Anda boleh tertawa membaca judul di atas. Nadanya kental dengan bau politik. La, iyalah! Sebab, berbicara soal hubungan Nusa Penida (NP) dan Bali (khususnya Klungkung) pada zaman kerajaan, tidak bisa dilepaskan dari unsur politis. Artinya, ketika NP dijadikan tempat pembuangan oleh kerajaan Klungkung, pasti ada tujuan politis, kan? Betulkah berkaitan dengan misi akulturasi, mengurangi social distance dan penjinakan bibit separatisme di NP?
Sebelum ditetapkan sebagai pulau pembuangan, ada kecenderungan para penguasa kerajaan Bali mengadakan suatu akulturasi terhadap masyarakat NP. Caranya ialah dengan menempatkan para pejabat kerajaan Klungkung, atau sebagian laskar untuk menetap di NP. Pindahan ini diharapkan akan mengurangi jarak sosial (social distance) antara masyarakat NP dengan Bali. Tujuannya, agar tidak terjadi lagi pemberontakan terhadap negeri induk (Sidemen, 1984). Nah, kebayang, kan?
Mungkin peristiwa pemberontakan yang dimaksudkan adalah gerakan separatis yang dilakukan oleh I Dewa Bungkut dan Ratu Sawang. I Dewa Bungkut melakukan pemberontakan pada masa pemerintahan dinasti Kresna Kepakisan di Bali (1380-1650 M). Sementara, Ratu Sawang pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong. Dua kali pemberontakan ini meletus sebelum Bali terpecah menjadi 9 kerajaan kecil.
Ketika Pulau Bali pecah menjadi sembilan kerajaan, NP dinyatakan sebagai milik I Dewa Agung Putra, raja kerajaan Klungkung. Pernyataan ini tidak digugat oleh kerajaan-kerajaaan lainnya. Saya tidak tahu, masa pemerintahan raja Klungkung siapa yang menjadikan NP sebagai tempat pembuangan. Ini mungkin tugas peneliti, ya.
Saya lebih tertarik mengapa NP dijadikan tempat pembuangan oleh kerajaan Klungkung? Terkait dengan hal ini, Sidemen mengungkapkan bahwa ada 4 alasan logis politik dari kerajaan Klungkung yakni (1) keadaan geografi NP yang serba kering, berkapur, dengan musim kemarau panjang menyengat, (2) faktor jarak (lautan yang luas, arus kuat dan gelombang besar) antara NP dengan Bali (Klungkung), (3) NP sebagai kekuatan ilmu hitam, dan (4) NP penghasil komodoti ekspor (ekonomi seperti kacang merah, gaplek, jagung, tenun dsb).
Menurut saya, alasan geografis, magis dan ekonomi hanya kemasan halus untuk membungkus misi. Kerajaan Klungkung menyadari bahwa implementasi misi di NP memang harus dengan cara yang cerdas dan hati-hati. Sebab, dua kali kejadian separatis (pada zaman kerajaan Bali) mungkin menjadi bayang-bayang paranoid bagi Klungkung yang membawahinya. Ada semacam ketakutan bahwa gerakan separatis di NP bisa bangkit lagi. Ya, sejenis bahaya laten mungkin.
Sayangnya, tidak dijelaskan dalam sejarah faktor-faktor pendorong munculnya gerakan separatisme di NP. Sejarah Bali hanya mencatat pernah terjadi pemberontakan, tetapi nihil dari faktor pemicu. Apakah ini sebuah kesengajaan atau memang belum ditemukan literatur yang mampu mengungkapnya.
Seandainya, sejarah dapat menuliskan secara gamblang faktor pendorong itu, mungkin bisa lebih akurat menjawab isu social distance(jarak sosial) yang dikemukakan oleh Sidemen. Jarak sosial seperti apa yang dimaksudkan Sidemen? Lalu, sejauh mana pengaruhnya terhadap pemberontakan yang terjadi pada zaman Dewa Bungkut dan Ratu Sawang?
