Dari semua acara di tahun 2020 yang saya hadiri, yang paling meninggalkan kesan mendalam adalah pameran seni sekaligus diskusi buku yang diadakan di Kulidan Kitchen pada tanggal 12 Februari 2020 pada hari Rabu sore dengan pembawa acara yaitu Butet Manurung selaku pendiri Sokola Institute dan Oceu Apristawijaya sebagai illustrator yang karya seninya yang dipajang di dinding Kulidan Kitchen. Mereka berdua menjalani hidup yang dapat dikatakan berunsur petualangan.
Menjelajahi daerah yang tidak dikenal, tinggal di tempat yang budayanya amat berbeda dari perkotaan dan hidup bersama kaum yang hidupnya semi nomaden selama beberapa waktu seperti yang tertulis dalam buku yang didiskusikan. Karya ilustrasi beliau memberikan inspirasi untuk bertanya- tanya tentang metode pendekatan dan penyusunan agenda yang selama ini dilakukan oleh perorangan maupun lembaga terhadap suatu komunitas yang berada di suatu wilayah.
Dimoderatori oleh I Komang Adiartha, pembahasan buku dan karya seni berjudul Melawan Setan Bermata Runcing menguak berbagai hal mulai dari pendidikan, kehidupan sosial, advokasi , kesehatan dan yang ada satu hal terpenting yang akan diulas dalam artikel ini sebagai pembuka sebelum menyusun agenda yang berkaitan dengan hal hal di atas. Acara tersebut dapat membuka suatu bahan untuk diskusi publik mengenai kebijakan yang selama ini diambil oleh institusi mulai dari lembaga pemerintah, LSM, hingga korporasi maupun akar rumput untuk mengevalusi kembali efektivitas program yang mereka buat di suatu wilayah. Sokola Institute menunjukkan suatu metode yang berpegang teguh pada rasa kasih dan kerendahan hati dalam berinteraksi dengan komunitas yang menjadi tujuan dari agenda yang dibuatnya.
Ilustrasi berikut ini yang pernah dipajang di dinding Kulidan Space akan memberikan gambaran awal mengenai hidup bersama komunitas. Judul karyanya berjudul Memahami Komunitas. Deskripsi ilustrasi ini menceritakan anggota Sokola Institute menelusuri sungai di siang hari bersama komunitas lokal dengan bergotong royong mendayung perahu. Mereka bersama sama mengumpulkan hasil bumi, lalu diletakkan di atas perahu untuk diangkut ke pemukiman. Lihat, bagaimana orang yang lahir dan besar di kota menyesuaikan penampilannya dengan komunitas lokal terlihat dari gaya berpakaiannya yang nyaris serupa serta tinggal di rumah adat. Mereka merasakan susah dan senangnya bersama anggota komunitas. Pendekatan di sini jelas menunjukkan kerendahan hati dari pihak lembaga. Anggota Sokola Insitute ingin menyelami kehidupan di suatu komunitas sebelum memulai menyusun agenda di bidang pendidikan, advokasi, dan kesehatan serta pemberdayaan.
Dodi Rokhdian, anggota Sokola Insitute menulis metode yang ia gunakan dalam menelusuri komunitas jika dirangkum dalam satu paragram bunyinya sebagai berikut:
“Metode Etnografi memungkinkan munculnya empati atas realitas hidup melalui konsekuensi metodologis saat menjalankannya, dan sebuah metode menjadi bermakna ketika digunakan sebagai alat perubahan, berpihak serta tidak netral.”
Bagi pihak-pihak yang ingin menyusun agenda pembangunan atau agenda lainnya suatu daerah di bidang apapun, harus menelusuri sendi sendi kehidupan komunitas yang bertempat di wilayah tersebut untuk mendapatkan pengetahuan sebagai tahap amat penting di awal agar komunitas kedua dapat menerima manfaat langsung. Dari cerita yang diulas oleh Sokola Institue ketika pengetahuan ini tidak diperoleh secara akurat atau amat dangkal karena penyusun agenda tidak memahami kebutuhan dan permasalahannya, terjadi suatu pemborosan sumber daya yang sia sia bahkan menambah masalah baru.
Di Sumatera, program perumahan publik oleh pemerintah untuk orang Rimba berakhir dengan dijualnya rumah tersebut kepada pihak luar karena tidak cocok dengan cara hidupnya yang semi nomaden sesuai dengan mata pencaharian. Di Kajang, tempat penggembalaan ternak bagian vital bagi kehidupan, adanya sekolah formal membuat siswa sulit datang ke sekolah di waktu tertentu karena berurusan di padang rumput. Selain itu mata pelajaran yang diterima oleh siswa ini nyaris tak menyentuh persolahan sehari hari mereka sehingga dianggap menguras waktu.
Untuk itu ada lima pengetahuan berdasarkan tingkatannya untuk menyusun agenda untuk komunitas yaitu:
1.) Deskripsi kehidupan sehari hari, lingkungan fisik, dan masalah yang dihadapi suatu komunitas.
Inilah pengetahuan terpenting. Oleh sebab itu, pegiat dari LSM maupun pejabat dan pegawai pemerintah yang ingin membuat suatu agenda di desa tertentu tidak hanya berkantor di sana saat siang hari lalu pulang ke tempat penginapan ekslusif di malam hari. Mereka selayaknya mengamati aktivitas warga sambil ikut membantu serta menginap di desa itu saat malam sambil berdialog dengan kepala desa dan seluruh warganya sehingga mendapatkan peta permasalahan. Dengan ini, komunitas merasa dijadikan sebagai rekan bukan objek atas kebijakan yang dipaksakan dari atas.
