Di Des Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, tukang panjat atau tukang petik kelapa dimuliakan dengan sebutan Jro Alap. Atau, lebih lengkap disebut Jro Alap Nyuh. Alap artinya petik, nyuh artinya kelapa. Mungkin sebutan itu bisa dibuat dengan Bahasa Indonesia: Dia Yang Dimulaikan Sebagai Si Tukang Petik Kelapa.
Tersebutlah Jro Alap Wayan Sidiana, dari Dusun Selonding, Des Les. Umurnya sudah sekitar 70 tahun, tapi kelincahannya memanjat pohon kelapa yang tinggi tetap terjaga. Dia menjalani profesi sebagai pemanjat pohon kelapa sejak umurnya masih 10 tahun.
Saya bertemu Wayan Sidiana dan ngobrol tentang berbagi hal di bawah pohon kelapa dan lontar yang masih menghiasi deret kebun dari bukit sampai pantai di Desa Les. Tak ada data pasti berapa jumlah pohon kelapa dan pohon lontar di Desa Les. Yang pasti, populasi pohon kelapa masih lebih banyak dibandingkan pohon lontar.
Awalnya kami ngobrol soal arak di tengah hangatnya berita tentang arak bali yang kembali diperbincangkan di kalangan atas, menengah sampai warung kopi. Karena selain sebagai pemanjat pohon kelapa, Wayan Sidiana dikenal juga sebagai perajin arak. Sebagaimana layaknya proses belajar di desa, dua profesi itu dipelajarinya secara otoditak.
“Menjadi seorang petani, jaman dulu, wajib harus bisa memanjat,” tutur Wayan Sidiana.
Umur 10 tahun ia punya kemampuan memanjat secara alami, dari memanjat pohon kelapa sampai pohon lontar, juga jenis pohon tinggi yang lain. Sejak dulu kemampuan memanjat memang langka. Perbandingan jumlah pohon kelapa dan tukang panjat kelapa jauh dari bisa disebut memenuhi rasio perbandingan. Dari ribuan pohon kelapa plus pohon lontar di daerah itu, jumlah Jro Alap tidak lebih dari lima orang.
Selain memetik buah kelapa, tukang panjat kelapa atau lontar sebenarnya juga diperlukan untuk menyadap tuak, yang kemudian digunakan sebagai bahan gula dan arak. Meski begitu, bukan berarti seorang perajin arak juga harus bisa memanjat pohon kelapa. Pemanjat pohon kelapa bisa secara khusus memanjat saja, sedangkan perajin arak juga secara khusus membuat arak. Nah, Wayan Sidiana bisa melakukan kedua-duanya dengan baik. Dia sebagai pemanjat, dia juga sebagai perajin arak.
Wayan Sidiana adalah saksi nyata, bagaimana generasi Jro Alap sudah sangat langka. Meski upah panjat per pohon kelapa saat ini Rp. 7.000, namun tetap tak banyak orang mau melakukannya.
Memang Jro Alap bukan profesi bisa dicetak seperti penjual nasi jinggo di masa pandemi. Selain resikonya besar, seorang pemanjat juga harus punya pengetahuan tentang buah kelapa yang sudah layak dipetik. Selain itu, hari-hari baik untuk memetik juga harus dikuasai. Yang sangat mengherankan, Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa tanpa alat bantu, seperti bangol (semacam tangga bantuan untuk memanjat).
Ekonomi keluarga Wayan Sidiana dari dulu sampai sekarang memang ditopang dari rejeki sebagai Jro Alap dan petani arak. Dari hasil profesinya itu, ia mampu menyekolahkan anak sampai pendidikan Diploma 1, dan semua itu adalah kebanggan bagi dia.
Sebelum obrolan ditutup, Wayan Sidiana sempat merenung, mungkin saja suatu saat nanti Jro Alap hanya akan tinggal menjadi istilah saja. Pada saat itu pemerintah atau siapa pun, kemungkinan akan menciptakan teknologi untuk memanen atau menyadap lontar di pucuk pohon.
Tekhnologi semacam itu mungkin tak akan sulit diciptakan. Yang mungkin taka da tekhnologinya, adalah bagaimana memilih kelapa yang sudah layak dipetik, atau daun kelapa yang harus diturunkan, atau putik lontar yang mana harus diiris untuk bisa menjadi tuak. [T]