Sabtu, 22 Mei 2021, saya mendapat undangan untuk menyaksikan atraksi wisata unik, baru, mungkin juga langka. Atraksi ini sebenarnya atraksi bela diri, namun yang ditampilkan bukan hanya gerak tubuh, melainkan tubuh itu dipadukan dengan “gerak” lumpur. Ya, lumpur. Tanah bercampur air.
Tempat atraksi itu biasa Mepantigan Bali, di kawasan Batu Bulan, Gianyar, Bali, yang dikelola Yayasan Mepantigan Bali. Atraksi itu ngetren disebut mud wrestling atau gulat lumpur.
Kenapa gulat lumpur?
“Tanah dan air menjadi lumpur dipercaya memberikan spirit yang luar biasa bagi manusia. Dalam atraksi ini, dua pegulat akan saling melakukan kontak dan mengalahkan lawannya di tengah lumpur, dan diakhiri dengan salaman,” kata I Putu Witsen, founder Mepantigan Bali.
Secara langsung kontak fisik dengan lumpur akan memberikan stimulus buat tubuh untuk tetap terhubung dengan unsur alami tersebut. Dan gerakan, atau bergulat, akan memberikan stimulus buat otot untuk tetap dinamis dan tidak kaku. Apalagi, dalam gulat lumpur ini juga terdapat unsur-unsur sebagaimana ketika tubuh bergulat, seperti key word (kata kunci) dan katos (kuat).
Dalam gulat lumpur ini, tubuh eminta restu lumpur (tanah dan air) biar kuat atau katos.. “Intinya pesan yang ingin disampaikan, meski adu kekuatan tetap cinta menjadi kesimpulan,” kata Witsen.
Atraksi ini mungkin sesuatu yang baru, dalam olahraga rekreasi atau olahraga pariwisata di Bali. Sebagai pelaku pariwisata amatiran saya sangat penasaran akan atraksi dan cerita bagaimana tempat ini dibangun dan bagaimana kegiatan di dalamnya berlangsung dengan asyik.
I Putu Witsen adalah mantan atlet taekwondo (Jakarta dan Bali) pemegang sabuk hitam DAN Internasional. Dialah founder dari Mepantigan Bali. Lahir di Jakarta 25 Desember 1970, memutuskan untuk pulang kampung setelah tamat SMA sekira tahun 1990 dan berkeliling Bali membuka kursus taekwondo.
Di awal 2002 dari kecintaan akan taekwondo dan budaya nusantara, Witsen membuat sebuah format atraksi wisata yang memadukan unsur taekwondo, dan unsur budaya nusantara. Begitu banyak sawah di Bali (dulunya) menginspirasi bagaimana tanah (pertiwi) akan selalu menyatu dengan air (tirtha) yang menjadi satu wujud dalam lumpur itu sendiri.
Dua unsur itu menjadi inspirasi untuk membuat atraksi wisata yang tak biasa ini. Tempat yang “liar” dan natural akan memberikan kesan pada penikmatnya. Penikmat bisa saja akan merasa kembali ke masa di mana permainan yang paling mengasyikkan, menyehatkan, dan merelaksasi, yakni bermain lumpur dan bermain air di tepi sawah atau kebun.
Di tengah maraknya tempat wisata yg mahamewah dan modern, Mepantigan Bali sebenarnya menawarkan sesuatu yang alami dengan perpaduan budaya Bali. Selain itu, juga ada unsur Papua. Dalam atraksi Sabtu yang saya saksikan ada pemain menggunakan kostum sebagaimana kostum yang sering digunakan orang-orang di Papua.
Sosok anak muda Papua (ia lebih suka disebut orang Irian, Matheus, adalah salah satu guru dan pemeran dalam beberapa atraksi di Mepantigan Bali. Dari mulai welcome dance, colek pamor, sauna lumpur, sampai gulat lumpur.
Tak pelak pesohor seperti Kim Kadarsian menikmati atraksi di Mepantigan Bali ini. Di tempat itu kita juag bisa menikmati menu special yang juga tak biasa, dari lontong lumpur sampai kopi lumpur.
Kata Witsen, kopi lumpur adalah kopi yang di rendam dalam batangan bambu 9 jam, dan spesialnya 9 hari sesuai dengan konsep dewata nawa sanga..
Atraksi ini seakan ingin menunjukkan bahwa sesuatu tang alami tak akan terhalang oleh modernitas, atau oleh pandemi.
“Manusia bisa saja bosan dengan segala sesuatu yang dibuat manusia masa kini, tapi tidak dengan sesuatu yang telah menjadi tradisi yang melekat dalam diri laiknya air dan pertiwi yang menjadi lumpur ini dan semua yang hidup di bumi pasti masih menginjak tanah,” kata Witsen. [T][Editor Ole]