Kontras dengan apa yang kita lihat di stadion-stadion tempat berlangsungnya ajang Euro 2020, suporter memenuhi stadion, tanpa pembatasan jarak ataupun keharusan menggunakan masker. Seakan-akan sudah tak ada lagi Covid-19 di sana. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Sebelumnya, ada lima negara yang sudah mengizinkan warganya melepas masker jika bertemu di ruang publik seperti di taman maupun restoran. Di USA keputusan ini di didukung Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) dan disambut gembira presiden Joe Biden dengan narasi penuh harapan, “Sebuah langkah menuju kehidupan di Amerika mendekati normal.” Pertimbangan utama dari kebijakan menarik ini adalah cakupan vaksinasi yang telah melampaui 50% dan kasus transmisi lokal sudah tidak dilaporkan lagi.
Negara lain yang juga telah memberlakukan keputusan yang sama adalah Israel, Slandia Baru, China dan Bhutan. Vaksinasi di Bhutan bahkan telah mencapai 90% lebih. Warga Eropa yang seakan tak ingin kehilangan cita rasa persaingan bola yang selalu menawan, pun bergegas mengejar cakupan vaksinasi masing-masing negara. Dengan begitu, penggila bola dapat hadir memanaskan stadion-stadion megah tempat pertandingan berlangsung dengan segala efek domino yang telah diharapkan terutama dampak positif bagi ekonomi regional.
Meski hanya stadion Puskas Arena di Budapest, Hungaria yang memberlakukan kebijakan tanpa protokol kesehatan total, fakta ini sudah sangat mencengangkan. Stadion-stadion lain memang membatasi jumlah penonton yang bisa masuk pada kisaran 20-25 % dari kapasitas penuhnya. Sepintas jika kita amati dan rasakan, hingar bingar penggila bola pendukung masing-masing negara peserta Euro 2020 yang baru bisa digelar di medio tahun ini, nyaris sama dengan Euro sebelum-sebelumnya.
Virus Corona seakan-akan tak pernah ada. Yang terpenting saat ini bagi suporter adalah melepaskan luapan emosi dan memberi dukungan sekreatif mungkin untuk tim wakil negara mereka. Sepak bola tanpa suporter boleh dikata seperti sebuah omong kosong. Keduanya telah berwujud sebagai simbiotik permanen yang saling menetukan kehidupan masing-masing. Tak heran pendukung sepak bola di belahan benua Eropa telah memiliki sebutan sakralnya masing-masing seperti hooligan di Inggris, tifosi atau ultras di Italia. Di negeri kita pun fenomena ini telah merebak seperti kehadiran bonek atau mania.
Vaksinasi sebagai representasi sains, telah kembali memamerkan eksistensinya. Sains dan progresifitas teknologilah yang telah menjadi penyangga kegemilangan negara-negara modern saat ini. Sudah pasti bukan mitos apalagi takhyul, bahkan agama pun bukan. Bangsa-bangsa yang selalu ribet dan asik dengan mitos, tradisi usang atau fanatisme ritual agama semakin jauh tertinggal dan terbenam dalam kubangan kemiskinan dan ilusi kehidupan surga yang sempurna. Untung saja misalnya negara-negara Timur Tengah dibekali kekayaan alam berlimpah.
Namun saat ini, jika kita amati mereka pun telah banyak mengadopsi kecemerlangan ilmu pengetahuan dan iptek dan mulai meninggalkan konflik-konflik sektarian. Lihat saja misalnya Arab Saudi dan beberapa negeri jazirah Arab yang menjalin hubungan baik tidak saja dengan USA namun juga dengan Israel yang kemajuan ipteknya sulit ditandingi. Tinggal beberapa kelompok radikal saja yang masih berkutat dengan ambisi teologi politik mereka yang penuh kekerasan.
Dalam hal vaksinasi Covid-19, negara-negara modern tersebut diuntungkan oleh kemajuan teknologi farmasi dan kesadaran warganya untuk segera menerapkan strategi paling jitu dalam mengentaskan masalah. Sementara kita di Indonesia masih lebih suka berdebat dan saling menyalahkan. Demokrasi negeri ini, di satu sisi gelapnya telah memberi ruang kepada seorang politisi atau artis misalnya bicara masalah medis dengan sangat sok tau. Bidang yang jelas bukan kompetensi yang bersangkutan.
Anehnya lagi, pengguna medsos yang mestinya cerdas dan sebagian besar anak muda, justru sangat mudah menjadi pengikut tokoh-tokoh bermasalah tersebut. Maka, kontradiktif dengan situasi di negara-negara modern, kondisi di negeri kita pun dengan sempurna dirugikan oleh dua keadaan yaitu belum mampu memproduksi vaksin dengan cepat dan penolakan warga yang masih banyak terkait vaksinasi Covid-19. Maka pada akhirnya, seperti kasus-kasus medis lain semacam penyakit TBC paru, HIV atau rabies misalnya, yang telah tuntas di negara-negara maju, di negeri kita akan selalu abadi.
Kalimat terakhir di atas memang terasa getir dan suram. Namun itulah fakta yang harus kita ikhlaskan saat ini untuk diterima. Jika cuma bicara TBC paru, HIV atau rabies, itu takkan sampai memberi dampak kelumpuhan ekonomi. Maka jika Covid-19 yang menetap di negeri ini, itu tidak cuma membuat ekonomi saja yang hancur dan membawa negeri kita bangkrut, pun bukan tak mungkin bangsa kita akan dikucilkan oleh dunia.
Betapa mengerikannya. Saat bangsa-bangsa lain sudah kembali pada kehidupan normal, kita masih tenggelam dalam wabah yang tak berujung. Maka ini sepenuhnya akan menjadi pilihan kita, apakah hendak meniru negara-negara maju dan modern yang percaya sains atau kembali pada kehidupan penuh takhyul. Ikut hingar bingar berteriak histeris pada serunya pertandingan sepak bola atau mengendap-endap di gua-gua gelap dan sunyi untuk menunggu wahyu kramat?[T]