Kosongkanlah jantungku dari nafas-nafas, kosongkanlah akalku dari ilmu pengetahuan, kosongkanlah hatiku dari rasa peduli, rasa kasih sayang, cinta dan begitu juga kesengsaraan, pedih, dan kesia-siaan. Lenyapkanlah badanku, pengelihatanku, pendengaranku, nalarku, dan segala yang berbentuk.
Ini aku yang hanya sementara dan mengharap terus mengharap pada dunia yang juga sementara. Kenapa mereka selalu menyuruhku untuk bercita-cita, sedangkan hidup ini adalah kesementaraan, terus mereka menjawab lagi, agar hidup ini berarti dan memiliki tujuan. Aku rasa hidup ini adalah kebetulan, aku tidak mempunyai hak memilih menjadi selain manusia. Aku juga tak dapat memilih keluarga yang aku inginkan dilahirkan, negara, agama, warna kulit dan lainnya.
Kenapa harus aku yang mengisi kehidupan ini dengan bercita-cita. Ketika semua telah tercapaipun aku akan kembali pada ketiadaan. Tiada, berpulang, atau mati. Dan ketercapaianpun begitu banyak hal harus dilakukan, termasuk kecurangan, membunuh, mengelabuhi dan dengan cara-cara merugikan orang lain, hak orang lain. Apa benar ada kehidupan setelah kematian Tuhan. Aku bertanya terus menerus prihal itu. Apa mungkin segala ilmu kepercayaan hanya tafsiran belaka.
Aku tulis sajak tentang Meninggal-kan :
Aku menanggalkan tanggung jawab kebiasaan-kebiasaan sebagai manusia.
Apa mungkin aku kelelahan,
Apa mungkin ini juga kebosanan,
Apa ini juga tekanan.
Aku tak begitu mengerti.
Harta, tahta jabatan, kuasa kini juga ku tinggalkan,
Bahkan yang paling berhargapun bernama kasih sayang,
Semuaku kubur dalam jeruji besi yang bernama kesepian.
Selesai, tiada tempat dan tiada waktu.
Aku menginginkan diriku apa yang aku inginkan terhadap diriku, bukan apa yang orang lain inginkan terhadap diriku, lepas dari ikatan apapun, keluarga, teman, dan apalah lagi. Apa aku terlalu egois, apa memang seperti itu, bahwa orang lain tak pantas meng-intervensi individu lainnya.
Kenapa yang aku rasa setiap orang yang membantu orang kesusahan, baik itu memberi, mereka itu berhak mengendalikan, memanfaatkan orang yang telah ia bari bantuan dan terlebih ia harus bersikap hormat, patuh. Ku rasa timbal balikpun wujud kemunafikan. Apa kebaikan hanya muncul oleh ke’maka’an. Jika ia baik maka kita baik. Jika ia buruk maka kita harus buruk padanya. Hal itu akan melahirkan keterikatan, dan segala bentuk keterikatan adalah penindasan. Ia akan menindas berupaya mengendalikan.
Aku begitu kebingungan setelah memiliki akal dan memfungsikannya, dan begitu juga telah ku hubungkan dengan hati nurani. Semuanya menjadi sangat ambigu, relatif, paradoks, tiada kemutlakan, tiada yang sejati. Meski aku dapatkan arti dari perjalanan, namun berubah lagi tak berarah.
Bukannya aku tertarik pada kehidupan setelah kematian begitu juga surge yang dibicarakan banyak orang tentang bidadarinya, makanan, hidup bahagia.
Kembali ku tulis sajak tentang Diriku :
Aku ingin kembali dalam kekosongan,
dalam ketiadaan.
Jika orang-orang berlomba mencari pencapaian
dan juga pengakuan
dan melahirkan kecurangan,
keburukan sekaligus kekejian.
Maka aku tidak tertarik untuk ikut serta
aku memilih mundur,
dalam kekosongan, namun berisi.
Selesai, tiada tempat dan tiada waktu.
“Aku tidak akan mati maupun lenyap begitu saja dan akupun tak sekadar hidup, aku bersemayam dalam kata ”