Berbicara desa membuat pikiran imajinatif pembaca mengarah pada sebuah kondisi yang memperihatinkan. Seperti rendahnya kualitas SDM, terbatasnya infrastruktur, sedikitnya pertokoan, sedikitnya ragam profesi seperti dokter, pengacara, dosen, hakim, dominannya profesi sebagai petani, bahkan banyak menjadi petani gurem, karenanya angka kemiskinan lebih banyak terdapat di desa. Demikian wajah desa secara umum yang ada di Indonesia.
Karena itu pula, saat ini fokus dan lokus pembangunan Indonesia diarahkan ke desa. Desa diyakini sebagai harapan baru dalam mewujudkan Indonesia maju. Undang-undang No.6/2014 tentang desa memberi semangat baru kepada warga desa. UU ini hadir sebagai bentuk keberpihakan negara kepada desa. Dana desa sebesar Rp 1 M per desa per tahun yang digelontorkan pemerintah pusat membuat wajah desa berubah. Infrastruktur makin baik, sekolah-sekolah TK makin banyak, kantor kepala desa makin megah, penataan pasar desa makin baik, internet mulai masuk desa, dan banyak lagi perbaikan yang sudah terjadi.
Bali yang dikenal sebagai daerah tujuan wisata dunia juga mengalami perubahan. Disamping terbantu oleh suntikan dana desa dari APBN, desa di Bali khususnya desa adat banyak terbantu oleh LPD (Lembaga Perkreditan Desa). LPD didirikan untuk membantu warga desa dalam akses keuangan. Adanya LPD membuat warga desa yang awalnya tidak memenuhi syarat meminjam uang di bank (bank umum dan BPR) menjadi mendapat pinjaman di LPD.
Kelonggaran syarat yang ada di LPD membuat warga desa mendapat pinjaman/kredit. Kondisi ini menjadikan warga desa lebih berani membuat perencanaan hidup menuju kehidupan yang lebih baik. Misalnya perencanaan setelah tamat SMA. Umumnya, anak muda di desa bersekolah sampai jenjang SMA saja (wajib belajar 12 tahun). Keputusan itu diambil karena alasan ekonomi sehingga tidak berani melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Di samping itu, jika pun dipaksakan untuk kuliah, maka setelah lulus belum ada jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Begitulah cerita-cerita atau obrolan yang biasa diobrolkan warga di desa saat bertemu di sawah maupun saat ngobrol di balai banjar.
Hadirnya LPD di desa membuat cerita hidup berubah. LPD menciptakan program yang memberikan kredit/pinjaman yang disesuaikan dengan kondisi peminjam/debitur. Sebagai contoh, banyak LPD terutama yang berada di pinggiran membuat program dengan nama kredit kapal pesiar bagi warga yang akan berangkat ke kapal. Skema kreditnya adalah membiayai seluruh biaya keberangkatan warga desa yang akan berangkat ke kapal.
Ada juga LPD yang memberi kredit sejak warga desa mulai sekolah di sekolah kapal pesiar (jenjang D1) sampai keberangkatan. Angsuran boleh dibayar setelah debitur mendapat gaji pertama setelah bekerja di kapal. Debitur dapat mengirimkan angsurannya dari tempatnya bekerja. Program ini benar-benar membantu warga desa. LPD bersinergi dengan anak muda yang akan berangkat demi kebaikan bersama. Program ini adalah simbiosis mutulalisme. LPD memeroleh pendapatan bunga dari pinjaman yang diberikan, anak muda mendapat kepastian biaya untk keberangkatan. Hal ini sejatinya adalah bagian dari upaya untuk membangun desa. Biasanya dengan sekali atau dua kali keberangkatan, semua utang di LPD akan lunas.
Umumnya, setelah berangkat yang 3 kali, perubahan hidup mulai dirasakan. Perubahan diawali dengan pembuatan rumah untuk orang tuanya, membeli mobil, kemudian untuk persiapan menikah. Setelah keberangkatan kelima maka sudah mulai memikirkan investasi. Apakah membeli tanah di Denpasar atau membuat usaha (bisnis). Dua atau tiga kali keberangkatan, keluarga yang di kampung sudah mulai merasakan perubahan hidup.
Kiriman uang perbulan mulai datang, orang tuanya yang rata-rata seorang petani mulai menggunakan baju bermerek luar negeri, menggunakan celana bahkan sudah terbiasa membawa handphone kemana-mana. Orang tua sudah tidak berutang lagi di warung, sudah bisa bayar peturunan di desa adat dengan lancar, dan cerita lainnya yang menunjukkan adanya perbaikan secara ekonomi.