Perkara ketakjelasan itulah yang menyebabkan jarak sosial yang dikemukakan menjadi bias. Banyak tafsir dan dugaan yang muncul. Bisa jadi karena faktor internal, misalnya Nusa memiliki rasa ke-Nusa-an yang tinggi atau memang merasa diri berbeda (baca: budaya) dengan Bali, merasa mampu otonom mengatur pemerintahannya, merasa geografisnya terintegrasi-terpisah dengan Bali dan lain sebagainya.
Mungkin pula dipicu oleh faktor eksternal yaitu Nusa diperlakukan deskriminatif (dianaktirikan) dalam berbagai aspek misalnya, pembangunan ekonominya, infrastruktur, dan pendidikan SDM-nya. Atau jangan-jangan memang sejak dulu dipandang kelas 2 oleh Bali karena terisolir secara geografi. Anda Mungkin punya tafsir lain?
Pastinya sumber pemicu itu tidak jauh dari faktor internal, eksternal dan atau kombinasi keduanya. Yang jelas, 2 kali terjadi pemberontakan di NP menandakan bahwa besar kemungkinan ada perlakuan yang kurang beres dari kerajaan induk, Bali. Ditambah pula, penanganan kasus separatisme diakhiri dengan cara represif (adu power dan senjata), yang rawan menimbulkan dendam historis. Mungkin, jalur diplomasi memang buntu zaman itu atau kerajaan Bali merasa superior.
Belajar dari sejarah sebelumnya, wajar kerajaan Klungkung merasa cemas. Takut jika muncul gerakan separatis untuk ketiga kalinya di Nusa. Karena itu, kerajaan Klungkung pandai mencari cara untuk menghilangkan bibit separatisme agar tak muncul lagi. Kerajaan Klungkung menciptakan “gagasan akulturasi”. Mereka menempatkan pejabat-pejabat dan sebagian laskar di NP.
Saya menduga, cara ini kurang berhasil. Karena yang muncul justru rasa elit/ superior (dari pihak kerajaan Klungkung). Sementara, masyarakat NP tentu merasa tidak nyaman dan penuh curiga.
Akulturasi, Gagasan Brilian
Karena itulah, (mungkin) gagasan menjadikan NP sebagai tempat pembuangan termasuk ide yang brilian. Kerajaan Klungkung membuat semacam legitimasi pembuangan. Nusa sebagai bawahan, tentu tidak bisa menolaknya. Dari sinilah, kerajaan Klungkung mendapatkan ruang untuk meng-goal-kan misi akulturasi tersebut secara besar-besaran.
Berapa pun jumlahnya orang dievakuasi ke NP, masyarakat Nusa tidak bisa komplain apalagi menolaknya. Kerajaan Klungkung punya dasar yang kuat. Cukup berkata, “Mereka orang bermasalah (narapidana) yang harus dibuang ke sini!” Kalimat ini memiliki dasar regulasi yang kuat. Tak membutuhkan celah perdebatan. Anda tidak perlu bertanya karena kasus apa. Apalagi bertanya begini, “Betulkah mereka (yang dibuang ke NP) orang yang bermasalah?”
Bagi kerajaan induk (Klungkung), peluang menempatkan sebanyak-sebanyaknya orang Klungkung daratan ke NP merupakan misi utama. Bisa jadi, di dalamnya ada orang-orang yang tidak bermasalah. Yang penting banyak dan mempercepat proses akulturasi. Asal dibuang ke NP, maka anggapan kita adalah orang bermasalah.
Jadi, nyaman tidak nyaman, suka tidak suka–orang Nusa harus menerima mereka tanpa tanya. Karena legitimasi pembuangan itu membuat Nusa menjadi tak berkutik. Sebaliknya, kerajaan Klungkung merasa di atas angin. Mereka sangat leluasa melempar orang-orang bermasalah dari Klungkung. Bahkan, bukan hanya dari Klungkung termasuk narapidana dari kerajaan Gianyar dan Bangli. Tentu atas seizin dari kerajaan Klungkung.