2.) Aspirasi dan idealisasi kehidupan yang diharapkan
Dari tinggal dan ikut berperan langsung dalam kehidupan komunitas, akan mengetahui kebutuhan kebutuhannya berdasarkan prioritas. Ini membantu penyusunan anggaran untuk mewujudkan agenda yang dijalankan agar efektif dan menjawab hal terpenting yang amat dibutuhkan oleh mereka untuk kehidupan yang layak. Di sinilah perlunya rasa empati, ikut merasakan penderitaan dan kegembiraan mereka.
3.) Pemetaan pelaku di komunitas terkait peranan, pengaruh, dinamika dan jejaringnya dalam kehidupan harian
Dalam suatu komunitas di sebuah desa pasti ada orang orang yang berpengaruh. Membangun dialog dengan orang orang ini amat penting karena orang yang berpengaruh ini amat menentukan jalannya agenda yang disusun. Mereka yang paling dipercaya oleh anggota komunitas.
4.) Faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi implementasi program
Dengan mengetahui kondisi lingkungan dan sosial komunitas, serta riwayat interaksinya dengan pihak luar, dapat memperhitungkan hal yang akan memperlancar agenda dan menyiapkan penanganan terhadap sesuatu yang akan merintangi jalannya agenda.
5.) Praktek dan cara produksi komunitas dalam pemenuhan kebutuhan hidup harian
Ini adalah mengkaji aktivitas ekonomi warga sekitar. Produksi menentukan cara hidup dan masalah yang dialaminya. Memahami ini penting untuk menyusun agenda pendidikan secara lebih menyentuh permasalahan ke akarnya. Dalam aktivitas yang dilakukan oleh Sokola Institute bersama orang Rimba yang sebagian besar hidup dari berburu dan bertani, mereka bersama sama menyusun kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan mata pencaharian tersebut dan memfasilitasi orang Rimba menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan itu setelah belajar bersama. Di sinilah syarat amat penting menyusun literasi hadap masalah
Kehidupan sebuah komunitas dan latar budaya yang menauginya diibaratkan sebuah “rumah” dan kajian untuk dapat lima pengetahuan adalah langkah awal sebagai “mengetuk pintu”. Di dalam aksi lapangan. Kajian menjadi langkah awal untuk membangun kedekatan hubungan dengan subjek di lokasi program yang akan diadakan. Ikuti tata cara seempat, memperkenalkan diri, meminta izin dan menjelaskan maksud serta tujuan. Dari tindakan yang diambil tadi setelah mendapat pengetahuan yang pertama, akan mengetahui respon tuan rumah terhadap agenda yang dibawa apakah ingin mengerti lebih dalam atau menolak. Baru setelah itu menggali pengetahuan ke dua hingga ke lima.
Metode Etnografi
Untuk dapat mengerti secara menyeluruh mengenai dimensi kehidupan suatu komunitas dan wilayah dimana mereka berada harus melalui observasi saksama dengan berpartisipasi dan ikut hidup dalam komunitas tersebut. Karena itu kajian menggunakan pendekatan yang menekankan pada proses dan makna- berupa realitas yang dibangun secara sosial dan adanya kaitan erat antara pihak yang mengkaji dengan sasaran yang dikaji. Ini disebut kajian kualitatif
Kajian ini mengambil metode etnografi yaitu sebuah metode antropologis yang jika digunakan dengan tepat dapat menguak perspektif budaya dan kebenaran kebenaran dalam sudut pandang lokal. Pendekatan kualitatif akan sejajar dengan tujuan etnografi kritis dimana berangkat dari tanggung jawab moral untuk menemukan proses ketimpangan pada wilayah kehidupan yang memberi peluang terwujudnya penegakan kemanusiaan untuk komunitas tersebut. Pendekatan etnografi dilakukan oleh Sokola Institue saat melakukan improvisasi seragam sekolah untuk murid murid di Kajang yang menganggap warna putih merah tabu dipakai dan merancang pendidikan yang menyentuh sendi kehidupan sehari hari mereka sehingga melek huruf di sana meningkat.
Etnografi kritis mengupas kejadian di balik kenyataan yang terlihat, menggugat status quo dan netralitas serta mempertanyakan asumsi asumsi yang diterima begitu saja yang mendasari berjalannya sebuah kekuasaan dan kendali. Melawan penjinakan dan berjalan dari realita akan “apa yang ada” menuju “apa yang seharusnya”.
Seseorang yang menggunakan metode etnografi untuk mendapat lima pengetahuan secara menyeluruh mengenai komunitas akan melebur di tengah ritme harian, menghadiri pertemuan dan perayaan, melakukan kunjungan pribadi ke rumah warga, mendengar permasalahan sehari hari, menghadiri rapat komunitas, berdiskusi hal hal tematis atau sekadar berbicara saja di berbagai konteks dan latar budaya tempat komunitas itu.
Dia akan menggali data melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus yang berutujuan memetakan masalah dna mencari penyelesaian, mengambil foto, membuat sketsa wilayah serta menyelenggarakan penilaian desa secara partisipatif yang memungkinkan komunitas secara bersama sama menganalisis suatu masalah dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata.
Metode ini tidak hanya berlaku untuk mendekati komunitas terpencil seperti orang Rimba di Jambi atau Suku Asmat di Papua. Ia dapat digunakan juga untuk wilayah yang berada tak jauh dari tempat kita tinggal. Dari sinilah sebabnya pejabat dan aktivis perlu menggali ilmu dan belajar bersama Sokola Institute mengenai menyusun agenda pendidikan hingga pemberdayaan supaya hasilnya efektif terutama menyelesaikan permasalahan yang ada.
Sumber:
- Manurung, Butet, et. al. (2019).Melawan Setan Bermata Runcing. Jakarta, Sokola Institute