Yang paling penting, adanya seorang kakak yang berangkat ke kapal pesiar membuat sang adik yang masih sekolah baik di SMA atau di SMP menjadi memiliki jaminan untuk bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Umumnya, jika adik dari seorang pekerja kapal pesiar sedang duduk di bangku SMA, sang adik akan mengikuti jejak sang kakak. Caranya juga hampir mirip dengan cara kakaknya.
Dimulai dengan sekolah di sekolah kapal pesiar selama 1 tahun, berikutnya meminjam uang di LPD sekitar Rp 40 juta untuk persiapan keberangkatan. Surat panggilan keberangkatan (job letter) dijadikan jaminan dan pembayaran angsuran dilakukan setelah mulai bekerja di kapal. Cerita berikutnya akan mirip dengan sang kakak. Dan keluarga yang bersangkutan kian mengalami peningkatan kualitas hidup.
Cerita sukses kakak beradik yang bekerja ke kapal pesiar akan berkabar ke tetangga yang ada di desa maupun di luar desa. Cerita ini akan membius semangat anak muda lainnya untuk mengikuti jejaknya.
Pertanyaan-pertanyaan mulai diajukan, seperti dimana sekolah agar bisa berangkat ke kapal? Siapa yang membantu sehingga bisa kerja di kapal? Berikutnya disusul pertanyaan, berapa biaya yang dihabiskan kalau mau berangkat ke kapal? Pertanyaan kunci, dimana atau bagaimana caranya mendapatkan uang tersebut agar bisa berangkat ke kapal?
Jawaban atas pertanyanaan-pertanyaan tersebut dibagi dengan riang gembira oleh para orang tua yang anaknya sudah duluan berangkat. Sampailah pada cerita bahwa LPD-lah sebagai pembuka pintu perbaikan hidup. LPD membantu semua biaya untuk keberangkatan. LPD berkolaborasi dengan calon pekerja kapal pesiar untuk membangun desa. Intinya LPD hadir sebagai solusi.
Layanan yang diberikan LPD akhirnya diadopsi oleh LPD-LPD di luar desa sehingga banyak LPD yang memberikan layanan kredit untuk calon pekerja ke kapal pesiar. Tidak heran jika di Bali banyak dijumpai sekolah kepal pesiar. Tidak heran juga jika banyak dijumpai anak muda yang umurnya di bawah 25 tahun sudah beberapa kali berangkat ke kapal pesiar.
Hampir di semua kabupaten di Bali banyak anak mudanya yang bekerja di kapal pesiar. Jumlah anak muda yang bekerja di kapal pesiar tiap tahun kian bertambah seiring adanya harapan dan kepastian untuk perbaikan hidup. Dan biasanya anak muda yang bekerja di kapal pesiar adalah anak muda yang berasal dari desa. Bahkan desa yang ada di pinggiran. Ini sangat berbeda dengan pilihan anak muda yang tinggal di kota yang lebih memilih melanjutkan kuliah setelah lulus SMA.
Seminggu belakangan ini media online maupun media cetak saling berlomba memberitakan orang yang bekerja di kapal pesiar. Awalnya orang yang bekerja di kapal disebut TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Belakangan sebutannya berubah menjadi PMI (Pekerja Migran Indonesia).
Salah satu surat kabar memberitakan bahwa saat ini (April 2020) setidaknya ada 78.000 orang Indonesia yang bekerja di kapal pesiar, dari jumlah tersebut, sebanyak 22.000 orang berasal dari Bali. PMI asal Bali menyumbang devisa sebanyak Rp 12 Triliun per tahun. Angka ini sangat besar dan sangat bermakna bagi perekonomian Bali. Berkat jasa tersebut, tidak berlebihan jika PMI disebut pahlawan devisa.
PMI biasanya bekerja di kapal antara 4-6 bulan, setelah itu kembali ke kampung halaman, Bali. Orang tua, sanak saudara, istri, anak, bahkan tetangga pun merasa bahagia mendengar berita jika ada salah satu anggotanya yang pulang dari kapal. Mereka bahagia karena akan segera berjumpa dan kebahagiaan dibarengi dengan adanya kepastian membawa lembaran uang dollar.
Orang rumah akan mendapat oleh-oleh yang semuanya berbau luar negeri. Mulai dari parfum, baju, celana, kaca mata, sepatu dan sebagainya. Intinya semua merasa bahagia tatkala PMI pulang kampung. Hadirnya teror Covid-19 membuat cerita menjadi mendadak berubah. Semoga Covid-19 segera kabur sehingga cerita-cerita bahagia saat seorang PMI pulang kampung segera terdengar kembali. PMI adalah harapan keluarga, pejuang desa sekaligus pahlawan devisa. Terima kasih PMI. [T]