Jadi, pilihan Nusa sebagai tempat pembuangan merupakan gagasan sistematis untuk menghilangkan rasa ke-Nusa-an di kalangan masyarakat lokal. Semacam memabukkan atau membuat terlena orang Nusa (secara halus, rapi) agar lupa dengan esensi dirinya. Ya, mabuk menjadi rasa orang Bali. Caranya, orang-orang buangan dibiarkan berbaur dengan penduduk lokal. Hingga, banyak diceritakan menikah dengan masyarakat asli Nusa.
Hasil penelitian Sidemen mengungkapkan bahwa tidak ditemukan ada bangunan khusus penjara di NP. Diduga, para narapidana dilepasliarkan dan menyatu dengan masyarakat lokal. Analisis ini tentu sangat logis jika dihubungkan dengan misi akulturasi. Konsep melepasliarkan itulah yang menghapus jarak sosial antara para napi (representasi orang Bali) dengan masyarakat lokal sehingga terjadi kontak fisik, psikis dan kebudayaan.
Misi akulturasi kerajaan Klungkung di NP berjalan sangat sukses. Bahkan, bisa dikatakan melampui target. Karena faktanya, budaya Bali menjadi sangat mendominasi di NP. Mungkin semacam praktik akulturasi deculturation (penggantian). Sifat budaya aslinya hilang digantikan dengan budaya yang baru. Hal inilah yang dikemukakan oleh Sidemen.
Menurutnya, terjadi gejala kepunahan unsur-unsur kebudayaan Nusa pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Hal ini banyak dipaparkan oleh Ketoet Grendeng dalam tulisan yang berjudul “Dari hal-hal di Noesa Penida”, yang diterbitkan oleh majalah Bhawanagara (Singaraja: Kirtya Liefrinck v.d. Tuuk, 1981; p.16-20). Lalu, seperti apa hasil akulturasi itu?
Dari pembahasan Sidemen, ada kurang lebih 5 bentuk akulturasi di NP. Pertama, bidang seni budaya. Orang-orang buangan telah mengembangkan beberapa seni tari seperti tari gambuh, sanghyang, topeng, dan parwa. Mereka juga mengambil alih beberapa seni tari penduduk asli, seperti tari baris Jangkang dan Gandrung, yang kemudian dikembangkan di Bali.
Kedua, orang buangan dari lapisan brahmana menyebabkan perubahan struktur pelapisan masyarakat Nusa. Walaupun seorang brahmana yang dibuang dipandang rendah (di tempat asalnya), tetapi di NP tetap dihormati dan menempati puncak pelapisan. Pada saat seperti ini, struktur pelapisan masyarakat NP menjadi sama dengan struktur di Bali.
Ketiga, hukuman kerja paksa, baik sebagai petani pada ladang-ladang milik pejabat kemanosan maupun dalam bentuk membuka perladangan yang baru, menjadi semakin sempit, sedangkan luas perladangan semakin melebar. Akibatnya, hutan digunduli dan geografi Nusa menjadi gersang.
Keempat, orang-orang ladangan dari golongan petani telah memperkenalkan intensifikasi sistem perladangan di Bali, dan alat-alat pertamalah yang pemakaiannya lebih hemat baik biaya maupun tenaga. Hal ini telah menyebabkan perubahan dalam teknologi perladangan.
Kelima, masyarakat NP mulai mengenal pengelompokan masyarakat berdasarkan kapuh atau kawangasan. Mereka mencari kawangsan dan menghubungkannya dengan yang ada di Bali. Yang tidak menemukan kawangsan, tetap dianggap soroh Bali Aga, seperti Desa Tohkan, Dungkap, Bingin, Buluh, Belalu, Bungkil dan Dalundungan. Mereka sering disebut soroh Pamesan.
Jika menyimak ranah dan bentuk akulturasi di atas, tampaknya bahwa orang NP telah tunduk secara mental (sikap dan perilaku) dan beralih menjadi identitas Bali. Terjadi perubahan cara pandang diri orang Nusa yang lebih mengglobal yaitu menjadi ke-Bali-an. Nusa adalah bagian dari Bali, khususnya Klungkung. Misi betul-betul berhasil dan Klungkung aman dari ancaman separatis. [T]